Qia mulai menggerakkan matanya, perlahan mata terpejamnya itu membuka. Ia mendudukkan tubuhnya sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Setelah dirasa kepalanya tidak begitu nyeri, ia pun menatap kesekelilingnya. Ia mengernyitkan dahinya melihat suasana kamar yang begitiu familiar. "Udah, bangun?" tanya Raka yang masuk sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Bang Raka?" tanya Qia sedikit terkejut.
"Iya, ini aku, Bang Raka. Kamu, enggak lupa, kan?" tanya Raka yang kini sudah duduk di samping Qia dan nampan yang ia bawa, ia letakkan di atas nakas.
"Enggak, Bang," jawab Qia seraya tersenyum kikuk dan ia sedikit menggeser tubuhnya yang tentu saja pergerakkannya terlihat Raka. Raka hanya tersenyum melihatnya.
"Makanlah dulu, dokter tadi mengatakan jika kamu terlalu stres dan kelelahan makanya kamu pingsan."
Qia menatap Raka dengan pandangan sulit di artikan. Ia pun sekarang ingat jika tadi matanya tiba-tiba menggelap saat ia sedang berjalan. "Apa abang yang menolongku?" tanya Qia menatap serius Raka.
"Iya, tadi tiba-tiba saja seseorang menghentikan mobilku untuk membantumu. Jadi, aku katakan saja jika kamu adikku," ucap Raka seraya tersenyum.
"Terimakasih, Bang."
"Hum, sekarang kamu makan dan minum obatlah dulu," ucap Raka seraya tersenyum.
"Iya, Bang," jawab Qia singkat.
Raka mengambilkan mangkuk berisi bubur pada Qia. Qia pun mulai menyuapkan buburnya. "Kalau udah selesai dan badan kamu masih lemas, kamu tidur lagi saja," ucap Raka seraya berdiri dari duduknya.
"Ah, iya Bang."
Raka pun keluar dari kamar, setelah pintu tertutup, Qia menatap kepintu cukup lama. "Apa dia yang mengaku calon suamiku? Tapi ..." Qia menghentikan ucapannya ketika mengingat apa yang di katakan Raka barusan.
"Enggak mungkin! Jelas-jelas tadi dia mengatakan pada orang jika aku adiknya," ucap Qia sambil menatap ke arah lain.
Selesai makan, Qia meminum obatnya kemudian ia membawa nampan yang berisi mangkuk serta gelas keluar dari kamar. Raka sedang duduk di meja makan sambil mengerjakan sesuatu. Ia memakai kacamata baca dan menatap kertas di hadapannya dengan wajah serius. Qia menghentikan langkahnya melihat Raka yang terlihat serius begitu membuatnya terkesima.
Raka masih tidak menyadari jika ada Qia yang kini sedang terdiam menatapnya. Ia dan Kenan hampir sama, jika sudah fokus dengan pekerjaan mereka tidak akan sadar dengan orang lain di sekitarnya. Namun, satu yang berbeda dari mereka, Raka suka memakai banyak wanita walau ada pria yang menjadi kekasihnya. Hanya Kenan satu-satunya lelaki yang bisa memasukinya.
Raka mengambil gelas yang ada di hadapannya, tetapi isinya sudah habis. Ia pun berdiri untuk mengambil minum dan ia pun sedikit terkejut ketika melihat Qia. "Qi, kamu udah lama berdiri di situ?"
"Ah, enggak, Bang," jawab Qia sedikit gelagapan. Qia pun berjalan ke arah Raka untuk meletakkan nampannya ke dapur. Raka berjalan ke dispenser dan mengambil air minum.
"Enggak usah di cuci, biar aku saja nanti yang cuci," ucap Raka setelah ia mengisi gelasnya.
"Enggak apa, bang. Biar aku cuci aja," ucap Qia seraya tersenyum.
"Ya, udah terserah kamu. Yang penting kamu enggak kenapa-napa," ucap Raka dan kembali kemeja makan.
Qia mencuci piring dan gelas yang sudah ia pakai, setelah selesai ia pun berjalan menghampiri Raka. "Bang Raka, sibuk tidak?" tanya Qia takut-takut.
Raka menghentikan aktifitasnya kemudian menatap Qia. "Ada apa Qi?"
"Em ... " Qia bingung untuk mengatakannya, Raka pun masih setia menatap Qia yang gelisah.
"Ada apa? Katakana saja," ucap Raka pada akhirnya karena Qia tidak berbicara.
"Em, itu bang. Aku boleh tidak, sementara tinggal di sini?" tanya Qia takut-takut.
"Tinggal di sini?"
"Iya, bang," jawab Qia takut-takut.
"Boleh saja, tapi, apa keluarga kamu tidak akan mencarimu?"
"Aku udah enggak punya keluarga Bang. Keluargaku semuanya meninggal saat kami mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu," jawab Qia sambil menundukkan kepalanya.
"Ah, maaf. Aku enggak bermaksud membuatmu bersedih karena ingat kelurgamu," ucap Raka tidak enak.
"Iya, Bang. Enggak apa-apa," jawab Qia seraya tersenyum.
"Hum, Qi. Kalau boleh tanya hampir sebulan ini kamu kemana? Aku sering ke kantor Kenan , tapi kamu tidak ada disana. Aku tanya pada mereka, tapi mereka tidak ada yang tahu."
"Aku sakit, bang."
"Sakit apa?" tanya Raka dengan raut wajah khawatir.
"Ah, tidak bisa dijelaskan bang. Yang aku tahu, aku terbangun di rumah sakit," jawabnya seraya tersenyum.
"Apa sakitmu serius?"
Qia hanya tersenyum menanggapi, Raka pun tidak mendesak Qia tentang sakit yang di deritanya. "Em, bang. Aku boleh meminta tolong lagi?" tanya Qia takut-takut.
"Mau minta tolong apa?"
"Abang punya handphone yang tidak terpakai tidak? Kalau ada, boleh aku pinjam?" tanya Qia takut-takut.
"Handphonemu kemana?"
"Handphoneku hilang bang."
"Tunggu sebentar di sini," ucap Raka kemudian ia berdiri dan berjalan ke kamarnya. Selang beberapa menit ia kembali sambil membawa kotak handphone.
"Pakailah ini," ucap Raka sambil mengulurkan kotak handphone yang masih rapih.
Qia menerimanya kemudian ia membuka kotaknya. Handphone itu ternyata masih baru membuat Qia kembali menutup kotaknya kemudian memberikannya kembali pada Raka. "Bang, yang udah di pakai saja. Aku enggak mau yang masih baru."
"Udah enggak apa-apa, kamu pakai. Dari pada aku buang," ucap Raka seraya tersenyum.
"Ya?" tanya Qia tidak percaya dengan pendengarannya. Apa kata Raka tadi, buang? handphone mau di buang? pertanya itu muncul dalam benak Qia. Apa begitu mudahnya membuang handphone sebagus ini. Ia membutuhkan waktu beberapa tahun untuk mendapatkan handphone dengan logo apel kegigit ulet.
"Sudah kamu pakai saja, ini tadinya mau saya berikan ke pacar saya. Namun tidak jadi karena kami sudah putus."
Qia menatap kotak handphonenya kemudian ia mengigit bibir bawahnya. Ia takut untuk menerimanya apalagi ini handphone mahal. Raka mengambil kotaknya kemudian mengeluarkan handphonenya.
Ia mengambil tangan Qia kemudian meletakkan handphonenya di genggaman tangan Qia. "Terima ya, dari pada aku buang. Mendingan kamu pakai saja," ucap Raka seraya tersenyum.
Qia mendongak untuk menatap Raka, cukup lama sampai akhirnya ia pun bersuara. "Terimakasih, Bang. Aku janji akan menggantinya setelah aku mendapat pekerjaan kembali" ucap Qia seraya menatap serius Raka.
"Ah, ngomong-ngomong masalah pekerjaan kalau kamu masih mau bekerja di perusahaan Kenan aku bisa membuatmu tetap bekerja disana atau mungkin kamu bisa bekerja di perusahaan yang ku pimpin," ucap Raka seraya tersenyum manis membuat Qia ikut tersenyum.
"Hum, enggak perlu bang. Aku bisa cari pekerjaan lain," jawab Qia seraya tersenyum.
"Cari kerjaan sekarang itu susah, jadi lebih baik kamu bekerja di kantor Kenan atau kalau tidak kamu bisa bekerja di kantorku," ucap Raka.
"Apa enggak apa-apa bang?" tanya Qia ragu-ragu.
"Ya, enggak apa-apa lah, lagi pula kamu juga tidak bekerja karena sakit. Bukan karena kamu tidak mau bekerja. Urusan surat rumah sakit, aku nanti bisa membantumu membuatkannya."
"Terimakasih, bang," ucap Qia sungguh-sungguh.
"Iya, sama-sama. Sesama manusia dan kita saling mengenal, sudah sebaiknya bukan, kita saling membantu?" tanya Raka seraya tersenyum hangat.
Qia hanya tersenyum menanggapinya. "Ya, sudah. Kamu lebih baik beristirahat. Jika kondisi kamu besok sudah pulih, aku akan menemani kamu pergi ke kantor. Oh, iya jadi kamu ingin bekerja di kantor Kenan atau kantorku?"
"Di kantor pak Kenan saja, bang."
"Oke, kalau begitu."
"Ya, sudah bang. Aku kembali ke kamar, ya?"
"Iya," jawab Raka singkat seraya tersenyum.
Di tempat lain, Kenan saat ini sedang berada di appartementya. Ia sudah mencari kemanapun Qia berada seperti orang gila saja. Penampilannya yang cukup berantakan sudah memperlihatkan begitu jelas bagaimana keadaannya saat ini. "Ta, kamu dimana sih, Ta?" tanya Kenan berteriak frustasi sambil menjambak rambutnya.
"Tata!" teriak Kenan.
Entah apa yang Kenan fikirkan, ia tadi sudah melihat jelas bahwa Qia keluar dari rumah sakit dengan keadaan yang cukup baik walau cara jalannya masih terlihat lemas. Seharusnya ia tidak perlu mepedulikan Qia lagi. Bukankah ia tidak mencintai Qia, tetapi entah kenapa dirinya melakukan ini. Dering ponsel di saku celananya mengalihkan pandangannya. Ia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menelpon.
Nama Raka termpampang di layar ponselnya, ia hanya menatap kemudian mengabaikan telponnya. Ia bangun dari duduknya yang tadinya bersandar di tempat tidur. Berjalan ke arah kamar mandi dengan lunglai. Ia melepaskan pakaiannya kemudian mengguyur tubuhnya di bawah kucuran shower.