Qia sudah kembali tidur di ruangannya setelah tertidur di atas tubuh Kenan. Kenan memanggil suster untuk memasang kembali jarum inpusnya dan mengecek keadaan Qia. Suster berpamitan ke luar setelah menyelesaikan tugasnya. Kenan kini memandangi wajah Qia yang tertidur dengan wajah damai. "Kenapa kita harus bertemu kembali?" tanyanya menatap intens wajah Qia.
"Kamu adalah wanita yang ingin aku hindari karena kamu berbeda. Hanya kamu wanita yang mampu membuatku bergerak untuk menolong seorang wanita rendahan," ucapnya masih fokus menatap Qia.
Ia berdiri dari duduknya dengan mata yang menatap intens Qia. "Kita akhiri sampai di sini, aku tidak mau menjadi lemah karenamu," ucapnya dengan raut wajah yang tidak terbaca. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke luar dari ruang perawatan Qia.
Dengan wajah datar ia berjalan masuk ke dalam kantronya, ia berjalan ke lift dan beberapa karyawati memberikan salam padanya yang tidak ia hiraukan sama sekali. Ia mulai berkutat dengan pekerjaannya dan juga mendesain furniture baru. Sebenarnya ia sudah memiliki karyawan untuk bagian desain, hanya saja ia lebih puas jika itu hasil karyanya sendiri.
Suara ketukan di pintu sama sekali tidak membuat ia mengalihkan fokusnya. Mamanya masuk bersama Chika. "Kau ini, Mama ketuk pintu sama sekali tidak di jawab! Anak durhaka!" kesal Mamanya sambil bersedekap.
"Mau apa?" tanya Kenan dingin dengan tangan yang masih lihai menggunakan alat penghalus kayu dan matanya fokus dengan pekerjaannya.
"Kamu ini, katanya mau menikah. Tapi, suruh pendekatan dengan Chika saja, susah!" cibir Carla.
"Lebih baik Mama ke luar, aku sedang tidak ingin di ganggu!" tegas Kenan sambil menatap Mamanya dan Chika.
"Apa kamu mau seluruh bagianmu ... "
"Keluar Ma!" tegas Kenan sambil membanting alat yang ia pegang.
Chika menjadi takut hingga tubuhnya mulai bergetar takut sedangkan Carla membulatkan matanya.
"Baik, kalau itu mau kamu. Mama enggak peduli lagi!" marah Carla kemudian ia melangkah pergi dari ruangan itu. Chika hanya diam karena ia sedang takut saat ini.
Kenan menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, ia mencoba menetralkan emosinya. Ia ingin melupakan Qia tapi bayangan wajah Qia selalu teringat. Wajah pucat pasi, tubuh yang lemah, tatapan matanya yang kosong dan tatapan mata kesakitannya saat ia berada di atas rooftop.
"Arrrgghhh!" teriak Kenan dan menjatuhkan alat-alat dan bahan kayu yang ada di meja desainnya dengan satu sapuan ke dua tangannya.
"Aaaa ... " teriak Chika yang langsung duduk sambil memegangi telinganya, tubuhnya bergetar takut. Kenan langsung menoleh mendengar teriakan Chika.
"Apa lagi ini?" tanyanya kesal.
Ia mengambil handphonennya untuk menelpon Mamanya supaya membawa Chika pergi. Namun, belum sempat ia menekan nomor Mamanya, sebuah panggilan masuk dari rumah sakit tempat Qia di rawat menelpon. Kenan hanya memperhatikan nomor itu tanpa menjawab. Ragu, ia ragu untuk menjawab telponnya.
Lagi handphonennya kembali berbunyi, rasanya ruangannya kini hanya ada suara handphonennya yang menjerit untuk segera di angkat. Kenan masih diam memeperhatikan nomor telpon yang menelponnya hingga mati. Setelah menunggu cukup lama, tidak ada lagi yang menelpon. Baru juga ia akan meletakkan handphonenya panggilan dari rumah sakit itu kembali menghiasi layar handphonenya. Ia akhrinya mengangkat telponnya.
"Hallo," jawabnya ragu-ragu.
"Apa benar ini nomor bapak Kenan?"
"Iya, saya Kenan. Ada apa?" tanyanya yang mulai tenang.
"Nona Ananta melarikan diri dari rumah sakit, yang akhirnya tertabrak mobil. Apakah anda bisa datang segera ke rumah sakit?" tanya suster yang menelpon Kenan.
Kenan membulatkan matanya saat mendengar apa yang baru saja ia dengar dari pihak rumah sakit tentang kondisi Qia. Tanpa berpikir panjang ia segera meraih kunci mobil dan dompetnya setelah itu berlari ke luar dari ruangannya. Kenan menekan tombol lift tidak sabaran hingga ia pun memilih turun melalui tangga darurat karena lift tidak kunjung terbuka. Ia yang tidak hati-hati membuatnya terjatuh hingga keninggnya berdarah dan kakinya sedikit keseleo, tapi Kenan tetap terus berlari tanpa peduli rasa sakitnya. Para karyawati menatap aneh pada bosnnya yang penampilannya berantakan bahkan ia seperti tidak mempedulikan luka di keningnya.
Kenan segera pergi ke parkiran mobil dan menaiki mobilnya, ia melajukan mobilnya dengan cepat saat sudah ke luar dari gedung perusahaan. Tujuannya saat ini adalah memastikan keadaan Qia baik-baik saja. Tadi pihak rumah sakit menelpon jika Qia melarikan diri hingga ia tertabrak mobil. Saat ini Qia sedang berada di ruang UGD untuk mendapatkan pertolongan.
Kenan tidak berhenti mengumpat saat jalanan macet, ia benar-benar kehilangan kendali hanya untuk seorang Qia si gadis yatim piatu dan miskin. Sekitar hampir satu jam ia terjebak di kemacetan, saat sampai ia segera berlari masuk ke rumah sakit menuju ruang UGD.
Sampai di sana, ia bisa melihat dokter yang baru ke luar dari ruang UGD. " Dokter, dokter!" panggilnya membuat dokter yang sedang berbicara pada suster menoleh ke arahnya.
"Pak, Kenan," ucap sang dokter lega melihat Kenan.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Kenan dengan napas terengah-engah.
"Nona Ananta sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja kondisi psikologisnya yang mungkin akan membuat pemulihannya akan lama," ucap dokter dengan raut wajah bersalahnya.
"Kami akan berusah untuk memberikan yang terbaik untuk Nona Ananta, jadi bapak sekarang banyak berdoa saja supaya Nona Ananta cepat pulih," ucap Dokter memberi ketegaran.
"Iya, Dok. Terimakasih," jawab Kenan dengan wajah lesunya.
Dokter itu nampak ragu saat akan kembali berucap, tapi akhirnya ia pun berkata, "Ah, Pak Kenan, apa bapak perlu di obati?"
Kenan mengernyitkan dahinya mendengar ucapan sang dokter.
"Kening bapak berdarah," ucap dokter karena Kenan hanya diam dan terus menatapnya.
Kenan lansung memegang keningnya yang terdapat noda darah kering, ia juga baru merasakan kakinya yang terasa sakit. Ia berjalan menyandarkan satu tangannya ke dinding. Dokter langsung berjongkok dan mengecek kaki Kenan. "Kaki bapak terkilir," ucap Dokter sambil mendongak menatap Kenan.
Kenan tidak menajawab dia hanya meringis karena sakit. Dokter pun berdiri, "Mari, Pak. Saya bantu obati," ucap Dokter dan ia membantu Kenan untuk berjalan saat Kenan menjawab dengan anggukannya. Ia membawa Kenan ke ruang kerjanya dan ia pun mengobati kaki Kenan yang keseleo juga mengobati keningnya.
Dokter memberikan resep dan menagatakan jika kaki Kenan tidak boleh banyak bergerak terlebih dahulu atau akan semakin parah, jadilah Kenan menggunakan satu kruk untuk membantunya berjalan. Ia kini berdiri di depan ruangan Qia, dari kaca yang ada di pintu ia bisa melihat perban yang ada di lengan Qia. Wajah pucat dan tubuh Qia pun terlihat kurus itu di pasang alat pendeteksi detak jantung juga jarum inpus yang menancap di punggung tangannya.
"Apa kamu begitu hancur, hingga kamu berusah untuk bunuh diri terus menerus?" tanyanya menatap Qia dengan tatapan tidak terbaca.
Setelah beberapa menit ia berdiri di depan ruangan Qia, ia pun pergi ke ruang tunggu. Dokter belum mengizinkan orang untuk menemui Qia itu sebabnya ia pergi ke ruang tunggu.
Pagi pun tiba, sekitar pukul tujuh pagi supir kakeknya datang membawa pesanannya. Makanan juga pakaian untuknya. "Pak Limin, ingat ya, jangan bilang Kakek jika saya di rumah sakit!" peringatnya.
"Tapi, Den, kalau nanti tuan tahu saya bisa di marahi," jawab pak Limin.
"Saya yang akan jamin bapak gak akan di marahi," ucap Kenan serius.
"Den Kenan apa mau saya suruh anak saya Arum menemani aden di rumah sakit?" tanya pak Limin yang melihat keadaan majikannya itu.
"Enggak perlu, Pak. Saya sendiri bisa, kok," jawab Kenan seraya tersenyum.
"Baik, den. Kalau ada apa-apa Aden bisa hubungi saya atau istri saya," ucap pak Limin.
"Iya, Pak. Terimakasih." Pak Limin berpamitan pergi dan Kenan memilih untuk sarapan terlebih dahulu di kantin kemudian ia baru membersihkan tubuhnya.
Selesai membersihkan tubuhnya ia berjalan ke ruang rawat Qia. Dokter baru saja ke luar dengan suster yang baru mengecek keadaan Qia. "Dok, bagaimana? apa saya sudah boleh masuk?" tanya Kenan.
"Silahkan, Pak. Kondisi Nona Ananta sudah lebih baik di bandingkan kemarin," jawab dokter begitu ramah.
Dokter berpamitan pergi, Kenan pun perlahan membuka pintu ruang rawat Qia. Ia menghampiri brankar Qia kemudian menarik kursi yang ada di dekat tempat tidur Qia. Ia meraih satu tangan Qia dan ia genggam.
"Cepatlah sembuh," ucapnya sambil mengeratkan genggamannya kemudian ia mencium punggung tangan Qia. Perlahan tangan Qia bergerak, begitu pun mata Qia yang mulai bergerak untuk terbuka.
Matanya kini sudah terbuka sempurna dan ia menoleh ke arah Kenan. Matanya berkedip perlahan dan wajah Qia yang seperti itu membuat Kenan hanya menatap miris pada Qia dengan genggaman tangan yang mengerat.