"Kemenangan tak menjadikan diriku berkuasa atas segalanya, yang terpenting ialah siapa yang lebih pantas mendapatkan kedudukan tersebut"
Kondisi SMA Tunas Bangsa pagi ini sedikit berbeda dari biasanya, terutama pada area lapangan basket mereka yang telah dipadati banyak siswa siswi sejak pukul delapan pagi tadi. Tatapan mereka begitu antusiasnya, tak sabaran ingin menyaksikan pertandingan persahabatan antara SMA Tunas Bangsa dengan SMA Pelita Harapan yang akan segera dimulai beberapa saat lagi.
Larissa juga tidak mau ketinggalan. Gadis itu memboyong salah seorang teman kelasnya untuk turut serta ikut memadati lapangan. Vani, gadis malang itu awalnya menolak keras ajakannya, namun karena Larissa memaksa, gadis itu mau tidak mau harus menganggukkan kepala dengan pasrah.
Riuh sorakan terdengar meriah dan saling bersahutan kala memberi penyemangat kepada masing - masing regu tim andalan yang masih sedang menyiapkan diri. Dafa dan peserta lainnya memanfaatkan waktu yang ada untuk sedikit melakukan pemanasan ringan. Beberapa menit setelahnya, barulah panitia acara memanggil mereka untuk segera memasuki area pertandingan.
Kedatangan para tim tentu saja langsung disambut baik oleh kedua SMA tersebut dengan riuh tepuk tangan lagi. Namun kali ini ada sesuatu yang tampak menarik perhatian, tatapan para gadis dari kedua SMA tersebut seolah - olah terpaku pada suatu objek berjalan yang baru saja memasuki lapangan. Bisikan kecil tak hentinya timb dari bibir mereka dan mulai berestafet ria dikala sosok berbadan tegap, tinggi dan berparas tampan terlihat lebih memakau dan menantang diantara peserta lainnya. Siapa lagi jika bukan Dafa sang ketua tim yang sedang mereka bicarakan, beragam pujian tak henti - hentinya dilayangkan pada lelaki itu sebagai bentuk kekaguman akan pesonanya.
Semenit kemudian wasit melempar bola ke udara sebagai tanda dimulainya babak pertama dan bola tersebut berhasil direbut oleh tim dari Pelita Harapan. Dafa dan anggota timnya terlihat sangat santai kali ini, jika dilihat dari cara bermainnya sudah pasti bisa ditebak tim lawan lah yang akan menang. Dan hola setelah beberapa menit terlewati, babak pertama berakhir dengan penyataan kemenangan bagi tim pelita harapan.
Reval selaku ketua tim tersebut tampak puas melihat hasilnya dibabak awal, tapi dirinya harus tetap berhati - hati karna bisa saja hal ini merupakan salah satu strategi dari Dafa untuk mengecoh timnya. Disisi lain Dafa dan anggotanya masih santai menanggapi situasi yang mencengangkan tersebut. Mereka sama sekali tidak terlihat gentar meskipun dirasa sudah tertinggal cukup jauh.
Hal yang sama kembali terjadi dibabak berikutnya, permainan mereka masih tetap sama dalam mode santai seperti sebelumnya. Para pendukung dari Tunas Bangsa mulai cemas dan gigit jari setelah babak kedua lagi - lagi diungguli oleh tim lawan. Entah apa yang Dafa dan timnya fikirkan sampai sengaja mengalah selama dua babak penuh. Meskipun hanya sebatas pertandingan persahabatan, tetap saja jika sampai Tunas Bangsa yang kalah tentu akan mencontreng nama baik sekolahnya yang sudah terkenal selalu unggul dalam bidang olahraga. Begitupun juga dengan Pak Robert selaku pelatih basket yang namanya juga akan ikut terseret dan dianggap tidak becus melatih oleh kepala sekolah.
"Sa, liat tuh sahabat lo. Maunya apa sih ? Katanya jago, masak mainnya loyo gitu" Ungkap Vani sebal.
"Udah biarin aja lah, mungkin udah pada bosen kali menang terus. Lagian juga cuman tanding biasa aja bukannya untuk lomba" Ucap Larissa penuh santai.
"Ya tapi gak gitu juga cara mainnya, kalo emang bisa menang kenapa enggak diusahain kan ?"
"Suka - suka sahabat gue lah Van mau main kayak apa. Itu urusan dia sama timnya, kenapa lo yang jadi ribet sih ?"
"Emang iya, tapi gue kan ikutan gemes jadinya pas ngeliat Sa"
Larissa terpancing emosi, "Yaudah kenapa engga elo aja yang sekalian gantiin mereka main sana hah ! Heran deh gue, tadi aja diajakin nonton nolak sekarang ketagihan kan lo" Cerca gadis itu.
Vani langsung diam, menutup mulutnya rapat - rapat mendengar Larissa yang sudah tersulut emosi karnanya. Mereka berdua kembali menyaksikan pertandingan tersebut.
Babak ketiga akan segera dimulai, pada kesempatan ini Reval bisa bernapas lega setelah timnya dinyatakan unggul untuk kedua kalinya. Setidaknya saat ini dirinya bisa memprediksi bahwa kemenangan pasti akan ikut pulang bersama timnya kali ini.
Namun segalanya berubah saat setelah babak ketiga disambut spektakuler oleh Dafa bersama timnya. Dalam sekejap mereka justru memperbalik keadaan dengan bermain penuh semangat, hingga berkali - kali mampu mencetak skor tanpa berniat sedikitpun memberi kesempatan pada tim lawan. Reval terlihat mulai cemas, ternyata benar yang dipikirkannya pada saat babak pertama berlangsung. Dafa tidak mungkin semudah itu mau kalah darinya secara cuma - cuma.
Semuanya tampak tercengang sampai lupa mengedipkan mata untuk beberapa saat, Dafa dan timnya berbalik bermain penuh energik bagai api yang menyala dan membakar lilin sampai habis. Tak ada ampun baginya setelah sempat mengalah selama dua babak penuh. Beruntung sangat Dafa dan timnya berhasil mengimbangi skor lawan hingga pada saatnya menuju babak final hanya satu angka yang menjadi penentu kemenangannya.
Kali ini timnya memberi kesempatan penuh kepercayaan kepada Dafa selaku ketua untuk memberikan kejutan terakhir. Dan hola dalam satu lemparan dari titik terjauh Dafa berhasil memasukkan bola kedalam ring dengan pendaratan yang sempurna. Sorak kegembiraan kembali memenuhi seisi lapangan tersebut, para gadis juga dibuat semakin histeris akibat penampilan Dafa barusan yang terlihat begitu kerennya. Pak Robert terlihat mengelus dada, sekaligus tersenyum haru meskipun hampir sempat jantungan tadi.
"Uhuyy !! sekolah kita menang Sa. Ngagetin banget sumpah tadi, emang ya si Dafa demen banget buat orang jantungan" Seru Vani bersemangat.
"Alay lo Van !" Ejek Larissa
"Lah kok alay sih ? Emangnya lo gak seneng liat sahabat lo menang ?"
"Gue udah biasa ngeliat dia menang, justru gue lebih seneng kalo ngeliat dia kalah" Ucap Larissa polos.
Vani sesungguhnya heran mendengar jawaban dari teman kelasnya itu, tapi ya sudahlah ada baiknya dia tidak berkomentar.
"Ehh Sa, Kalo diliat - liat sahabat lo ganteng juga ya Sa ?" Celetuk Vani.
Larissa menoleh malas ke samping Vani, "Kenapa ? Lo suka ?" Tebaknya secara spontan.
Vani mengerlingkan bola matanya keatas, "Yaelah, baru muji gitu doang udah dibilang suka. Pendek amat sih pemikiran lo"
"Gue males soalnya kalo denger orang ngomongnya berbelit - belit Van, kalo suka ya bilang suka kalo enggak yaudah gitu aja kan intinya ?" Jawabnya polos.
Vani menggelengkan kepala heran, "Setiap orang beda - beda kali Sa, ada yang pemalu, ada juga yang pemberani. Lo gak bakal bisa nyetarain mereka biar sama kayak kemauan lo lah." Terang Vani.
"Tau ah Van males mikir gue ! Intinya gue lebih seneng to the point aja"
"Iya, iya. Tapi ngomong - ngomong apa kabar sama lo Sa ? Emangnya lo gak pernah ada rasa lebih gitu sama Dafa ?" Tanya Vani mengalihkan pembicaraan.
Larissa yang sedang minum tiba - tiba langsung tersedak, "Uhukk"
Vani dengan cepat langsung menepuk punggung Larissa pelan, "Ish pelan - pelan dong Sa".
"Lo tadi bilang apa ? Rasa lebih gitu ?. Vani mengangguk. "Gila aja lo Van ! Mana mungkin lah" Bantahnya.
"Mungkin aja kali Sa, cuman elo nya aja yang gak sadar, secara lo kan udah sahabatan lama sama dia, masak iya sama sekali gak pernah ada rasa ?" Prediksinya.
Larissa menutup botol minumnya, "Kalo yang lo maksud itu rasa kebencian ya pasti ada lah, banyak malah" Balasnya penuh keyakinan.
Vani menoyor kepala Larissa pelan, "Bukan itu kali maksud gue"
"Lah terus apa ? Kalo faktanya emang gitu. Lo belum pernah aja ada diposisi gue, asal lo tahu aja Van dari gue SD sampek sekarang Dafa gak pernah bosen bully gue, enggak di rumah dimana aja pokoknya bully teross" Oceh gadis itu.
"Ah yang bener aja lo Sa ?" Ujar Vani tidak percaya.
"Beneran Van, lo belum tahu aja kebusukannya dia"
"Ya palingan juga dia gitu sama lo aja kali Sa, kalo itu sih wajar- wajar aja menurut gue. Secara lo kan sahabatnya sekaligus yang paling deket sama dia. Lagian selama gue sekolah disini, belum pernah tuh gue denger si Dafa bully orang apalagi sampek ngehujat kayak yang lo bilang barusan" Terka Vani.
"Terserah lah, intinya kalo lo masih gak percaya silahkan datengin rumah gue dan liat sendiri nanti"
"Yaya gue percaya, tapi ngomong - ngomong nih ya Sa. Dari penjelasan lo tadi, gue tuh sempet baca salah satu artikel di internet, yang bilang kalo orang yang lagi suka ke kita emang cenderung sering usil gitu tau gak sih ?"
"Ya terus ?" Ucapnya langsung.
"Ya, bisa jadi kan kalo Dafa ada kemungkinan suka sama lo atau apapun yang mengarah kesana kan ?"
Larissa tertawa ringan, "Ngaco lo Van !, mana ada sih. Suka bully iya tuh"
"Emangnya selama ini lo gak pernah ngerasa ada yang ganjal gitu ?" Terang Vani.
Larissa mengerutkan dahi, "Maksud lo ngeganjal gimana ?"
"Ya ngeganjal, masak lo gak ngerti sih ?"
"Ya emang gue gak ngerti ! Lo ngomongnya pakek teka - teki gitu. Gue kan udah bilang langsung to the point aja" Pungkasnya terus terang.
Vani menarik napasnya dalam, mengalah pada temannya yang satu ini. "Oke,,oke. Kalo gitu lupain soal ganjal mengganjal tadi. Gimana kalo gue ubah subjeknya jadi cinta, lo pasti paham kan sekarang ?"
"Heh, cinta apaan dah ? Gue gak paham yang begituan"
"Lah, kok bisa gak paham ? Emangnya lo gak pernah pacaran apa ?" Ucap Vani.
"Lah emang iya gue gak pernah pacaran, ya wajarlah gue gak tahu ! Gimana sih lo" Bela Larissa.
Vani melongok, "Jadi lo beneran gak pernah pacaran Sa ?" Tanyanya serius.
Larissa menggeleng pasti, "Iya, Emang kenapa ? Ada aturannya gitu yang mengharuskan gue pacaran ?" Jawabnya sewot
"Ya emang enggak sih, cuman gue heran aja. Trus sekarang caranya ngejelasin ke elo gimana dong ?"
"Yaudah tinggal jelasin aja apa susahnya sih ?" Ucap Larissa enteng.
"Ck, gak sesederhana gitu kali Sa. Lo harus tahu dulu konsepnya baru bisa paham"
"Ahh ribet lo Van, bilang aja lo juga gak ngerti kan ?"
"Ehh enak aja, gini - gini gue juga pernah pacaran kali" Belanya.
"Trus saya harus bangga gitu ? Pernah pacaran bukan suatu penghargaan kali ?" Cibirnya
Vani mulai kesal, "Diem lo, sok tau aja"
Larissa mendengus sambil bergumam, "Gue dari tadi juga diem kali, bukannya lari"
Vani tak membuka suaranya lagi, jujur saat ini Larissa malah jadi penasaran akibat perkataan Vani yang kurang familiar di telinganya barusan.
"Van ! kok diem ? cepetan jelasin gih yang tadi" Tegur Vani sembari menyingguk bahunya.
Vani mendelik tajam, "Tauk ah gue, mending lo cari aja jawabannya sendiri"
Larissa terkekeh, "Yaelah, gitu aja ngambek" Ledeknya sembari sesekali menarik kecil rok abu milik Vani.
Vani kemudian menepis tangannya kasar, "Siapa juga yang ngambek" Jawabnya jutek.
Vani bangun dari duduknya lantas menyapu kecil bagian belakang roknya.
"Ehh lo mau kemana ?"
"Kebelakang"
"Kebelakang mana ? Mau ngapain ?"
"BERAK ! MAU NGIKUT LO ?"
Larissa dan manusia yang berada disekitarannya tersebut tampak syok setelah mendengar volume suara Vani dan ucapan tidak sopan yang disebutkan dari mulutnya barusan. Larissa menunduk malu padahal jelas sekali bukan dia yang berucap, sedangkan Vani malah justru mengedarkan tatapannya kesekitar tanpa ada rasa malu sesikit pun.
"Yaudah sana, keburu brojol entar" Bisik Larissa mempersilahkan Vani pamit.0
"Yaudah gue duluan" Ucapnya netral.
****
Pertandingan telah berakhir beberapa menit yang lalu, para siswa siswi sedikit demi sedikit sudah meninggalkan lapangan dengan tertib. Larissa masih duduk pada tempatnya tersebut, sampai seseorang dari kejauhan tampak melambaikan tangan kearahnya.
"Nghh,,nghhh"
Dafa datang dengan napas yang tersengal - sengal.
"Jauh amat sih lo cari tempat duduk Sa ? Gak ada yang lebih deketan apa ?" Keluh laki - laki tersebut.
"Kalo nyari yang deketan mah gak keliatan, yang ada gue malah nontonin punggung orang" Jawab gadis itu sembari menyodorkan botol airnya pada Dafa.
"Minum dulu gih" lanjutnya.
Dafa menyambut botol tersebut dan menegaknya hingga habis tak tersisa kemudian mengembalikannya lagi pada Larissa.
"Lo bukannya ngajak temen barusan ?" Tanyanya.
"Ohh, Vani ? Gak tau tuh ngambekan dianya"
Dafa tersenyum lebar, "Lo bisa ngebully orang juga ternyata ?"
Larissa mendesis, "Mana ada lah, bukan kerjaan gue kali"
"Bodo amat lah !, Sa tekuk kaki lo dikit dong gue mau rebahan bentar" Pintanya yang langsung dituruti oleh Larissa.
Dafa merebahkan kepalanya sejenak pada kedua paha Larissa yang dijadikan bantalan olehnya, meski dahi dan rambut terbasahkan oleh keringat Larissa tak merasa jijik sama sekali karna dirinya sudah terbiasa dengan kegiatan yang satu ini.
"Sa !"Panggil Dafa yang disahuti gumaman olehnya.
"Hmm"
"Lo masih inget kata gue yang kemarin kan ?" Tanyanya.
"Apaan ?"
"Itu yang kemarin, masak udah lupa sih"
"Ya apaaa ?"
"Oke biar gue aja yang ingetin !"
Dafa tersenyum licik.
"Karna gue menang, lo udah tau kan harus ngapain ?"
Larissa menengok kearah Dafa sembari mencerna kata sahabatnya barusan.
Glekk....
Larissa ingat semuanya.