Seorang gadis duduk dengan raut tidak tenang. Hal itu tampak di wajah putihnya yang kian memucat disertai peluh sebesar biji jagung menetes pelan di dahinya. Dalam 17 tahun hidupnya ia tidak pernah merasa segugup dan secanggung ini__benar, ini adalah kali pertamanya dia dihadapkan pada suasana seperti ini dan di situasi yang tidak pernah ia sangkah__bahkan hanya untuk ia pikirkan.
Menghela nafas panjang dan berat__gadis itu mendongak kembali menatap ke tujuh orang diseberang mejanya dengan beragam ekspresi wajah sembari balas menatapnya.
Tepat dihadapannya, seorang pria berwajah cukup sangar dengan brewok yang tumbuh di sepanjang garis rahangnya yang tegas__semakin terlihat menakutkan ditambah tatapan mengintimidasi yang kentara membuat nyalinya semakin ciut padahal jika di telaah dari kehidupan gadis itu__ia adalah gadis cerewet pula pemberontak.
Namun karena situasi yang belum pernah ia jamah, ia memutuskan untuk tidak menunjukkan taring andalannya, apalagi di hadapan keluarga ini.
Mungkin nanti.
Sayangnya gadis itu harus mengakui jika pria baya seumuran pak Jonh__guru matematika berusia 50-an disekolahnya itu__tidak dapat menutupi ketampanannya di masa muda jika mengingat usia aslinya saat ini, begitupun dengan ketiga laki-laki lain di samping kiri-kanannya yang duduk menempati kursi pada meja persegi panjang mewah di hadapannya. Mereka semua tampak seperti aktor-aktor opera yang ia sukai dilayar kaca.
Bola matanya yang besar sedikit melirik pada dua wanita lain di seberang meja sebelah kiri__ berdampingan dengan dua laki-laki dewasa awal 30-an yang menatap cukup ramah padanya jika harus dibandingkan dengan tatapan si tua Brewok yang mengerikan__dan satu tatapan lain yang jauh lebih dingin tepat di samping kanannya berdampingan dengan 3 kursi kosong.
Jadi, ia pun tersenyum canggung dibalas senyuman sama oleh kedua wanita cantik tersebut.
15 menit pun berlalu!
.
.
.
Dan suasananya terlalu hening, pikirnya.
Cengiran khasnya tiba-tiba muncul di sela giginya yang ginsul seakan mencoba mencairkan suasana makan malam di mansion Adiptara__yang beberapa saat lalu seolah berada di alam lain saking heningnya. Sepersekian detik kemudian tatapan gadis remaja itu berupa waspada saat melihat ada pergerakan pasti dibibir pria paru baya brewok itu__seolah bibir tipisnya akan mengeluarkan bom nuklir yang dapat membunuhnya kapan saja.
"Jadi namamu Anya Hadi?" Pria Brewok itu memulai percakapan dengan suaranya yang anehnya__sedikit mirip suara perempuan.
Ehh?? Perempuan?
Jujur saja, gadis itu sangat ingin tertawa sekarang.
Kalau kalian mendengar langsung bagaimana bibir si pria brewok mengeluarkan suara gemulai yang aduhai dan bukannya suara bariton pria yang khas. Kalian akan terjungkal sambil tertawa. Dan Anya berusaha menahan itu sekarang. Karena tidak tahan lagi, Anya jadi kelepasan, "hahahahahah..."
Akhirnya tawanya keluar juga.
Saking asiknya tertawa. Ia bahkan lupa dengan siapa ia berhadapan saat ini__gadis remaja itu dengan tidak tahu malunya memukul meja makan dengan keras sambil tertawa, saking kerasnya piring tak berdosa di atas meja bergetar seolah merasa was-was kalau saja gadis gila di hadapannya memecahkan piring__dan itu sungguh mengerikan.
"bagaimana bisa suara tuan mirip suara__ Ppftt!!__Ahahahah..."
Anya kembali tertawa keras__sangat kontras dengan suasana hening yang ditunjukkan keluarga itu__lantas menutup mulut saat menyadari ia kelepasan dan membuat sifat aslinya terlihat. Tentu saja semua orang menatapnya dengan sedikit aneh.
"Ah, maafkan saya," sesalnya sembari memasang tampang menyedihkan__ seakan ia benar-benar telah melakukan sebuah kejahatan yang tidak dapat dimaafkan__dan akan segera mendapatkan vonis hukuman mati dengan cara digantung, ia pun menatap segan pria baya itu, "hmm...Benar nama saya Anya, Anya Hadi." Katanya lembut.
Pria baya brewok itu lantas berdehem keras seakan menyindir Anya yang justru menatapnya tanpa dosa. Tangannya yang cukup kekar tiba-tiba meraih janggut didagunya yang agak panjang sambil mengelusnya dengan sayang sembari mata tajamnya balas menatap Anya dengan sedikit jengkel__ia berkata, "selamat datang dikeluarga Adiptara," lalu ia kembali mengelus janggut panjangnya dengan gerakan naik-turun.
Masih menatap gadis itu.
"Kurasa kamu telah mendengar nama keluarga Adiptara sebelumnya sebagai keluarga kaya dengan label no.1 di Indonesia," lanjutnya dengan angkuh.
Tapi ucapannya justru terdengar lucu ditelinga Anya ketika mendengar suara pria itu benar-benar mirip suara perempuan. Gadis tengik itu bahkan kembali menahan tawa. Membuat orang yang merasa ditertawai segera memasang tampang keruh.
"Tapi ayah, Anya pasti belum tahu tentang kami."
Tiba-tiba salah seorang wanita cantik yang duduk di samping kirinya menyahut, sembari menatap satu-satunya gadis remaja di sana dengan seyum ramah. Kemudian tatapan matanya yang sedikit sayu kembali menatap pada ayah mertuanya, " bukankah selama ini hanya identitas ayah yang di ketahui semua orang, sedangkan ke empat anak laki-laki dan dua menantu anda dirahasiakan identitasnya dari media dengan alasan keamanan." Ucapnya masih dengan senyum ramah diwajahnya.
"Biarkan aku memperkenal kan keluarga ini padanya."
Anya hanya mampu terkesima betapa sopan dan cantiknya wanita itu dalam bertutur kata, yang telah ia duga sebelumnya merupakan salah satu menantu dari keluarga ini saat pertama kali bertemu__tepatnya kemarin pagi.
Memang benar__keluarga Adiptara adalah keluarga nomor satu di Indonesia, mereka terkenal karena kekayaannya yang melimpah dan jangan lupakan perusahaan raksasa mereka di bidang industry dan pertambangan, bahkan kabarnya mereka mulai merambah ke bidang pariwisata di Indonesia.
Sayangnya beberapa tahun silam yang menjadi sejarah besar keluarga itu, sang Nyonya Adiptara atau istri dari Ramlan Ady Adiptara ditemukan tewas di sebuah penginapan mewah di Bali dalam keadaan tubuh mengenaskan__Ny. Sinta Adiptara telah terbunuh.
Hari itu__telah menjadi hari paling terkelam bagi keluarga tersohor tersebut. Semua awak media meliput berita kematian sang Ny. Adiptara sehingga seluruh pelosok negeri tau peristiwa itu, tidak terkecuali orang-orang di Panti Asuhan Asih.
Namun lambat laun seiring berjalannya waktu kejadian naas itu mulai dilupakan, tentu saja dengan kekuasaan Adiptara kasus ini segera menghilang dari negeri__tidak terkecuali ke empat anak lelakinya yang pada masa itu berada di usia kanak-kanak.
Identitas ke empat anak lelaki tersebut seolah ikut terseret arus dilupakan, wajah kanak-kanak mereka yang lugu tidak lagi di temukan dimedia dan koran manapun sampai saat ini__pun, tidak ada yang tahu pasti seperti apa rupa dewasa dari keempat bocah tampan Adiptara__karena, Ramlan Ady Adiptara memutuskan merahasiakan identitas anak-anaknya dari media massa bahkan menggantinya dengan identitas lain yang tentu saja tidak lagi diketahui orang biasa.
Pria paru baya itu menginginkan,
.
.
.
keselamatan keluarganya.
"Jadi kenalkan, saya Tania Rosela Adiptara menantu pertama keluarga ini dan nama samaran saya Anggi Suptomo," sosok Tania sangat menawan begitupun dengan sikapnya, Anya bahkan tidak berkedip saat wanita itu memperkenalkan diri padanya.
Gadis burik itu terkesima.
Kemudian keningnya berkerut saat menyadari sesuatu.
"Nama samaran?"
Tania tersenyum sangat cantik, "semua Adiptara kecuali Ayah, memiliki nama samaran saat di tempat umum dan kamu akan tahu alasannya nanti__tentu saja kamu juga akan memilikinya."
Anya mengangguk.
Kemudian Tania beralih pada pria tampan disebelahnya, masih dengan tersenyum bahkan senyumannya jauh lebih lebar dari sebelumnya, "dan dia, Ryan Pram Adiptara putra pertama keluarga Adiptara sekaligus suamiku," dan wanita itu tersenyum lagi.
Beginikah yang disebut murah senyum? Pikir Anya.
Anya bahkan ikut tersenyum seakan tertular__sayangnya gadis tengik itu tersenyum pongah membuatnya terlihat bodoh.
"Namaku dulu Priam Adiptara__tapi alasan mengapa namaku berganti hal itu tidak perlu dibahas sekarang, kita fokus saja pada perkenalan dengan nama yang saat ini saja yah...!!" Kata Ryan ikut menambahkan, bahkan pria itu menggunakan bahasa yag lebih akrab padanya__ohh!! Jangan lupakan senyum manisnya yang baru saja melelehkan Anya.
"Baik."
"Ah! Jangan lupa nama samaranku, Jaya Anggara." Lanjutnya.
Anya mulai berpikir jika keluarga orang kaya tidak selalu angkuh, buktinya pasangan sempurna di hadapannya selalu menatapnya dengan senyum.
Sayangnya pikiran itu seketika lenyap__gadis itu bergidik ngeri saat merasakan sebuah tatapan setajam belati menghunusnya dari arah kanan di depannya. Ia pun menoleh dan mendapati sepasang mata tajam terang-terangan menatapnya. Satu-satunya orang yang duduk di kursi sebelah kanan__tentunya di temani dua kursi kosong disampingnya.
Glukk!!
Anya meneguk ludahnya.
"Anya! Dia Rendi Pram Adiptara, anak bungsu keluarga ini dan dia satu tahun di bawahmu dan nama samarannya__"
"Septian Brawijaya." Anya melanjutkan dengan nada dingin. Tatapanya berubah garang saat menatap pada pemuda yang lebih muda setahun darinya itu, "dan dia telah merusak sepeda ku di depan minimarket." Lanjutnya membara.
Rendi tersenyum dingin mendengarnya, "sepedamu yang menghalangi mobilku__itu pantas dimusnahkan lagi pula kau membuatku muntah__jadi, kita impas." Ujarnya mengejek.
Anya tersulut emosi!
Dasar setan.
"Wah...!! Angkuh sekali kau, eh? Lihat saja nanti. Sekarang aku adalah kakak iparmu dan nantikan apa yang akan aku perbuat padamu," balas Anya tidak kalah mengejek seakan lupa tempat dimana keberadaannya saat ini.
"Ehmm..!!"
Ramlan menatap Anya tidak senang, kemudian beralih menatap menantunya Tania dengan senyum, " lanju__"
"Wah!!"
Ramlan mendelik jengkel saat ucapannya dipotong begitu saja, pria baya itu hanya terdiam. Tetapi sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan.
"Aku suka anak ini, dimana adik ipar menemukannya, yah? Dia sangat unik," ucap seseorang seraya menatap geli pada Rendi yang mendengus kasar.
Anya sendiri terkejut saat menyadari bahwa suara itu berasal dari wanita lain di meja makan yang sejak tadi terdiam mendengarkan__ia pikir menantu Adiptara yang satu ini sangat kalem, nyatanya wanita itu justru tidak seperti yang ia duga seolah menunggu sesuatu yang menarik sebelum menunjukkan taringnya, eh?
Keluarga ini sungguh tidak terduga.
"Kenalkan aku Ui Anh Adiptara, istri manusia aneh ini..." kemudian ia mengarahkan dagunya pada pria tampan disamping kirinya. "Namanya Rangga Pram Adiptara atau panggil saja Julio dan kau pun bisa memanggilku dengan nama lain, Septiana."
"Hai Anya!" Sapa Rangga.
Dan Anya melongo.
Gadis itu sungguh merasa bingung dengan semua kejutan tiba-tiba ini, banyak yang ingin ditanyakan tapi lidahnya seakan berubah bentuk menjadi jeli sehingga sulit digunakan. Jujur saja, hal-hal yang terjadi padanya sungguh tidak dapat ia cerna dengan baik__semua seolah terjadi begitu saja.
Dimulai sejak dua hari yang lalu tepatnya setelah ia pulang sekolah dan menemukan tiga orang berjas hitam menyerupai bodyguard dan satu orang berpakaian formal berwarna abu gelap diruang tamu Panti Asuhan tempat ia tinggal. Dan yang lebih mengejutkannya lagi__mereka datang dengan maksud melamarnya untuk tuan muda mereka__yang konon katanya telah memasuki usia menikah (menurut kalender perhitungan pernikahan keluarga Adiptara)__dengan siapapun itu dan dari kalangan manapun itu asalakan si gadis, wanita, atau janda sekalipun__baik sengaja maupun tidak sengaja menyentuh pertamakali sang tuan muda saat ia tepat berusia 25 tahun.
Aneh bukan?
Dan sialnya itu Anya.
Seperti itulah fikiran seorang Anya saat menemukan ke empat orang itu menjelaskan alasan mereka melamarnya untuk seseorang yang bahkan tidak ia ketahui__sayangnya dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak bersedia__jika mengingat keuntungan apa yang akan didapatkannya jika bibir kecilnya dengan mantap berkata, ia bersedia.
Pantinya terlilit hutang dan ia membutuhkan uang.
Kalian pasti akan melakukan hal yang sama seperti apa yang ia lakukan saat keluarganya, rumahnya, dan satu-satunya hidupnya, akan di musnahkan__oh bukan, bukan keluarga Adiptara yang akan membumi hanguskan Panti Asuhan Asih__tapi para rentenir pemilik tanah yang tidak berperikemanusian memasang sewa tanah yang tindak mampu panti asuhan kecil itu bayar, maka dengan ucapan bismillah mahar gadis itu senilai 200 juta rupiah pun sebagai uang tebusan panti asuhan.
Dan secepat angin berhembus__Rayland Pram Adiptara__purta ketiga Ramlan Ady Adiptara resmi memperistri Anya Hadi esok harinya.
Dan begitulah,
.
.
.
Kisah Adiptara Family dimulai..
"Maaf terlambat.."
Dan disana__ketika Anya menoleh pada ambang pintu masuk yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang makan mansion ini__Rayland Pram Adiptara__muncul bak malaikan pencabut nyawa dengan sejuta pesona siap mencabut nyawa seorang Anya Hadi dengan ketampanan pria berusia 25 tahun itu.
Bahkan tanpa menoleh barang sedikitpun pada Anya, pria angkuh itu duduk dengan tenang di samping adik laknatnya, Rendi Pram Adiptara untuk menempati salah satu kursi kosong di sana__lantas ia berkata, "gadis pendek ini tidak akan memiliki nama samaran atau pun nama belakang Adiptara, namanya tetap akan sama__Anya Hadi." Putusnya sepihak yang anehnya semua orang termasuk ayahnya sendiri menurut dengan patuh.
Tanpa sanggahan. Dan tanpa bantahan.
Dan Anya tertegun mengetahui fakta baru,
.
.
.
Bahwa__Rayland Pram Adiptara__jauh lebih berkuasa.
3 hari sebelumnya...
"Terima kasih sudah datang ke Minimarket kami, berkunjung lagi yah!!"
Anya tersenyum melepas salah seorang pengunjung minimarket tempat ia bekerja setelah transaksi pembayaran selesai mereka lakukan di meja kasir. Karena keramahan gadis itu, sang pengunjung merasa senang sembari balas tersenyum ramah.
Devi__teman Anya yang bekerja diminimarket, tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat tingkah Anya yang ajaib, pasalnya beberapa saat yang lalu gadis itu mengamuk seperti orang gila di depan minimarket kepada seorang pengemudi mobil mewah yang diduga menabrak sepedanya saat ia hendak memarkirnya seperti hari biasa.
Jangan bayangkan tingkah gila apa yang dilakukannya kepada si pengemudi mobil__tepat saat sesosok pemuda tampan berseragam Sma keluar dari mobil untuk menghadapi Anya secara langsung, tanpa diduga gadis itu sudah menyemburkan air bekas kumuran dari dalam mulutnya__tepat diwajah__dan jangan bayangkan bagaimana pengemudi mobil tersebut bereaksi.
Pemuda itu muntah di tempat.
Entah apa yang akan terjadi beberapa menit selanjutnya jika seandainya dua orang berbaju hitam tidak membawa pergi pemuda itu dengan mobilnya, setelah meninggalkan sebuah jaminan perbaikan sepeda berupa kartu nama. Mungkin akan terjadi perang ketiga dadakan di tempat itu, mengingat pemuda itu terlihat sangat angkuh.
"Dimana saya dapat menemukan sebuah permen cokelat?"
Lamunan Devi buyar saat sebuah suara terdengar tidak jauh di depannya.
Dan ia tertegun menatap takjub sosok tinggi di hadapannya__seorang pria tampan yang ia sendiri tidak mampu mendeskripsikan seberapa tampannya dia. Gadis bertubuh tambun itu tidak merasa melebih-lebihkan apapun yang ia lihat sekarang sebab itu semua fakta mutlak. Dan siapapun tidak dapat merubahnya.
"Apakah disini tidak ada permen coklat?"
Desiran suaranya yang dingin mampu membekukan Devi saat itu juga__secepat ia terkesima, maka secepat itu pula ia tersadar bahwa yang berdiri hadapannya saat ini adalah seorang pelanggan yang tampak berbahaya. Dengan senyum canggung ia mulai mengarahkan pria luar biasa itu menuju rak penuh makanan ringan__termasuk sebuah permen coklat.
Dengan senyum segan Devi menunjuk rak di depannya, "silahkan, anda bisa menemukannya di sini? Permen cokelat seperti apa yang anda cari?"
Pria itu tampak berfikir dengan wajah dingin, lantas tangannya meraih handphone disaku celananya yang tampak mahal untuk menghubungi seseorang, "permen cokelat seperti apa yang kamu inginkan, Sweety?"
Tanpa sadar Devi merona mendengar bagaimana suara dingin itu berucap pada seseorang dibalik panggilan telfon setelah terhubung__ia tersenyum walau jelas kalimat manis tersebut bukan ditunjukkan untuknya__hanya saja, ia merasa laki-laki dingin sekalipun bisa bersikap manis kepada kekasihnya.
Beberapa saat setelah percakapan telfon berakhir__pria itu justru memasang tampang keruh, "berikan aku semua jenis coklat dirak itu," pintanya lalu melangkah pergi menuju lemari pendingin yang penuh berbagai jenis minuman.
Dibukanya lemari es itu dan menatap satu persatu jenis minuman yang ada didalam sana selama beberapa saat seolah mencoba memilih minuman apa yang akan ia minum. Lantas matanya yang tajam menyipit melihat botol air mineral di sana tersisa satu__tangannya pun terulur mencoba meraih air mineral satu-satunya__sampai sebuah tangan kurus yang pucat sudah lebih dulu menyambarnya dengan tergesa-gesa__dan tanpa sadar menyentuh tangan pria itu.
Namun dia sangat sadar__bahwa gadis itulah yang pertama kali menyentuhnya tepat saat ia berusia 25 tahun__bahkan mendahului kekasihnya sendiri.
"Hehehe maaf tuan, tadi saya makan siomai pedas di depan...jadi butuh air, saya kepedasan." Gadis itu menyegir bodoh dan tanpa dosa meminum air mineral satu-satunya__di depan si pria.
Pria itu tertegun bercampur syok.
Tidak mungkin kan? Pikirnya.
Dan ia mulai menyesal, kenapa memilih berbelanja sendiri dan tidak menyuruh asisten pribadinya seperti biasanya.
Apa ini takdir?
Entahlah. Namun pastinya ia tidak bisa menolak.
Anya tidak sempat menyaksikan bagaimana pria di depannya melakukan perubahan ekspresi begitu cepat, sehingga tidak menyadari jika pria bertampang dingin di depannya ini sempat menampilkan mimik yang sulit diartikan sambil menatap Anya yang memasang tampang bodoh.
Anya melepas senyum bodohnya saat menyadari pria itu tidak mengatakan apa-apa tetapi masih saja menatapnya dengan dingin, ia pun tanpa sadar meneguk ludah dengan kasar karena kerongkongannya terasa kering meski telah minum air mineral beberapa saat lalu.
"Hmm maaf, mungkin air mineral dilemari pendingin sudah habis, tapi di belakang sana masih banyak air mineral lainnya," ujarnya sedikit gugup sembari telunjuknya menunjuk kearah belakang gudang penyimpanan, "yah walaupun tidak dingin lagi, sih." Tambahnya yang tanpa sadar memalingkan wajah menatap kembali lemari pendingin__karena sejujurnya gadis itu sedikit takut.
Seolah tidak terjadi apapun__pria itu justru berlalu dengan cepat dari tempat itu sambil mendengus remeh saat melewati tubuh Anya yang mematung.
"Sampai ketemu lagi, Anya Hadi." Tuntasnya lalu meninggalkan minimarket seraya membawa sekantong penuh permen cokelat yang diambilnya dari Devi__yang ikut mematung dimeja kasir__seraya menatap beberapa lembar uang seratus ribuan yang diletakkan si pria tampan nan misterius disana.
"Anya!" Panggil Devi, "sepertinya kamu dalam masalah," ucapnya menatap Anya yang masih mematung di tempatnya.
Seraya menyentuh name tag didada kirinya dengan lesu__Anya berujar.
"Yah, sepertinya."
Sejatinya, semua yang terjadi di bumi ini__
.
.
.
Telah di rencanakan.