"Apa kamu lumpuh? Cepatlah bodoh!"
Anya mendelik menatap Rendi yang baru saja membentaknya. Gadis kurus itu lantas menarik koper berukuran jumbo yang tidak lebih besar dari badannya sendiri. Menarik koper dengan tergesa ia segera menyusul pemuda pms itu yang sudah berjalan jauh didepannya. Meninggalkan bandara menuju mobil pribadi keluarga Adiptara yang sudah lebih dulu menunggu. Dan meninggalkan dia dengan koper besarnya.
Mengapa tidak ada pelayan seperti biasanya?
Anya berteriak!!
Walau kesal. Tetapi Anya memilih diam dan tidak mengatakan apapun. Hari ini ia begitu senang saat Rayland dengan tegas mengatakan keluarga ini akan berlibur ke pulau dewata, Bali. Tapi mengapa harus bali? Anya bukan ingin kelain tempat atau keluar negeri. Hanya saja__bagaimana keluarga ini bisa datang kembali kekota yang telah merenggut nyawa sang Nyonya Adiptara. Apakah meraka sudah lupa? Atau hanya pura-pura lupa.
Ia memilih diam kendati hantinya ingin bertanya.
karena tidak ingin merusak suasana hatinya yang secerah matahari pagi. Anya memilih mengabaikan segala tingkah menyebalkan Rendi yang terus saja mengusiknya. Seumur-umur ini adalah kali pertamanya. Bahkan naik pesawat sekalipun. Dan sialnya pengalaman pertamanya dengan pesawat sangat-sangat buruk.
Selama berada di pesawat Anya benar-benar harus menahan malu setelah sadar apa yang telah ia lakukan. Gadis itu muntah sebanyak empat kali. Anya tidak akan memucat jika saja wadah tempat muntahannya adalah Rendi. Tapi ini, jangan tanya. Itu Rayland loh!! Roh-nya mungkin saja sudah tidak di raganya saat itu. Saat mata segelap malam milik Rayland menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Melebihi sulitnya soal matematika yang selama ini berusaha ia pecahkan__dan ujung-ujungnya tetap saja harus diketok kepalanya oleh Miss Ani dengan rotan sialannya. Tentu saja karena ia tidak pernah menjawab dengan benar berapa kalipun wanita tua itu menjelaskannya.
Beruntung itu pesawat pribadi keluarga Adiptara.
"Masih pusing?"
Anya menoleh saat Rayland disampingnya bersuara. Sebenarnya gadis rusuh itu tidak begitu mendengar apa yang baru saja pria itu katakan. Jadi, ia memilih mengangguk sembari melempar senyum dengan sok manis.
"Tidur saja kalau begitu," Rayland menatap Anya sekilas kemudian kembali fokus pada tab ditangannya. Mereka hanya bertiga dimobil itu. Seorang pemuda kaku berkulit kecoklatan sedang menyupiri keduanya menuju hotel Adiptara didepan__dialah Antonio. Dan kursi tengah di isi Anya dan juga Rayland.
Benar-benar sunyi!
Beberapa saat lalu Anya tidak tau harus naik mobil yang mana. Pasalnya ada dua mobil sedan berwarna hitam terparkir didepannya. Karena mobil dibarisan pertama ditempati oleh Rangga, Ryan, Ui dan juga Tania. Sedangkan mobil satunya hanya diisi Rendi dan seorang supir berwajah sangar. Karena tidak punya pilihan dan Rendi hanya sendiri maka Anya memilih bersama pemuda itu.
Tepat ketika Anya akan masuk. Rayland muncul entah dari mana__pasalnya pria itu pergi begitu saja setelah turun dari pesawat meninggalkan Anya dengan segala kemalangannya. Koper besar dan juga wajah kusut karena pusing. Tapi lihat sekarang. Pria dingin itu ada didepannya. Memegang tangannya sembari menatapnya seolah Anya adalah makhluk paling bersalah.
"Ikut besamaku!" Titah Rayland tidak perlu dibantah.
Anya terseok saat pemuda itu menariknya. Tidak kasar namun juga tidak lembut atau membuatnya sakit. Gadis itu hanya terkejut. Matanya bahkan membesar saat menyadari ia diseret menuju mobil lain yang terparkir tidak jauh dari mobil yang ditumpangi Rendi. Dia tidak pernah ingat ada mobil itu sebelumnya. Apa mobil itu memang baru saja datang?
Entahlah
Bola mata cokelatnya menatap samar pada Rendi yang juga menatapnya diam dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka lebar. Tatapan pria itu terlihat aneh. Aurah nya pun terlihat suram. Mengapa Rendi menatapnya begitu. Itu hanya sekilas tetapi Anya menyadarinya sebelum mobil yang ditumpangi pemuda itu melaju. Dan Anya masuk kedalam mobil Rayland tepat setelahnya.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di hotel Adiptara. Masing-masing dari mereka chek-in hotel dengan nama samaran seperti biasa. Kecuali Anya dan Ramlan tentunya. Oh! Jangan lupakan mertuanya itu berangkat dengan pesawat lain dan satu jam lebih cepat dari ke empat anak dan ketiga menantunya.
Jadi mereka mendapati Ramlan sudah duduk anteng di restoran hotel sembari makan makanan mewah ditemani para petinggi hotel. Jangan lupakan dua pengawal suram berbaju hitam yang berdiri tegak bagai tiang listrik. Anya menduga tidak hanya dua. Benar saja__ia bisa melihat beberapa orang berpakain sama berdiri tidak jauh dari Ramlan. Keberadaan pengawal itu bisa dibilang sebagai bayangan pengintai. Mereka bertugas dari jauh.
Ketika mata gadis itu berhasil menangkap tatapan mertuanya. Anya langsung memasang tampang keruh saat tahu mertuanya menatapnya mengejek. Dasar pria tua. Secepat angin ia membuang muka dan segera menyusul Rayland yang telah berjalan beberapa langka didepan.
"Masuk!" Rayland membuka pintu kamar hotel. Mata tajamnya menatap Anya dengan tatapan datar andalannya, "jangan hanya berdiri Anya. Cepatlah masuk."
"Ia iya.."
Bisakah ia menatapnya lebih lembut?
Oh!! Mimpi
"Rayland, mau mandi duluan tidak?" Anya bertanya setelah mengambil pakaian dari dalam koper yang beberapa saat lalu dibawakan Antonio. Akhirnya ia bisa juga melepas koper berat itu.
Rayland yang gila kerja masih juga menatap tab ditangannya. Tanpa menoleh pria itu berkata, "Mandilah, aku sudah mandi dua kali, kamu jauh lebih bau dan kotor."
Menelan ludah dengan rasa sepahit empedu. Anya tahu maksud Rayland. Huh! Bilang saja karena ia telah muntah sebanyak empat kali dan mengenai pria itu. Jadi beginikah caranya membalas? Dasar. Tidak kreatif. Tidak ingin mendapat masalah, kaki kecilnya melangkah mantap menuju kamar mandi. Menyalakan air. Berendam di bath-up ditemani aroma lavender kesukaannya lalu memejamkan mata meresapi kenyamanan itu. Oh! Ketika kamu lelah kemudian berendam melepas penat. Rasanya itu loh!
Dan..
Anya tertidur,
.
.
.
Saking nyamannya.
"Dasar idiot, bagaimana bisa kamu tidur saat mandi," Anya sudah sangat bosan dengan nada dan intonasi suara ini. Kalian bisa menebaknya.
"Anya, lain kali jangan diulangi__bahaya tau. Bagaimana jika kamu kedinginan," dan Anya sudah tau dari mana suara lembut ini berasal.
"Wah, kenapa aku malah penasaran yah saat Anya mati kedinginan. Hihiihi.. Bukankah begitu sayang?" Dan pria yang dipanggil sayang mengangguk antusias.
Gadis itu bahkan sudah hapal suara cekikikan pasangan psyco didepannya.
Menghela nafas dan hanya mengangguk untuk menanggapi. Ia tidak berniat membalas apapun lagi.
"Kamu pasti sangat lelah yah?" Anya menoleh dan mendapati Ryan. Pria itu menyampaikan rasa simpatinya. Tapi mana ada orang memasang tampang simpati dengan seringaian dibibir. Oh! Anya pusing. Beruntung mertua girl-nya sedang sibuk bersama koleganya jadi beliau tidak ikut memberinya petuah. Kerena telah tidur dikamar mandi.
Anya memerah saat mengingat jika yang membawanya keluar dari kamar mandi adalah Rayland. Tapi pria itu menyangkal saat ditanya apakah dia sendiri yang telah memakaikan Anya baju. Auranya bahkan seketika menggelap saat itu. Anya jadi bergidik sendiri. Kakak dan adiknya bahkan memilih diam saat menyadari sang singa terbangun. Jadi tidak ada yang bertanya lagi setelahnya.
Samar, sebuah lantunan lagu melow terdengar. Restoran tempat mereka makan berada di lantai dasar hotel. Mengusung tema outdoor sehingga pengunjung bisa merasakan sejuknya angin laut yang menerpa wajah dipagi hari sembari sarapan. Hotel ini tepat didepan laut. Sangat cantik dan indah. Anya terkesima menatap biru laut dengan gelombang ombak rendah seolah memanggilnya menuju pantai. Bermain dengan pasir dan air hinggah membuat bajunya basah. Anya menarik ujung bibirnya tersenyum pahit. Mungkin ia tidak akan pernah menginjakkan kaki di sini kalau saja ia tidak menikah dengan Rayland dan menjadi bagian dari keluarga ini. Walaupun ia harus tau, Rayland bukan miliknya.
Hatinya sakit setiap kali memikirkan itu.
Bagaimana kabar pantinya. Anak-anak disana apakah mengingat dan merindukannya seperti Anya yang selalu merindukan mereka. Lalu, bagaimana dengan sahabatnya Devi. Oh! Anya juga merindukan si tambun.
Sejak menikah Anya sama sekali tidak diperbolehkan keluar rumah dan bertemu dengan siapapun. Hal ini diperpara dengan atauran homeschooling yang mengharuskannya terus belajar. Rasanya seperti belajar dengan sistem Romusha. Menurut Miss Ani, Anya harus mampu mendapingi Rayland. Tapi jika difikir lagi, mengapa Anya harus. Sedangkan yang akan menyandang nama Nyonya Adiptara dari Rayland adalah Amora. Sekalipun dia adalah istri pertama.
Tapi entah sejak kapan. Dan Anya tidak menyadari sama sekali saat tatapannya yang sendu menangkap sesosok wanita paru baya berwajah cantik menatapnya lekat dibibir pantai. Apa yang dilakukan wanita itu disana? Beberapa pengunjung atau wisatawan memang sudah terlihat berada tepi dipantai. Tetapi yang membuat Anya penasaran adalah wanita itu tidak tampak warna aurahnya oleh gadis itu. Melihat orang-orang disekeliling. Anya masih bisa melihat aura-aura beberapa orang yang sedang gembira walau tidak semuanya. Beberapa terlihat suram. Dan yang menarik perhatian gadis itu adalah wanita berbaju putih terusan dengan belahan dada cukup rendah sembari mentapnya intens. Tidak memiliki warna aura sama sekali.
Anya terkesiap saat seorang anak kecil berlari dari arah kanan si wanita. Bersiap menabraknya seolah tidak melihat apapun disana. Tetapi yang membuat Anya jauh lebih syok adalah ketika ia berlari menembus tubuh wanita itu. Selanjutnya anak itu sudah terkapar dipasir dengan darah menyembur dari dalam mulutnya.
Anya bangkit dari kursi. Bak orang linglung Anya berlari menuju pantai menghampiri si bocah yang sudah dikerumi beberapa orang yang diantaranya adalah kedua orang tuanya.
"Anya!"
Anya tersadar. Matanya membulat dan nafasnya menderu dengan tidak stabil saking cepatnya. Ia berbalik dan mentap Rayland yang memeluknya sangat erat. Pria itu terlihat kacau dan keheranan. Ada apa sebenarnya? Anya tidak paham. Mengapa pria ini tiba-tiba ada disini__dan memeluknya.
Mengabaikan Rayland__Anya kembali menoleh pada anak kecil itu namun telah dibawa pergi oleh orang-orang. Tapi ia juga tidak lagi menemukan si wanita misterius.
"Apa yang terjadi?"
"Anya kamu kenapa?"
"hei! Kamu baik-baik saja?"
Kembali berbalik saat suara Tania dan Ryan terdengar dari belakang. Kemudian Anya mendapati semua orang dan bahkan Rendi menatapnya khawatir.
Apa yang salah?
"Kemana wanita berbaju putih itu?" Anya bertanya dengan cepat. Mengabaikan semua pertanyaan khawatir dari masing-masing kakak iparnya.
Kening Rayland mengerut. Tangan kekarnya semakin memeluk Anya dengan erat, "wanita mana yang kamu maksud?"
Anya menatap Rayland sengit. Seakan gadis itu telah kehilangan rasa takut akibat panik dan linglung__lantas telah berani menatap Rayland demikian, "Kamu tidak lihat? Wanita berbaju putih itulah yang mencelakai anak itu dan mungkin saja akan membunuhnya! Aku harus menyelamatkannya, wanita itu benar-benar jahat." Anya berteriak.
Semua orang dibuat terkejut. Anya memang gadis ajaib bin aneh. Tapi Rendi menduga ini bukanlah sifat Anya. Anya tidak akan berteriak kesetanan dengan pandangan kosong begitu. Gadis itu lebih terlihat buta arah. Dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan sekarang.
"Anya! Sadarlah, tidak ada wanita berbaju putih!" Rahang Rayland mengeras saat melihat Anya yang sekarang. Tatapan gadis itu kosong. Anya sedang berhalusinasi.
Ketika Anya mulai bergerak berontak melepaskan diri dari Rayland. Pria itu bergerak lebih cepat semakin mempererat pelukannya. Mengunci tubuh Anya yang tiba-tiba saja sekeras batu. Lantas menyuruh Antonio mengambilkan suntikan penenang dan obat itu bereaksi dengan cepat. Tepat setelah disuntik tubuh Anya melemas dan akhirnya jatuh pingsan dalam pelukan Rayland.
Tidak menunggu waktu lama pria tampan itu menggendong Anya. Membawa istrinya menjauh dari bibir pantai di ikuti yang lain dibelakang Rayland. Tania bahkan sudah menangis dan Ryan mencoba menenangkan istrinya. Mereka semua syok.
Sangat.
Anya tidak pernah begini sebelumnya.
Semua bermula saat Anya mulai melamun saat sarapan. Gadis itu memang sedikit menanggapi ketika suaminya menegur untuk segera menghabiskan sarapannya. Tetapi kemudian akan kembali melamun dengan tidak biasa bahkan sampai mengiraukan teguran Rayland yang mulai kesal. Dan siapa yang akan menduga jika Anya malah bangkit secara kasar dari kursinya dan mulai berteriak sembari berlari menuju pantai dan membuat seorang bocah ketakutan. Sampai bocah itu jatuh pingsang dengan mulut mgeluarkan darah.
Semua orang menjadi panik.
Anya bisa saja mengamuk seperti orang kesurupan ditengah laut. Kalu saja Rayland tidak segera meraih tubuh istrinya sembari memeluk dan membuatnya sadar. Sayangnya Anya tidak kunjung sadar. Sekarang bahkan membual telah melihat seorang wanita berbaju putih. Kemudian akhirnya Anya berakhir pingsan sesaat setelah di suntik.
Sepertinya Anya butuh istirahat,
.
.
.
Ia terlihat tidak baik-baik saja.
Kamar ini bernuansa putih cream sedikit bercampur hitam di beberapa sudut bagian kamar. Sangat berkelas dan elegan. Fasilitas dikamar itu mumpuni seakan kamar ini memang didesain khusus untuk seseorang. Ada dua ranjang disebelah kanan ruangan. Satu berukuran king dan satunya lagi berukuran sedang. Dan diatas ranjang berukuran sedang terbujur kaku seorang Anya. Gadis itu masih tidak sadarkan diri selama satu jam lamanya.
Gadis itu pingsan atau tidur, sih?
Tania duduk paling dekat dengan gadis malang itu. Mengelus tangan kecil Anya seolah itu dapat memberi sedikit kehangatan. Ia ingin Anya segera sadar tetapi tampaknya Anya sendiri belum ingin terbangun. Gadis itu telihat sangat damai. Ryan sendiri berdiri tidak jauh dibelakang istrinya. Tatapannya lurus menatap adik ipar kecilnya. Rendi, Rangga, dan bahkan Ui juga tidak ingin meninggalkan kamar hotel milik Rayland. Mereka hanya duduk diam sembari menatap kosong tubuh Anya diatas ranjang.
Suasana ini. Sangat mirip saat-saat dimana keluarga itu kehilangan sosok seorang ibu. Seorang ratu keluarga Adiptara. Bedanya tidak ada tangis Rendi kecil seperti saat itu. Atau para pelayat yang ingin memberi belasungkawa.
Hei, Anya tidak mati__dia hanya pingsan.
Tetapi kenapa suasananya sesuram ini.
"Rayland haruskah kita pulang saja, atau setidaknya mengabari ayah?" Ryan menatap adiknya Rayland. Pria itu duduk disofa dengan tenang tetapi tatapan tajamnya tidak pernah lepas memandang Anya. Sembari tangannya menumpu dikedua lututnya. Lantas berdiri dan berjalan mendekat pada sisi ranjang.
"Tidak perlu. Dia tidak apa-apa." Pria itu mengulurkan tangan lantas mengelus pipi pucat istrinya. Entah ia melakukannya dengan sadar atau tidak.
Tetapi tindakan kecilnya berhasil membuat semua orang diruangan itu terdiam. Rayland memang tidak memiliki perasaan layaknya seorang pria kepada wanita pada Anya. Semua orang tau itu. Rayland bahkan telah menyimpan nama wanita lain dihatinya. Hanya saja dia juga tidak membenci istrinya. Dia jelas menyayangi Anya dalam konteks yang berbeda dan dengan caranya sendiri.
"Kak tetapi setidaknya ayah harus tau." Rendi bersuara setelah diam cukup lama.
Menatap adik satu-satunya Rayland berkata, "ayah pasti sudah tau. Tunggu saja dan dia akan segera muncul."
Brakk!!
"Apa yang terjadi? Mengapa Anya bisa sampai pingsan? Apa kalian mengurangi jatah makannya?"
Kecuali Rayland. Semua orang diruangan itu dibuat terkejut dengan kedatangan Ramlan yang rusuh. Rendi bahkan sudah menganga. Matanya menatap bergantian pada kakak ketiga dan juga ayahnya. Benar-benar. Sekarang pria baya itu mendekat pada Anya. Menatap menatunya dengan kening berkerut. Ramlan mencoba menebak apakah gadis itu sedang berbohong.
"Ya ampun. Gadis ini hanya tertidur tau."
"Ayah~" Tani merengek pada ayah mertuanya yang masih saja bercanda. Sedangkan yang lain hanya mampu menepuk jidat dengan lapang dada.
"Ayah hanya mencoba membuat kalian tertawa. Kalian tahu suasana ini membuat ayah tidak nyaman."
Tatapan Ramlan berubah senduh. Pria brewok itu menerawang jauh ke masa lalu yang sampai saat ini tidak bisa ia enyahkan dari alam bawah sadarnya. Selalu memaksa untuk di ingat walau itu adalah ingatan yang paling ingin pria baya itu hapus. Tapi tetap saja. Bayangan tubuh istrinya mati tidak pernah hilang. Itu tersimpan permanen di memorinya. Cara uniknya untuk menghapus ingatan itu adalah dengan merelakan. Pria paru baya itu mencoba selalu datang ke Bali seolah ingin menunjukkan dia tidak apa-apa. Dan tidak akan terluka lagi. Walau tekadang sampai saat ini hatinya masih saja gentar.
"Aku haus."
Mereka menoleh saat suara parau Anya terdengar. Gadis itu sadar. Dengan Cekatan Tania meraih segelas air dimeja kecil disamping tempat tidur. Membantu Anya minum kemudian tersenyum cantik menyambut si gadis rusuh. Walau masih pusing Anya tetap membalas senyuman menenangkan Tania lantas berbaring kembali. Matanya sejenak terpejam. Ia benar-benar merasa pusing.
"Apa yang kamu rasakan Anya?" Ramlan mulai bertanya.
"Pusing." Jawabnya pelan.
Hening seketika melanda ruangan itu. Mereka ingin bertanya tetapi tidak tega melihat Anya yang biasa ceria pula pemberontak. Menjadi begitu rapuh dan lemah. Ia terlihat sangat tertekan. Tetapi apa yang membuatnya sampai seperti itu.
Membuka mata. Anya menatap pada ayah mertuanya. Lalu sedetik kemudian tatapan matanya yang sedikit sayu dan lelah, berbalik menatap Rayland yang juga menatapnya. Lama gadis itu mengamati suaminya. Seakan waktu berhenti dan semua suara dimuka bumi menghilang digantikan dentingan khas jarum jam. Anya membuka mulut dan mengatakan sesuatu yang membuat Ramlan dan ke empat anak lelakinya terkejut bukan main. Terlebih Rayland yang semula tenang kini ikut memasang tatapan terkejut bercampur syok. Anya bahkan sudah melihat sulur-sulur auranya yang pekat dan semakin menghitam.
"Apa yang baru saja kamu katakan, Anya?" Rayland bertanya sekali lagi. Rahang pria tampan itu mengeras. Amarahnya naik namun ia berusaha menahan diri untuk tidak berakhir membunuh istrinya sendiri.
Saat ini juga.
Pria itu seolah ingin memastikan jika apa yang beberapa saat lalu Anya katakan adalah salah. Faktanya sama sekali tidak ada yang tahu hal ini. Hanya ayah dan ke ketiga saudaranya yang selalu menyimpan dan menutupi kenyataannya dari siapa pun, bahkan pada kedua kakak ipar nya sekalipun. Mereka sudah bertahun-tahun menjadi bagian keluarga Adiptara tetapi baik Tania ataupun Ui, mereka buta akan fakta tersebut. Lalu dari mana Anya yang bahkan baru lima bulan bergabung dikeluarga ini tahu. Bahkan sekalipun kalian bergabung, tidak ada yang bisa menjamin kamu bisa.
Menatap Rayland dengan tegas. Anya tidak terintimidasi sama sekali lantas mengulang perkataannya.
"Rayland, mengapa kamu berada disamping ibumu saat beliau merenggang nyawa setelah dibunuh dengan sadis__sedangkan semua orang tahu ibumu berlibur seorang diri," tatapan gadis itu tepat mengenai mata Rayland yang sudah menggelap. Tetapi Anya tidak berhenti dan melanjutkan.
"Kamu bahkan memegang sebuah pisau."
Kenapa?
.
.
.
Apakah Rayland yang membunuh ibunya sendiri? Fikirnya.