Larisa menuruni anak tangga dengan perlahan, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan dengan kedua mata yang ikut bergulir menatap sekeliling. Senyuman tipis terbit saat menemukan orang yang dicarinya sedang duduk manis sembari membaca koran di tangan, ditemani secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap putih.
"Pagi, Papa," sapanya sembari mengecup singkat pipi sang ayah. Anton menoleh, tersenyum lebar melihat penampilan putri bungsunya yang sudah rapi, bersiap berangkat ke sekolah.
"Pagi juga, sayang. Ayo, kita sarapan dulu!" ajak Anton. Dia memang duduk di sana karena menunggu putrinya keluar dari kamar.
"Hm, aku sarapannya nanti aja, Pa. Belum lapar," tolak Larisa. "Oh, iya. Pa, Aku boleh pinjem salah satu mobil papa gak?"
Anton mengernyitkan dahi, merasa heran karena untuk pertama kalinya sang putri berkata ingin meminjam mobilnya.
"Loh buat apa? Tumben kamu pinjem mobil papa?" tanyanya.
"Ya, buat berangkat ke sekolah, Pa."
"Emangnya kamu gak berangkat bareng Reza? Biasanya kan dia antar-jemput kamu ke sekolah."
Larisa terdiam, bingung harus menjelaskannya bagaimana. Tentu saja hari ini Reza tidak mungkin menjemputnya karena permintaannya kemarin. Bahkan semalaman kekasihnya itu sama sekali tak menghubunginya. Jangankan menelepon, mengirimkan pesan pun tidak. Memang ini permintaan Larisa, tapi entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya karena tak mendapat kabar dari pemuda itu.
"Reza kan sekarang udah kuliah, Pa. Jauh lagi kampusnya dari sekolah Icha. Kasian dia kalau harus anterin aku dulu ke sekolah. Apalagi dia lagi ikut ospek."
"Oh, jadi selama ospeknya belum beres, dia gak bakalan anterin kamu ke sekolah?" Anton kembali bertanya.
"Bukan cuma selama ospek aja deh kayaknya, Pa. Tapi mulai sekarang dia gak bakalan anterin Icha lagi." Anton terdiam, menelisik wajah putrinya yang sedang tertunduk. Dia menghela napas panjang sebelum bangkit berdiri.
Dia melenggang mendekati meja dan mengambil salah satu kunci mobil yang tergeletak di sana.
"Ini pakai mobil sedan hitam papa aja," katanya sembari mengulurkan kunci mobil pada Larisa. Dengan wajah sumringah, gadis cantik itu menerimanya.
"Makasih ya, Pa," sahut Larisa, dia memeluk lengan ayahnya manja.
"Tapi kamu sama Reza gak lagi berantem, kan?"
Larisa berjengit kaget, sebelum gelengan kepala akhirnya dia berikan sebagai respon, "Nggak kok, Pa." Bohongnya.
"Syukur deh kalau kalian gak marahan. Sebenarnya papa tuh lega banget kamu dianter-jemput sama Reza. Papa tenang tahu dia bakalan jagain kamu. Papa udah nitipin kamu ke dia soalnya."
Larisa tersentak kali ini, teringat pada ucapan Reza yang mengatakan dia selalu berada di sekeliling dirinya karena khawatir dan ingin menjaganya. Sepertinya pemuda itu tidak berbohong. Dia mati-matian menjaga Larisa karena Anton yang sudah menitipkannya.
"Papa kenapa sih pake nitipin aku ke Reza segala? Aku kan bukan anak kecil lagi, Pa," sanggah Larisa, tak suka.
"Dia kan pacar kamu. Wajar dong papa nitipin kamu sama dia. Lagian dia itu anaknya baik, papa aja kenal sama orangtuanya. Papa seneng banget loh denger kamu pacaran sama dia. Bukan karena dia anak orang kaya tapi karena papa tahu dia tulus sayang sama kamu."
Larisa kembali terdiam, hatinya mencelos sakit, teringat pada ucapan kasarnya pada Reza kemarin.
"Ya udah, Pa, aku berangkat dulu ya," pamit Larisa. Dia mencium punggung tangan Anton, lalu melenggang pergi.
Begitu membuka pintu rumah, tatapan Larisa tertuju pada gerbang rumahnya yang dalam keadaan tertutup. Biasanya begitu membuka pintu rumah, Larisa akan mendapati mobil Reza terparkir di dekat gerbang disertai sosok Reza yang menunggunya. Tapi sekarang ... dia tak melihat satu mobil pun terparkir di sana. Rasa tak nyaman kembali muncul di benak Larisa. Baru menyadari keberadaan Reza begitu berpengaruh dalam hidupnya.
Menggelengkan kepalanya sejenak guna menepis rasa tak nyaman itu, Larisa berjalan menuju garasi. Dia masuk ke dalam mobil sedan hitam milik sang ayah, lalu menjalankannya dengan perlahan. Beruntung Reza sering mengajarinya menyetir sehingga dia tak kebingungan saat harus berangkat sendirian. Dia juga sudah sering mencoba mengendarai mobil sendiri, tentu saja ditemani Reza.
Larisa mendesah lelah, ternyata semua kegiatannya selama ini memang selalu melibatkan seorang Reza R Purnomo. Sekarang dia harus belajar membiasakan diri tanpa adanya Reza di sampingnya karena mulai sekarang mungkin mereka akan jarang bertemu.
Tanpa membuang waktu lagi, Larisa melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumahnya menuju ke sekolah. Butuh waktu sekitar 30 menit baginya untuk tiba di sekolah.
***
Untuk pertama kalinya Larisa menjadi orang pertama yang tiba di kelasnya. Sosok Arvan yang biasanya datang paling awal pun belum terlihat. Mungkin karena efek terbiasa berangkat pagi-pagi bersama Reza, Larisa berangkat sekolah sama paginya seperti beberapa hari ini.
Dia duduk termenung seorang diri di kursinya. Menyandarkan kepalanya pada lengannya yang terulur di atas meja, tatapannya tertuju sepenuhnya pada layar ponsel. Pada wallpaper yang memperlihatkan foto dirinya bersama Reza.
"Apa gue minta maaf aja ya sama Reza?" gumamnya. Rasa bersalah karena kejadian kemarin masih melekat kuat di dalam hatinya.
Terlalu fokus memandangi foto sampai dia tak sadar ada seseorang yang berdiri di dekat mejanya. Sosok itu menatap datar pada Larisa yang kentara sedang melamun.
"Oi ..." panggilnya. Larisa tak merespon sedikit pun.
Sosok itu yang tidak lain adalah Arvan, berdecak jengkel. Lantas dengan kaki kanannya, dia menendang pelan meja Larisa, membuat gadis itu tersentak kaget.
"Arvan, lo ngapain sih nendang-nendang meja gue?!" Cercanya, tak suka. Kehadiran Arvan yang biasanya membuat Larisa bersemangat, kini tampak berbeda. Larisa kesal karena kegiatannya yang sedang melamunkan Reza terganggu oleh pemuda yang satu ini.
"Jangan ngelamun, ntar kesambet hantu penunggu kelas ini kan berabe jadinya."
Larisa memutar bola mata malas. Dia terdiam sebelum akhirnya tersentak karena menyadari sesuatu. 'Tumben banget nih cowok ngajakin ngomong duluan?' batinnya.
"Van, kok lo masuk sekolah sih? Kan lo lagi luka gitu. Istirahat aja kali di rumah," katanya seraya kedua matanya lekat tertuju pada lilitan perban di kening Arvan.
"Gak lah cuma luka ringan gini kok. Lagian hari ini kan ada ulangan matematika. Sayang banget kalau gue gak masuk."
Larisa kembali tersentak. Benar ... hari ini ada ulangan matematika, dia benar-benar melupakan fakta yang satu ini. Bahkan dia belum sempat belajar semalam.
"Duh, gue lupa hari ini ada ulangan. Mana belum belajar lagi?" gerutu Larisa. Dia panik luar biasa, bergegas mengeluarkan buku matematikanya dari dalam tas.
"Materi mana ya yang mau dijadiin bahan ulangan?" tanyanya.
"Lo gak nyimak yang diomongin guru ya?"
"Bukan gak nyimak, gue beneran lupa nih," sahut Larisa, tangannya sibuk membuka-buka halaman buku matematikanya yang cukup tebal.
Berdecak sekilas, tanpa permisi Arvan merebut buku tebal itu, membuat Larisa melongo dan hendak protes pada awalnya. Namun, urung saat Arvan tiba-tiba mengembalikan buku itu dalam keadaan terbuka, menunjukan salah satu halaman yang sudah ditandai karena ujung kertas pada halaman itu terlipat.
"Ini udah lo tandai halamannya. Masa masih lupa? Faktor U ya, jadinya pikun gini."
Dengan menggunakan buku tebal itu Larisa memukul perut Arvan, membuat pemuda itu meringis karena pukulan Larisa tepat mengenai lukanya. Larisa geragapan, dia benar-benar lupa Arvan sedang terluka.