Chereads / Larisa Wish / Chapter 3 - CHAPTER TIGA

Chapter 3 - CHAPTER TIGA

Larisa menguap lebar di dalam mobil hingga ujung matanya berair, rasa ngantuk masih terasa begitu berat. Seharusnya dirinya masih bergelung manja di balik selimut hangatnya, bukan meringkuk di dalam mobil seperti ini. Terlebih waktu masih menunjukan pukul setengah 6 pagi, masih cukup lama hingga bel masuk sekolah berdentang.

"Maaf ya, Beib. Kamu jadi harus berangkat pagi-pagi buta gara-gara aku."

Larisa memutar wajahnya menghadap ke arah samping dimana di sana kekasih tercintanya, Reza ... sedang duduk seraya fokus menyetir mobil.

Ya, inilah alasan dia harus berangkat pagi, tidak lain dan tidak bukan karena permintaan Reza yang harus berangkat ke kampusnya lebih pagi dari biasanya. Efek kegiatan ospek yang harus dilalui Reza sebagai mahasiswa baru. Larisa mencoba memahami situasi ini, setengah mati menahan rasa kesal yang sebenarnya bersarang di hatinya.

Reza yang sedang ospek, kenapa dirinya harus ikut-ikutan berangkat sekolah pagi-pagi buta? Kira-kira itulah yang diteriakan batin Larisa.

"Kamu marah?" tanya Reza, menyadarkan kembali kesadaran Larisa yang tengah melanglang buana.

Larisa menggeleng, memaksakan seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Nggak kok. Aku gak marah. Aku ngerti kondisi kamu," jawabnya. "Cuma harusnya kamu gak perlu repot-repot nganter aku ke sekolah dulu. Aku kan bisa berangkat sendiri," tambahnya, kembali menyunggingkan seulas senyum terpaksa.

Reza balas mendesah lelah, dia tidak bodoh, dia tahu betul Larisa sedang menahan kekesalannya. Siapa pun pasti akan kesal jika jam tidurnya terganggu, bukan? Tapi apa mau dikata, Reza terlalu tak tega membiarkan Larisa berangkat ke sekolah sendirian di saat hampir dua tahun ini mereka selalu berangkat sekolah bersama-sama.

"Aku nggak tega biarin kamu berangkat sendirian ke sekolah."

"Ya ampun, gak apa-apa kali. Aku kan bukan anak kecil yang kemana-mana harus dianter jemput," sanggah Larisa, seraya memutar bola matanya, bosan.

"Mungkin karena aku udah biasa berangkat bareng sama kamu jadi rasanya aneh kalau aku berangkat sendirian. Lagian, Om Anton udah nitipin kamu sama aku. Aku harus bener-bener jaga kamu. Aku nggak mau ngecewain kepercayaan Om Anton."

Larisa menundukan kepalanya, diam-diam merasa terharu mengetahui betapa pedulinya sang kekasih padanya.

"Sabar ya, cuma satu minggu aja kok kegiatan ospeknya. Kamu gak keberatan kan selama satu minggu ini berangkat pagi-pagi kayak gini?"

Rasanya Larisa ingin mengumpat, tapi dia juga tak mungkin setega itu memarahi kekasihnya. Pemuda yang duduk di sampingnya itu terlalu baik, perhatian dan peduli padanya. Larisa merasa mungkin inilah saatnya posisi mereka dibalik. Jika biasanya Reza yang selalu mencoba memahami dirinya, kali ini Larisalah yang harus memahami kondisi Reza.

Lantas dia pun mengangguk, menyuarakan ketidakberatannya melalui gerak tubuh, tidak melalui ucapan.

"Makasih, Beib. Aku sayang kamu," ucap Reza, dia usap lembut puncak kepala Larisa, sesuatu yang sering dia lakukan untuk menunjukan seberapa besar rasa sayangnya untuk sang kekasih.

Setibanya di depan gerbang sekolahnya, Larisa hendak turun dari mobil, jika saja dia tak merasakan tangannya dicekal oleh Reza.

Larisa menoleh, menaikkan sebelah alisnya meminta penjelasan.

"Kamu nggak ngerasa melupakan sesuatu?" tanya Reza, seraya mengedipkan sebalah matanya, jahil.

"Apa emangnya?"

Reza mendengus, terkekeh kecil terutama saat dia melihat lingkaran hitam di sekeliling mata Larisa. Sepertinya gadis itu habis begadang baca novel atau komik semalaman, untuk hobi Larisa yang satu ini, Reza sudah hafal di luar kepala.

Tak ingin membuat pacarnya semakin bingung, Reza mengeluarkan sebungkus coklat dan dua bungkus roti dari dalam tasnya. Larisa tersenyum lebar saat melihat makanan favoritnya kini mendarat mulus di telapak tangannya.

"Makasih ya, Honey. Kamu emang yang terbaik," ujar Larisa riang. Dia menepuk pipi kanan Reza pelan sebelum dirinya benar-benar keluar dari mobil Reza.

"Hati-hati di jalan."

Larisa melambaikan tangannya bersamaan dengan Reza yang melajukan mobilnya meninggalkan area pelataran sekolah Larisa.

Seperginya Reza, Larisa kembali mengembuskan napas lelah. Dia berjalan gontai memasuki gerbang sekolahnya.

"Pagi, Non. Tumben pagi-pagi udah dateng."

Larisa menoleh, mendapati seorang security bernama Pak Agus menyapanya ramah. Dia memang cukup mengenal security ini, mengingat dirinya sering terdampar di depan gerbang sekolah ketika menunggu Reza datang menjemputnya saat pulang sekolah. Alhasil, dia pun sering terlibat obrolan ringan dengan Pak Agus.

"Pagi juga, Pak. Iya nih, tuntutan permintaan pacar yang gak bisa ditolak, Pak."

Pak Agus terkekeh mendengar jawaban Larisa.

"Berkorban demi pacar ya, Non? Nggak apa-apalah, Non. Biar hubungannya makin harmonis ampe ke jenjang kawin ... eh, jenjang pernikahan maksudnya."

Larisa meringis mendengar jawaban Pak Agus, bukan apa-apa ... hanya saja mendengar kata-kata pernikahan meluncur dari mulut sang security, membuat Larisa malas mendengarnya. Dia masih sangat muda. Jalan hidupnya masih panjang, belum terpikirkan sedikit pun rencana menikah. Lagi pula dia tak ingin menikah muda, dia masih ingin melanjutkan pendidikannya setinggi mungkin. Meraih impiannya, setelah itu baru dia akan mulai memikirkan rencana pernikahan.

Lagi pula dirinya dan Reza hanya sebatas sepasang kekasih, belum tentu juga Reza itu jodoh yang ditakdirkan Tuhan untuknya. Semua pemikiran itu membuat Larisa selalu bergidik setiap kali mendengar topik tentang pernikahan.

"Iya, Pak. Ya udah, saya ke kelas dulu ya, Pak."

"Iya, Non. Silakan."

Larisa pun bergegas melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Lorong sekolah itu tampak sepi, padahal biasanya saat dia datang ke sekolah, pasti suasana sudah ramai dengan siswa-siswa yang berjalan hilir mudik di lorong ini. Mendapati suasana sekolah sesepi ini, diam-diam Larisa mulai merinding.

Tak ingin berlarut-larut dengan berbagai pikiran negatif yang mulai menari-nari di kepalanya, Larisa mempercepat langkahnya. Berharap sudah ada teman sekelasnya yang datang lebih dulu darinya. Bagaimana jadinya jika dia seorang diri di dalam kelas? Larisa jelas bukan orang sepemberani itu.

Kini dia sudah berdiri tepat di depan kelasnya. Pintu kelas masih tertutup rapat, mengundang kecurigaan Larisa bahwa belum ada satu pun teman sekelasnya yang berada di dalam. Larisa menghela napas panjang sebelum dirinya memutar kenop pintu.

Dan begitu pintu itu terbuka sedikit, Larisa melongokkan kepalanya untuk mengintip ke dalam kelas.

Pucuk dicinta ulam tiba, pribahasa itu sepertinya sangat cocok disematkan untuk Larisa. Di saat dirinya mengharapkan sudah ada teman sekelasnya yang tiba lebih dulu darinya, siapa sangka sosok Arvanlah yang dia lihat sedang duduk seorang diri di bangkunya.

Arvan Marcellino, siswa baru di kelas Larisa yang menjadi incarannya. Tipe cowok keren menurut pandangan Larisa. Kemarin dia tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Arvan, terlebih dua sahabat cecurutnya yang gencar melarang dirinya untuk mendekati pemuda itu.

Seolah Tuhan ikut memberi restu padanya untuk mendekati pemuda itu, kini sosok Arvan yang ingin dia dekati, tepat berada di depannya. Terlebih mereka hanya berduaan di dalam kelas sekarang.

Bisa dikatakan Larisa cukup pandai menyembunyikan kegirangannya, terbukti dari dirinya yang berhasil menahan keinginannya untuk berteriak histeris saking senangnya.

Dia melangkah masuk ke kelasnya dengan langkah tegap. Keraguan yang sempat menghampiri hatinya, kini menguap entah kemana.