Dengan jantung yang berdebar kencang, Larisa benar-benar melangkah memasuki club. Suara keras yang berdentam-dentam begitu dirinya masuk, seketika membuat Larisa meringis. Tak habis pikir kenapa orang-orang itu tampak menikmati musik yang menyakitkan telinga saking kencangnya.
Larisa menggulirkan matanya menatap ke sekeliling club. Meneguk salivanya panik saat matanya tanpa sengaja memergoki sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan tindakan tak senonoh, di sebuah sofa tak jauh darinya. Larisa cepat-cepat pergi, semakin dalam memasuki club tersebut.
Selain telinganya berdengung karena efek mendengar musik yang terlalu kencang itu, Larisa juga merasa pusing karena efek lampu yang tertangkap matanya. Lampu terang benderang yang tak hentinya berkerlap-kerlip.
"Ya ampuun, jadi kayak gini ya kegilaan di dalam club," gumamnya, saat tatapannya tertuju pada orang-orang yang sedang menari layaknya orang kesurupan di dance floor.
"Hai ... cantik, sendirian aja nih. Mau minum bareng gak? Ayo, saya traktir. Nanti saya bayar mahal deh kalau ada pelayanan plus-plus-nya."
Larisa meringis, mendengar nada menggoda dari seorang pria paruh baya yang tak sengaja bertabrakan dengannya. Pria itu menatapnya lapar, memperhatikan penampilan Larisa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Larisa ketakutan, dia berjalan cepat guna menghindari pria yang sepertinya sedang terpengaruh minuman beralkohol itu.
"Duuh ... Arvan mana ya?"
Larisa kembali menggulirkan matanya menatap sekeliling club. Namun nihil, sosok Arvan tak dia temukan dimana pun.
Hingga dia pun memutuskan duduk di depan meja bartender saat kepalanya terasa pening karena efek lampu dan suara yang bergaung keras. Larisa tak nyaman dengan kondisi ini, dia ingin secepatnya pergi dari tempat ini. Tapi dia tak bisa pergi sebelum menemukan sosok Arvan.
"Mau pesan apa?"
Larisa yang sedang sibuk memijit keningnya yang berdenyut, seketika menoleh. Menatap gamang pada bartender yang bertanya padanya. Larisa tersenyum, berusaha bersikap senormal mungkin meski dirinya merasa tak baik-baik saja sekarang.
"Hm, teh manis ada, Mas?" Tanyanya.
"Gak ada lah, Neng. Di sini adanya wine, bir dan minuman alkohol sejenisnya. Neng masih sekolah ya? Baru pertama kali ke sini?" Larisa mengangguk.
"Pantesan pesennya teh manis. Kalau pengen teh manis, salah tempat datang ke sini, Neng. Harusnya datang ke warteg aja atau warung," kata si bartender seraya terkekeh geli.
"Air putih mau?" Lanjutnya, merasa iba karena melihat wajah Larisa yang pucat.
"Oh, air putih ada ya?"
"Ya ada, gratis ini buat Neng," kata sang bartender seraya menyodorkan segelas air putih untuk gadis remaja di hadapannya.
"Makasih ya, Mas."
Dan tanpa pikir panjang Larisa pun menenggak habis minumannya. Dia memang kehausan.
"Ngapain sih Neng ke sini? Masih pake baju seragam lagi. Sendirian ke sininya?"
Larisa tertegun, berpikir tak ada salahnya dia menceritakan tujuan awalnya memasuki club ini. Siapa tahu dia mengenal Arvan. Kira-kira itulah yang dipikirkan Larisa sekarang.
"Saya nyari temen saya, Mas. Tadi saya lihat dia masuk ke sini."
"Siapa temennya? Cewek atau cowok?"
"Cowok. Namanya Arvan," jawab Larisa, berharap bartender di hadapannya itu mengenal sosok Arvan.
"Arvan dari The Rudal's, bukan?"
Larisa kembali tertegun, dia baru mendengar kata The Rudal's yang baru saja diucapkan si bartender. Jelas saja Larisa kebingungan sekarang, tak tahu harus menjawab apa.
"Namanya Arvan Marcellino. Cowok seumuran saya, Mas," timpal Larisa, kembali menjelaskan.
"Arvan yang saya tahu sering ke sini ya Arvan dari The Rudal's. Gak tahu deh kalau ada Arvan yang lain."
Larisa mendesah pelan, merasa percuma saja bertanya pada bertender yang sepertinya tak tahu menahu tentang Arvan.
"Itu ... itu, Neng. Arvan itu bukan yang Neng maksud?!"
Larisa terlonjak kaget saat sang bartender berucap dengan heboh, seraya menunjuk ke arah depan. Pada panggung kecil yang tepat berada di depan dance floor.
Larisa memperhatikan panggung itu. Dilihatnya ada empat pemuda yang naik ke atas panggung tersebut. Penampilan mereka urakan. Telinga ditindik, rambut dicat, tato dimana-mana. Kelopak mata yang dibuat seram dengan dilingkari memakai spidol hitam serta bibir yang entah dipoles dengan apa karena warnanya ungu tua. Intinya penampilan mereka layaknya Rocker metal.
"Itu yang namanya Arvan, yang jadi gitaris. Itu bukan Arvan yang Neng maksud?"
Larisa memperhatikan sosok gitaris yang disebutkan sang bartender barusan. Kedua mata Larisa membulat sempurna saat mengenali wajah itu.
Meski wajah itu ditutupi bedak tebal, meski rambut hitamnya digantikan dengan rambut kemerahan. Dan meskipun penampilan metalnya seolah menyamarkan fisik aslinya.
Benar ... dia memang Arvan.
Arvan The Rudal's itu memang Arvan Marcellino ... teman sekelasnya.