Larisa berjalan menelusuri lorong sekolahnya dengan wajah berseri-seri. Bukan karena kejadian manis yang terjadi padanya dan sang pacar di dalam mobil, melainkan karena dalam hatinya dia berharap kejadian kemarin terulang kembali. Kejadian dimana Arvan sudah berada di dalam kelas begitu Larisa datang.
Ini kesempatannya untuk kembali melancarkan aksinya guna menaklukan pemuda dingin itu. Kali ini dia harus berhasil menjadikan pria itu sebagai sahabatnya. Ya, hanya sahabat kok tidak lebih, rasa sayang dan cintanya hanya untuk Reza seorang. Setidaknya itulah yang Larisa yakini saat ini.
"Moga aja Arvan udah di dalam," gumamnya, berdoa sebelum dia membuka pintu begitu sudah berdiri di depan pintu kelasnya.
Larisa mengembuskan napas panjang sebelum tangannya memutar kenop pintu. Dan begitu pintu itu terbuka, langsung saja tatapannya tertuju ke arah bangku paling belakang yang tidak lain merupakan bangku yang ditempati Arvan dan teman sebangkunya, Johan.
"Yessss ... dia udah datang.��� Girangnya pelan begitu melihat sosok Arvan tengah duduk tenang di bangkunya. Seperti biasa sibuk membaca buku di tangannya. Kondisi kelas hening karena seperti halnya kemarin, sekarang pun hanya ada mereka berdua di dalam.
Dengan langkah ceria disertai wajah sumringahnya, Larisa berjalan menghampiri Arvan.
"Pagi, Van," sapanya penuh semangat, tak lupa senyuman termanisnya masih terbit di wajahnya.
Arvan melirik sekilas ke arah depannya, lantas mendengus jengkel begitu mendapati sosok gadis aneh macam Larisa lah yang sedang berdiri di sana. Menunjukan ketidakpeduliaan yang begitu kentara, dia kembali memusatkan atensinya pada buku yang dia baca.
Larisa menggeram melihat sapaannya diabaikan. Dia mengulurkan tangannya ke depan, diambilnya buku itu dengan tidak sopannya, membuat Arvan mengernyitkan dahi lalu menggeram kesal setelahnya.
"Apaan sih lo, balikin sini?!" Bentaknya cukup kencang hingga bergaung di dalam kelas.
"Jawab dulu sapaan gue, baru gue balikin nih buku."
Arvan memiringkan kepalanya sembari kedua tangannya berkacak di pinggangnya. Habis sudah kesabarannya menghadapi gadis aneh bin ajaib yang super menyebalkan ini.
"Cepet balikin buku gue!" Bentaknya sekali lagi.
Namun bukannya menuruti, Larisa justru dengan santainya membuka satu demi satu halaman buku.
"Buku tentang hukum lagi ya? Kenapa sih lo hobby banget baca buku ginian?" tanya Larisa, dia melirik tak peduli pada wajah Arvan yang memerah menahan emosi karena ulahnya.
"Balikin sini bukunya, kalau nggak ..."
"Kalau nggak, kenapa emangnya?" potong Larisa, dia menatap Arvan dengan tatapan menantang.
"Lo nantangin gue?!"
"Nggak tuh. Gue cuma pengen lo balas sapaan gue tadi. Baru nih buku gue balikin."
"Lo gak ngerti apa yang gue omongin kemarin?"
Larisa menutup kembali buku di tangannya. Memposisikan tangannya menopang dagu dengan tatapan menerawang ke atas seolah dia sedang berpikir keras sekarang.
"Omongan lo yang mana ya? Kok gue gak inget ya?"
"Amnesia lo?"
"Mungkin," jawab Larisa santai. Benar-benar tak gentar walau pemuda di depannya berekspresi bagaikan banteng yang siap menyeruduk.
"Balikin gak buku gue?"
"Balas dulu sapaan gue tadi."
Seketika Larisa menjerit saat Arvan tiba-tiba menerjangnya, pemuda itu mendorongnya kasar hingga pinggang Larisa menabrak cukup keras ujung meja di depannya. Larisa meringis, dia kesakitan karena kekasaran Arvan ini. Dan situasi Larisa yang tengah lengah ini, dia manfaatkan untuk merebut buku miliknya dalam pegangan tangan Larisa.
Dia pun menjauh dari Larisa, sama sekali tak berniat membantu gadis itu yang tengah mengusap-usap pinggangnya. Lantas kembali duduk tenang di bangkunya, melanjutkan aktivitas membacanya yang tertunda.
"Lo kasar banget sih jadi cowok," umpat Larisa, wajahnya masih tampak meringis kesakitan.
"Pertama, lo tolak mentah-mentah kebaikan gue yang ngasih roti buat lo."
"Kedua. Lo juga dorong gue di perpustakaan. Kasar banget ampe punggung gue sakit pas nabrak rak buku."
"Ketiga, lo narik tangan gue kasar banget kemarin waktu di club, ampe tangan gue merah-merah. Lihat nih tangan gue masih bengkak tahu, gara-gara darahnya gak ngalir waktu lo megang kekencengan," kata Larisa sembari menunjukan pergelangan tangannya yang kemarin digenggam erat Arvan.
Tentu saja bohong karena faktanya tangannya tak terlihat memerah sama sekali, justru tampak normal-normal saja. Dia sengaja mengatakan ini untuk menarik perhatian Arvan. Yang sayangnya tak berhasil karena Arvan masih tetap fokus membaca bukunya.
Larisa berdecak, gantian dia yang mulai tersulut emosinya. Diabaikan ternyata tidak enak, sekarang dia paham betul perasaan jengkel yang dialami beberapa tokoh wanita dalam novel yang pernah dia baca.
"Keempat, lo bentak-bentak gue di pinggir jalan. Lo harusnya jaga sikap lo di depan umum. Lo gak malu emangnya bentak-bentak cewek di depan umum? Cowok tuh harusnya lembut sama cewek."
Larisa melanjutkan ucapannya dan Arvan masih tidak memberikan respon yang berarti. Tidak meresponnya sama sekali, lebih tepatnya.
"Kelima, lo dorong gue waktu masuk ke dalam taksi. Parah banget lo dorong gue ampe jidat gue nyaris kepentok jok mobil. Harusnya lo lihat muka melongo si sopir taksinya. Malu juga sih harusnya lo ketangkep basah ngasarin cewek."
"Keenam, kejadian barusan. Lo tega ya dorong gue ampe pinggang gue nubruk ujung meja. Sakit tahu gak, pinggang gue. Gimana kalau memar? Lo mau tanggungjawab!"
Larisa menggeram, lalu mendesah frustasi karena sejak tadi dia hanya berceloteh sendirian. Entah mengapa dia jadi merasa sedang berbicara dengan tembok sekarang.
"Kayaknya julukan Mr kutub yang dikasih sama Pretty ke lo, kurang cocok deh. Manusia tembok baru pantes."
Larisa tertawa terbahak-bahak setelahnya. Dan kali ini suara tawanya yang menggelegar sukses mengganggu konsentrasi seorang Arvan Marcellino.
Pemuda itu tiba-tiba bangkit berdiri dari duduknya. Menggebrak meja cukup kencang dengan kedua tangannya hingga Larisa berjengit saking kagetnya. Lantas dia berjalan mendekati Larisa yang berdiri mematung karena heran dengan tindakan mendadak si pemuda.
Dan ketika tubuh mereka nyaris berhimpitan karena Arvan yang mendekatkan tubuhnya pada Larisa, refleks Larisa mendorong dada pemuda itu dengan kedua tangannya.
"Eh, Eh, lo mau ngapain?!"
Larisa panik sekarang. Terlebih jarak wajah mereka yang cukup dekat sukses membuat jantung Larisa bertalu-talu cepatnya bahkan suara degup jantungnya terdengar bagaikan genderang mau perang di telinga Larisa. OK, perumpaannya lebay, tapi memang segugup itu Larisa sekarang.
"Camkan kata-kata gue ini!" Kata Arvan sembari jari telunjuknya dia letakan tepat di depan mata Larisa.
"Pertama, gue gak butuh belas kasihan lo. Serendah itu ya gue di mata lo? Lo pikir gue gak mampu beli makanan sendiri ampe lo repot-repot ngasih roti lo sama gue."
Larisa geragapan sekarang. padahal bukan itu maksud Larisa memberikan roti padanya kemarin.
Larisa ingin membela diri, menjelaskan kesalahpahaman ini intinya. Namun tak berkutik dikala Arvan meletakan telunjuknya di depan bibir Larisa. Seketika membuat bibir yang sudah terbuka itu kembali terkatup rapat.
"Kedua, lo duluan yang ganggu gue di perpustakaan kemarin. Jadi jangan salahin gue kalau gue dorong lo. Gue gak sudi ya deket-deket sama lo. Alergi gue deket sama lo."
Larisa menegang mendengar ucapan Arvan kali ini.
"Ketiga, harusnya lo ngucapin makasih sama gue. Gue udah bawa lo keluar dari tempat yang seharusnya gak lo masuki. Atau lo mau jadi salah satu jalang di sana? Makanya lo marah gue bawa lo pergi dari sana? Lo mau jadi salah satu peliharaan om-om hidung belang kayak kebanyakan cewek-cewek di sana? Iya?!"
Larisa membulatkan matanya, kata-kata Arvan sudah keterlaluan dan ... menyakiti perasaannya.
"Keempat, cewek gak tahu malu kayak lo emang pantes buat dibentak-bentak. Gak tahu deh, lo ini gak tahu malu atau kelewat bego. Heran gue, ada gitu cewek kayak lo. Dibilangin jangan ganggu gue, jangan deketin gue. Lo tetep aja ngintilin gue. Bebal benget sih lo."
Napas Larisa terasa putus-putus sekarang, tak menyangka Arvan bisa sekasar ini.
"Kelima, masih untung gue mau mesenin taksi buat lo. Untung aja gak gue telantarin lo di pinggir jalan. Biarin aja ada cowok-cowok preman yang biasa luntang-lantung disana, nyulik lo. Gue jadi nyesel udah nolongin lo kemarin."
"Oh ya, asal lo tahu ... gue gak peduli apa pun pendapat orang lain tentang gue. Mau dikatain preman kek, jahat kek, dikatain cowok bajingan pun ... gue gak peduli."
"Keenam, gue gak peduli walaupun pinggang lo patah sekali pun. Lo udah ngelanggar batasan yang udah gue kasih ke lo. Gue bilang kan kemarin sama lo? JANGAN GANGGU GUE!"
Arvan menjauhkan tubuhnya dari Larisa setelah itu. Dia abaikan sepenuhnya wajah Larisa yang sudah berkaca-kaca nyaris menangis.