Arvan menuju pintu dengan langkah tegap, ketenangan masih terpancar di wajahnya saat dirinya membuka pintu serta melangkah keluar dari toilet. Namun, begitu dirinya menoleh ke arah samping dan mendapati gadis itu berdiri di sana sembari menyenderkan punggungnya pada dinding, detik itu juga Arvan menegang di tempat.
"Lo sakit perut ya? Lama amat di toiletnya?" tanya Larisa dengan raut datar, terlihat kesal karena dirinya dibuat menunggu 30 menit lamanya di depan toilet pria.
"L-Lo ngapain berdiri di sini?"
"Ya kali gue mau numpang kencing di toilet cowok. Jelas nungguin lo lah yang tiba-tiba kabur ke sini," jawab Larisa emosi, Arvan menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kenekadan seorang Larisa.
"Otak lo beneran udah geser kayaknya."
Arvan berjalan cepat setelah mengatakan kata-kata pedas itu. Berjalan cepat dengan kepala tertunduk, meninggalkan Larisa yang coba mengejarnya dari belakang.
"Arvan, lo jahat banget sih ninggalin gue terus!!"
Arvan berdecak sebal, dia benar-benar malu sekarang karena suasana sekolah yang sudah mulai ramai membuat mereka jadi pusat perhatian sekarang.
Dia mempercepat langkahnya tanpa menatap ke arah depan, hingga tanpa sengaja dirinya bertabrakan dengan seorang gadis di sebuah belokan. Gadis itu jatuh terduduk di lantai, sedangkan Arvan hanya mundur beberapa langkah ke belakang sebagai efek kerasnya benturan mereka.
"Aduuh ..."
Si gadis meringis kesakitan, merasa bersalah karena dirinya yang menyebabkan gadis itu terjatuh, Arvan mengulurkan satu tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.
"Sorry, gue gak sengaja," katanya. Dan begitu gadis itu mendongak, Arvan tersentak kaget. Wajah gadis itu sangat tidak asing baginya. Dia kenal gadis ini.
"Arvan ... Lo Arvan Marcellino, kan?"
Arvan mengangguk, rupanya gadis itu pun masih mengingat dirinya. "Lo, Ratih ya?" tanya Arvan ragu, ketika gadis itu mengangguk disertai gerakan tangannya yang tanpa ragu menerima uluran tangan Arvan, Arvan pun mengembuskan napas lega. Sepertinya dia tidak salah menyebut nama gadis itu.
"Kok lo bisa ada di sekolah ini, Van?"
"Mulai semester ini, gue pindah ke sini."
"Waah ... lo di kelas mana?"
"Kelas XII IPA 3," jawab Arvan.
"Oh, pantesan baru lihat. Gue ngambil jurusan IPS soalnya."
Arvan mengangguk kecil, dia juga baru menyadari bahwa gadis bernama Ratih ini menuntut ilmu di sekolah ini juga.
Menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang Arvan, Ratih sedikit melongokan kepalanya, mengintip.
"Eh, ada Larisa juga ternyata," katanya, sedikit terkejut. Larisa memasang cengiran lebar sembari melambai sebagai respon.
Meski tidak pernah sekelas dengan Larisa, tentu Ratih mengenal gadis itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal Larisa Putri Kusuma? Gadis cantik dan manis yang pernah menjadi incaran para siswa laki-laki di sekolah mereka itu, merupakan gadis yang terkenal baik hati dan ramah pada semua orang. Dia juga pintar terlebih di bidang pelajaran hitung menghitung. Dan setelah gadis itu menerima pernyataan cinta dari kakak kelas sekaligus mantan ketua OSIS mereka yang bernama Reza, para siswa laki-laki yang mengejarnya pun mundur secara teratur.
"Lo mau kemana, kayaknya buru-buru banget?"
Ratih memutar lehernya ke arah pria jangkung yang berdiri di depannya, begitu suara pria itu terdengar.
"Mau ke kantin, gak sempet sarapan di rumah. Bentar lagi kan bel masuk bunyi, makanya gue buru-buru," jawabnya, jujur.
"Oh, kebetulan, gue juga mau ke kantin. Yuk bareng!"
Larisa melongo tak percaya melihat reaksi Arvan yang bertolak belakang saat bersikap di depannya. Di depan Ratih, pemuda itu bersikap sangat baik dan bersahabat. Larisa kesal tiada tara, dia melanjutkan langkahnya, mengikuti sepasang pemuda-pemudi yang kini berjalan santai di depannya sembari terlibat obrolan ringan.
***
Mereka duduk dalam satu meja di kantin. Tiga piring nasi goreng yang masih mengepul telah terhidang di atas meja. Larisa tampak menikmati makanannya dengan santai, kedua matanya tak hentinya melirik ke arah dua orang yang masih terlibat obrolan di sampingnya.
Berbeda saat berbicara dengannya yang cenderung ketus dan dingin, saat bicara dengan Ratih, Arvan sangat sopan dan ramah. Larisa menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya dengan kasar sebagai reaksi dia benar-benar marah sekarang.
'Apa-apaan si Arvan, kenapa cuma sama gue aja dia jutek?' gerutunya dalam hati.
"Oh, iya. Kalian kok bisa saling kenal sih?" tanya Larisa, sudah tak tahan karena dirinya bagaikan obat nyamuk, dianggap tak ada oleh pasangan tersebut.
"Waktu masih SMP kami sekelas tiga tahun." Ratih yang menjawabnya, membuat Larisa mengangguk-angguk karena memahami alasan mereka terlihat akrab.
"Lo dulu ngilang udah lulus SMP."
"Bukan ngilang, tapi gue gak lanjutin ke sekolah yang sama kayak kalian aja."
Larisa lagi-lagi menjadi obat nyamuk, Arvan dan Ratih kembali tenggelam di dunia mereka berdua tanpa melibatkan Larisa di dalam obrolan mereka.
"Parah sih lo gak pernah ngontek kita lagi. Lo ganti nomor ya?" Arvan mengangguk, mengiyakan.
"Kabar terakhir lo yang gue tahu, lo jadi juara olimpiade matematika ya tahun lalu?" Arvan kembali mengangguk.
"Gue gak heran sih, dari dulu lo emang pinter banget matematika."
Berbeda dengan mereka berdua yang berekspresi santai, Larisa sama sekali tak berekspresi santai. Dia terperangah mendengar fakta seorang Arvan merupakan juara olimpiade matematika tingkat nasional.
Tunggu ... dia ingat sekarang. Tahun lalu hanya Regina yang menjadi perwakilan Gardellia International High School di mata pelajaran matematika, yang gagal memenangkan kejuaraan. Saat itu Regina mengatakan lawannya dari sekolah lain sangat hebat hingga mendapatkan nilai yang sempurna. Jadi Arvan kah yang mengalahkan Regina?
Larisa kembali tertegun sembari bersedekap dada. Regina mustahil tidak mengenali Arvan si juara olimpiade yang mengalahkan dia, saat pertama kali Arvan mengenalkan diri di depan kelas sebagai siswa baru. Lalu kenapa Regina tidak menceritakan apa-apa padanya? benak Larisa penuh tanda tanya. Dan dia bertekad akan menanyakan hal ini pada sahabatnya yang sok cenayang tersebut.
"Gue juga denger kabar soal keluarga lo, Van. Gue ikut sedih dengernya."
Seketika Larisa kembali menatap pada pasangan itu. Disadarinya Arvan yang tiba-tiba berekspresi tegang setelah mendengar ucapan Ratih. Begitu pun Ratih yang membekap mulutnya seolah baru menyadari dia telah mengatakan sesuatu yang tabu untuk dibahas.
"Sorry van, gue gak maksud."
"Gak apa-apa kok, nyantai aja."
Dan jiwa kekepoan Larisa bangkit seketika. Mungkinkah penyebab Arvan menjadi seperti sekarang, menjadi sosok pria yang tak tersentuh, tertutup dan penyendiri ada hubungannya dengan keluarganya? Larisa merasa gatal sekarang, dia ingin mencari tahu alasan Arvan menutup diri dan menolak tawaran pertemanan dari semua orang di kelasnya.
Tanpa ketiga siswa ini ketahui, nun jauh di sana ... tepatnya di dekat pintu kantin, seorang pemuda tengah menatap ke arah mereka dengan kedua tangan mengepal menahan emosi. Boby namanya, ketua salah satu geng anak nakal di Gardellia International High School yang tengah dilanda cemburu karena melihat kekasihnya, Ratih ... tengah mengobrol akrab dengan pria lain.
Dia bertekad akan memberi pelajaran pada pria mana pun yang berani mendekati kekasihnya, tentu saja termasuk Arvan.