"Arvan, waah ... kebetulan banget dia ada di sini."
Larisa girang bukan main, sekilas dia melirik ke arah Rara yang masih sibuk bertelepon ria. Tak ingin mengganggu Rara, dia pun melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun pada Rara.
Barulah dia menghentikan langkahnya setelah berdiri tepat di depan Arvan yang masih belum menyadari kehadirannya.
Larisa melongokan kepalanya untuk mengintip judul buku yang sedang dibaca Arvan.
"Lagi-lagi buku tentang hukum yang lo baca. Gak bosen apa?"
Arvan refleks mendongak begitu telinganya mendengar suara Larisa. Pemuda itu mengernyitkan dahi kentara tak suka melihat kehadiran Larisa. Gadis aneh dan gila yang tadi pagi mengganggu ketenangannya.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Arvan sinis.
"Nyari bukulah, ngapain lagi emangnya?"
"Terus ngapain lo di deket gue? Pergi sana, jauh-jauh dari gue."
Dengan buku di tangannya, dia mendorong bahu Larisa agar menjauh darinya.
"Lo itu kasar banget sih jadi cowok. Sakit tahu gak bahu gue lo dorong pake buku setebel itu?"
Larisa memberengut lucu, dia mengusap-usap bahunya yang terasa sakit karena kekasaran seorang Arvan.
"Makanya lo pergi sana kalau gak mau gue kasarin."
"Ini bukan perpustakaan punya bapak lo ya, jadi gue bebas mau kemana aja. Suka-suka gue dong," timpal Larisa tak santai, sebaliknya dia kesal bukan main.
Arvan terdengar menggeram kesal, lagi-lagi ketenangannya terganggu oleh gadis super aneh dan berisik macam Larisa.
"Van, kenapa sih lo suka banget baca buku tentang hukum?" Tanya Larisa tiba-tiba, dia abaikan tatapan tajam yang dilayangkan Arvan padanya. Tak merasa gentar atau takut sedikit pun.
"Bukan urusan lo."
"Ya ampun, gue kan cuma nanya. Tinggal jawab aja apa susahnya?"
Arvan hendak pergi karena tak tahan lagi menghadapi Larisa, namun langkahnya buntu karena Larisa yang merentangkan kedua tangannya di hadapan Arvan, gadis itu mencegatnya.
"Minggir lo."
"Mau kemana? Udah terusin aja baca bukunya."
"Gimana gue bisa baca kalau mulut lo ngoceh terus?" Ujar Arvan disertai wajahnya yang memerah menahan emosi.
"Ya ampun, ngoceh apa sih? Gue kan cuma nanya tadi."
Arvan kehilangan kendali dirinya, tiba-tiba dia mencekal tangan Larisa, mendorong gadis itu hingga punggungnya membentur rak buku. Larisa meringis terutama saat tubuh Arvan yang menghimpitnya, dia tak bisa berkutik.
"Lo itu maunya apa sih sebenarnya? Dari pagi gangguin gue terus."
Larisa menatap horor pada wajah Arvan yang memerah, terutama dengan jarak sedekat itu membuat Larisa bisa melihat dengan jelas urat-urat marah di pelipis Arvan yang mulai bermunculan.
"Lo mau godain gue? Iya?" Tuduh Arvan, Larisa membulatkan matanya lebar-lebar.
"Sorry aja, lo bukan tipe cewek idaman gue," lanjut Arvan, semakin menekan punggung Larisa menempel pada rak buku di belakangnya.
"G-Gue kan udah bilang cuma pengin sahabatan sama lo," jawab Larisa, gugup bukan main. Selain bisa melihat dengan jelas raut wajah Arvan yang sedang marah, Larisa pun bisa mencium aroma tubuh Arvan yang memabukan baginya dalam jarak sedekat itu. Diam-diam dia meneguk salivanya gugup.
"Gue gak minat sahabatan sama lo, jangankan sahabatan, kenal lo lebih jauh aja gue ogah," sahut Arvan.
Larisa semakin geragapan dibuatnya dikala Arvan mendekatkan wajahnya, berpikir pemuda itu akan melakukan tindakan tak senonoh padanya seperti mencuri first kiss-nya, Larisa tentu tak akan tinggal diam. Reza saja yang pacar resminya tidak pernah berani ingin menciumnya, tapi Arvan ... cowok yang baru beberapa hari dikenalnya sudah berani bersikap kurang ajar padanya.
Saat Larisa memutuskan akan menendang kaki Arvan, seketika dia mengurungkan niat ketika Arvan menjauhkan dirinya tanpa melakukan tindakan yang sempat dipikirkan Larisa tadi. Pemuda itu sama sekali tidak menciumnya melainkan hanya menghirup aroma parfum yang Larisa pakai.
Larisa mengernyitkan dahinya melihat Arvan sedang menutup hidungnya sekarang, seolah dia baru saja mencium aroma yang menjijikan.
Merasa aroma tubuhnya yang membuat Arvan bersikap seperti itu, Larisa cepat-cepat mencium aroma tubuhnya sendiri. Kembali mengernyit saat satu-satunya aroma yang bisa dia cium dari tubuhnya hanyalah aroma parfum yang biasa dia pakai.
"Lo kenapa sih, Van? Badan gue wangi kok," tanya Larisa, penasaran karena Arvan yang masih membekap hidungnya dengan satu tangannya.
"Aroma parfum lo norak banget."
Larisa melongo, saking terkejutnya dia sampai tak sadar saat Arvan melesat pergi, berhasil melarikan diri darinya.
***
Gina dan Pretty menatap heran ke arah Larisa yang tiba-tiba datang dengan wajah lesu. Entah kemana gadis itu pergi tadi karena begitu mereka kembali ke kelas setelah menyelesaikan makan siang di kantin, mereka tak mendapati sosok Larisa.
Dan sekarang Larisa kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan dibanding saat di kantin.
"Lo kenapa sih sebenarnya, Cha?"
"Cerita sama kita berdua. Jangan bilang you putus sama pacar you yang perfect itu?"
Larisa mendongak, menatap sendu kedua sahabatnya yang sedang menatap penuh tanda tanya padanya. Larisa mendesah lelah, mungkin dia memang harus berbagi kesedihannya ini pada kedua sahabat absurd-nya sekaligus dua orang yang paling mempedulikan dirinya di sekolah ini.
Larisa pun menceritakan segalanya, mulai dari penolakan Arvan ketika Larisa mengajak pemuda itu berteman maupun menolak roti pemberian darinya. Puncaknya dia ceritakan pula kejadian di perpustakaan barusan.
"Ya ampuuun ... tuh Mr kutub emang keterlaluan. You sih gak nurutin kata ane. Kan ane udah larang you deket-deket sama dia. Gini kan jadinya, you sakit hati," ucap Pretty seraya memutar bola matanya, malas.
"Tapi gue serius pengin jadiin dia sahabat gue," balas Larisa.
"Emang kita berdua belum cukup ya jadi sahabat lo, Cha?"
Larisa menggelengkan kepalanya cepat, tak setuju sedikit pun dengan ucapan Gina barusan.
"Nggaklah, bukan gitu. Gue tahu cuma kalian sahabat terbaik gue. Tapi gue juga pengin ..."
"Cha, udah deh gak usah nyari gara-gara deketin si Arvan itu. Bener kata Pretty, tuh cowok cuma bisa bikin lo sakit hati sama kata-kata dia."
"Omongan dia kayak bon cabe level 30, pedeeeeees." Pretty menimpali, dia mengipas-ngipasi mulutnya dengan tangannya seolah sedang meredakan bibirnya yang terbakar karena memakan makanan super pedas.
Larisa terkekeh melihat tingkah Pretty, pemuda melambai itu memang selalu terlihat konyol dan lucu bagi Larisa.
"Oh iya, emang menurut kalian aroma parfum gue norak ya?" Tanyanya, ingin mengetahui pendapat dua sahabatnya.
"Norak apaan, wangi kok. Gue suka," sahut Gina, sedangkan Pretty hanya mengangguk-anggukan kepalanya menyetujui ucapan Gina.
"Itu parfum kiriman dari kak Latina dari Paris, kan?" Tambah Gina. Larisa mengangguk. Parfum yang selalu dipakainya memang kiriman dari sang kakak yang sedang kuliah di Paris. Parfum khusus yang hanya ditemukan di negara fashion itu.
"Tapi kayaknya mau gue ganti aja deh parfumnya."
"Haah? Kenapa?" Tanya Gina dan Pretty serempak.
"Itu parfum udah jadi ciri khas lo, Cha. Dari kejauhan aja kita-kita udah tahu lo yang dateng kalau nyium parfum lo," sanggah Gina, terang-terangan tak menyetujui keputusan Larisa yang berniat mengganti parfumnya.
Larisa hanya nyengir, namun dalam hatinya dia bertekad akan benar-benar mengganti parfumnya. Apa pun yang menghalanginya untuk menaklukan seorang Arvan Marcellino akan dia singkirkan, tentu saja termasuk parfum kesayangannya juga.