Chereads / Larisa Wish / Chapter 4 - CHAPTER EMPAT

Chapter 4 - CHAPTER EMPAT

Arvan terlihat sedang menundukan kepala, tatapannya fokus pada buku yang sedang dia baca. Bahkan keberadaan Larisa yang kini berdiri tepat di hadapannya pun sepertinya tak disadari pemuda itu.

"Eheeem ..."

Larisa berdeham cukup kencang. Harapannya sih bisa membuat Arvan menyadari kehadirannya.

Larisa mengerutkan dahinya dikala melihat Arvan tak menggubris keberadaannya, pemuda dingin itu masih tetap fokus membaca buku tanpa sedikit pun menoleh ke arah Larisa, seolah Larisa makhluk astral tak kasat mata.

Larisa pun mengetuk-ngetuk meja Arvan dengan kepalan tangannya. Dan bingo ... dia berhasil kali ini. Arvan mendongak, melirik dengan ujung matanya ke arah Larisa yang tengah tersenyum lebar padanya.

"Hai, pagi," sapa Larisa, seramah mungkin. Senyuman masih betah terulas di bibirnya.

Niat awal ingin mendengar suara berat Arvan yang membalas sapaannya, yang didapat Larisa justru sebaliknya. Pemuda itu malah kembali memfokuskan pandangannya pada setiap kata yang tertera dalam buku bacaannya.

Larisa mendengus kasar disertai gelengan kepalanya. Anehnya dia tak merasa marah ataupun kesal diabaikan oleh pemuda di hadapannya. Sebaliknya, dia senang mendapat perlakuan seperti ini.

OK, anggap saja Larisa ini tipe gadis tidak normal, tapi nyatanya memang itulah yang dirasakan olehnya. Bagi Larisa, inilah pertama kalinya ada orang yang mengabaikan dirinya karena selama ini semua orang di sekitarnya seolah berlomba-lomba untuk dekat dengannya. Sesuatu yang wajar mengingat Larisa memiliki paras cantik yang tidak membosankan dipandang mata. Dia juga gadis yang supel, mudah bergaul dengan siapa pun. Mungkin kecerdasannya menjadi salah satu daya tarik gadis ini.

"Kalau ada yang ngajakin ngomong tuh dijawab, bukannya dicuekin," ucapnya, namun lagi-lagi diabaikan oleh Arvan.

"Boleh kenalan nggak? Gue kayaknya belum ngenalin diri deh sama lo."

OK, Larisa mulai tertantang sekarang. Pemuda di hadapannya itu benar-benar seperti arca hidup.

Larisa pun dengan berani merebut buku di tangan Arvan. Menghentakan buku itu ke atas meja dengan tangan kirinya, menimbulkan suara gebrakan cukup keras yang seketika membuat Arvan mengernyitkan dahinya, tampak tak suka.

"Kenalin dong, nama gue, Larisa putri Kusuma."

Mengabaikan tatapan menghunus tajam yang dilayangkan Arvan padanya, Larisa justru mengulurkan tangan kanannya ke arah Arvan dengan berani. Penuh semangat menyebutkan nama lengkapnya, jangan lupakan senyuman lebar yang lagi-lagi dia pasang di wajahnya.

"Apa susahnya sih nerima uluran tangan gue? Gue kan cuma mau kenalan."

"Gak butuh. Lo kan udah tahu nama gue," balas Arvan, akhirnya bersuara.

Larisa melebarkan matanya, Arvan benar-benar tipe cowok yang sama persis seperti cowok-cowok cool nan dingin yang dia baca di novel-novel favoritnya. Larisa pun semakin yakin Tuhan telah berbaik hati mengabulkan harapannya. Tipe cowok keren di dalam cerita novel, kini benar-benar ada di hadapannya. Bisa dia lihat dengan kedua matanya, bahkan berinteraksi langsung dengannya.

Larisa senyum-senyum sendiri, sukses membuat Arvan tidak hanya mengernyitkan dahinya tapi mulai duduk gelisah, cuirga gadis di hadapannya itu sudah gila.

"Balikin buku gue."

Arvan hendak mengambil bukunya yang masih dipegang Larisa. Namun, bukannya menyerahkan buku itu, Larisa justru menangkap tangan Arvan yang terulur di udara, lantas menggenggamnya dengan tangan kanannya, kini mereka terlihat sedang berjabatan tangan.

Arvan terkejut bukan main dengan tindakan mendadak gadis aneh di depannya. Dia mencoba melepaskan genggaman tangan Larisa, namun gagal karena Larisa yang tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja.

"Lo kenapa sih?" tanya Arvan sinis.

"Gue kan bilang pengin kenalan. Biasanya orang yang lagi kenalan kan suka jabatan tangan."

Arvan memelotot, tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu.

"Iya, gue tahu nama lo, lo gak usah repot-repot nyebutin nama lo lagi. Arvan Marcellino kan nama lo?"

"Lepasin tangan gue." Arvan mendesis, jengkel setengah mati menghadapi gadis super aneh dan tak tahu malu seperti Larisa.

Larisa terkekeh karena Arvan memelototinya sekarang, tapi toh akhirnya dia lepaskan juga tangan Arvan.

"Sini balikin buku gue."

"Lo lagi baca buku apa sih?"

Larisa menatap sampul buku di tangannya. Dahinya mengernyit saat membaca judul buku itu yang sepertinya berhubungan dengan dunia hukum.

Niat hati ingin membuka buku lalu membaca sedikit isinya, dia harus pasrah saat Arvan dalam sekali ayunan berhasil merebut paksa buku itu dari tangannya.

"Kok lo baca buku tentang hukum sih? Kirain gue, lo lagi baca novel?"

Arvan diam membisu. Memilih menyibukkan dirinya lagi dengan buku bacaannya daripada membuang waktu, tenaga dan energinya hanya untuk meladeni gadis aneh macam Larisa.

"Oh iya Van, lo udah sarapan belum? Ini kebetulan gue bawa roti. Ada dua nih. Kalau lo mau, ini satu buat lo."

Larisa mengeluarkan dua bungkus roti yang tadi diberikan Reza untuknya. Meletakan roti rasa coklat di tangan kanannya sedangkan roti rasa keju dia letakkan di tangan kirinya. Lalu dia ulurkan kedua tangannya ke arah Arvan, memberi isyarat agar Arvan memilih salah satu rotinya.

"Lo mau yang mana? Pilih salah satu," tambahnya.

Arvan melirik sekilas ke arah telapak tangan Larisa. Terlihat tak berminat pada dua roti yang ditawarkan Larisa. Padahal dari tampilannya, roti itu terlihat menggiurkan. Wajar bukan karena seorang pemuda kaya raya seperti Reza tidak mungkin membelikan kekasihnya roti murah yang dijual di pinggir jalan. Pasti roti itu dibelinya di toko khusus roti yang harganya tak perlu ditanyakan lagi, pasti bernilai tinggi. Dan rasanya tak perlu diragukan lagi, pasti sangat lezat.

"Roti ini enak lho, Van. Gue sering makan, hampir tiap hari malah gue makan ini roti. Ayo dong pilih salah satu."

"Nggak usah. Makasih," jawab Arvan. Larisa refleks tersenyum tipis, diam-diam senang karena Arvan kembali menyahut.

"Kenapa nggak mau? Percaya deh sama gue. Lo pasti doyan kok rasanya. Bakalan ketagihan malah. Ayo pilih salah satu."

Larisa mengulurkan tangannya semakin mendekat ke arah Arvan. Arvan mendesis kesal. Untuk kesekian kalinya dia mendelik tajam ke arah Larisa yang anehnya justru membuat Larisa tersenyum lebar melihatnya.

"Gue udah sarapan."

"Kalau gitu lo bisa makan roti ini nanti kalau lo laper."

"Gue gak minat."

"Ini enak lho rasanya."

"Gue gak peduli."

"Lo pasti ketagihan. Percaya deh sama gue."

"Musrik gue kalau percaya sama lo."

Dan Larisa pun tertawa lantang mendengar jawaban Arvan.

"Ya, nggaklah masa musrik sih. Ini beneran enak, Van. Lo harus nyobain. Nanti lo nyesel lho."

Arvan menggelengkan kepalanya, tak habis pikir kenapa ada gadis pemaksa macam Larisa.

"Lo manusia apa, bukan?"

Larisa terperangah, bingung sendiri mendengar pertanyaan Arvan kali ini.

"Lo kira gue apa kalau bukan manusia? Hantu?"

"Jadi lo manusia?"

"Ya iyalah, gue manusia."

"Gue kirain lo alien yang gak ngerti bahasa manusia."

Larisa pun terkikik geli kali ini, hingga memegangi perutnya yang mulai terasa kram karena terlalu banyak tertawa. Arvan menaikan sebelah alisnya, orang normal harusnya kesal diledek seperti itu, aneh bin ajaibnya gadis di hadapannya itu justru terlihat terhibur. Padahal Arvan serius ingin secepatnya menyingkirkan Larisa dari hadapannya. Tak ingin berlama-lama berinteraksi dengannya.

Merasa tak tahan lagi menghadapi kegilaan Larisa yang kembali memaksanya menerima roti itu. Arvan pun bangkit berdiri, berniat untuk pergi. Jika saja dia tak merasakan tangannya dicekal oleh seseorang. Tentu siapa lagi pelakunya jika bukan Larisa.

"Ini buat lo, karena gue suka roti rasa coklat, jadi buat lo yang rasa keju aja ya. Please, terima ya rotinya," pinta Larisa tulus, dia meletakan roti rasa keju di telapak tangan Arvan yang sedang dipegangnya.

"Kenapa sih lo maksa banget ngasih roti ini?" tanya Arvan, penuh curiga.

"Hm, kenapa ya?" sahut Larisa, memasang gestur sedang berpikir. Arvan mendesis, geram bukan main menghadapi Larisa. Dia ingin pergi secepatnya. Tak ingin lebih lama lagi terlibat obrolan tak penting dengan gadis gila macam Larisa.

"Anggap aja roti ini sebagai tanda pertemanan kita. Mulai hari ini kita teman ya. Lo gak usah repot-repot ngucapin makasih. Lo mau nerima roti ini aja, gue udah seneng banget," lanjut Larisa, tak lupa menyematkan senyuman manis andalannya di akhir kalimatnya.

Dalam sekali hentakan, Arvan melepaskan cekalan tangan Larisa, seketika tangannya pun terlepas. Lantas dia letakan roti dalam genggamannya ke atas meja.

"Gue gak minat sama roti lo," katanya ketus.

"Eeehhh, kenapa? Beneran, gue nggak ada niat apa-apa kok. Gue cuma pengin temenan sama lo."

"Tapi gue nggak mau temenan sama lo."

"Kenapa? Kenapa lo nggak mau temenan sama gue?" tanya Larisa memelas sekaligus meminta penjelasan.

"Gue sekolah di sini buat belajar, bukan buat nyari temen."

Arvan pun melanjutkan langkahnya.

"Apa lagi temen kayak lo, gue gak butuh," lanjutnya, sebelum benar-benar melewati pintu, keluar dari kelasnya.

"Ya ampuuun ... Arvan ngegemesin banget sih," pekik Larisa, menggebu-gebu.

"Gue gak bakalan nyerah ya. Gue pasti deketin lo ampe lo mau jadi sahabat gue," lanjutnya.

"Jangan sebut nama gue Larisa kalau gue gak bisa bikin lo jadi sahabat gue, Arvan Marcellino!!" teriak Larisa teramat kencang, mengabaikan keberadaan beberapa teman sekelasnya yang satu demi satu mulai berdatangan.