Setibanya di Kantin, Larisa menggulirkan mata guna mencari keberadaan Arvan. Suasana kantin cukup ramai pagi ini, membuat Larisa cukup kesulitan menemukan pemuda itu. Hingga ketika tatapan matanya tertuju ke area pojok kantin, dia menemukan pemuda itu sedang duduk sendirian di sana, tengah menyantap makanan yang sudah dia pesan. Larisa memperlebar langkahnya untuk menghampiri.
"Waduh ... enak banget ya makan duluan," sindirnya saat melihat Arvan tengah asyik menyantap bubur ayam. "Punya gue mana? Kok gak dipesenin juga?"
Arvan yang tengah fokus menunduk pada bubur di mangkok pun seketika mendongak, dia mendengus kasar. "Pesen aja sendiri. Lo punya mulut, kan?" sahutnya.
Larisa memberengut tak suka. Dirinya jadi teringat pada kekasihnya, dulu saat Reza masih sekolah di sana, hampir setiap pagi mereka sarapan bersama di kantin ini. Keseringan mereka menjadikan bubur ayam sebagai menu sarapan. Dan setiap mereka makan selalu Reza yang memesankan makanan untuk Larisa. Pemuda itu sudah hafal betul selera makanan yang disukai Larisa. Mengingat hal ini seketika membuat Larisa termenung, pertengkarannya dengan Reza kembali terngiang di kepalanya.
"Kok malah ngelamun sih? Udah sana pesen, nanti keburu bel masuk."
Larisa tersentak dari lamunannya, "I-Iya, gue pesen. Bawel banget sih jadi cowok," katanya seraya berjalan cepat menuju penjual bubur ayam. Dia memesan satu porsi bubur ayam bersama teh hangat manis yang dia pilih sebagai minumannya. Setelahnya dia kembali menghampiri Arvan di mejanya. Pemuda itu rupanya sudah menyelesaikan sarapannya, Larisa kembali cemberut. Artinya dia akan makan sendirian nanti jika bubur yang dipesannya sudah diantarkan ke meja.
"Cowok makannya emang cepet ya," ujarnya tiba-tiba, Arvan mengangkat satu alisnya heran. Wajah Larisa saat mengatakan ini tampak begitu murung. Arvan tak tahu Larisa refleks mengatakan ini karena lagi-lagi teringat pada Reza. Saat mereka makan bersama memang pemuda itu selalu mendahului menghabiskan makanannya.
Larisa yang tengah menerawang kosong, mengerjap beberapa kali saat tangan Arvan dikibas-kibaskan tepat di depan wajahnya.
"Issshhh ... kenapa sih Van? Bikin kaget aja," gerutu Larisa sembari menepis tangan Arvan.
"Lo aneh ya pagi ini, keseringan ngelamun. Ngeri gue."
"Ngeri kenapa?"
"Ngeri lo kesambet setan kantin."
"Huuh ... gak bakalan kali. Setan-setan di sekolah ini udah kenal sama gue, gak mungkin mereka berani gangguin."
"Jangan sembarangan ngomong loh, ntar beneran didatengin setan baru tahu rasa."
Larisa membekap mulutnya, baru sadar dirinya takabur tadi, tak seharusnya berujar menyombongkan diri, apalagi mengenai masalah hantu penghuni sekolahnya.
"Lo sih ngebahas hantu mulu jadinya kan gue keceplosan. Amit-amit dah digangguin setan, jangan ampe."
Arvan terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala, "Nah, gitu dong bawel. Mulut lo yang gak bisa diem itu kan ciri khas lo."
Larisa tertegun mendengar ucapan Arvan, tak menyangka Arvan sengaja mengatakan semua itu agar dirinya kembali ceria. Diam-diam dia mengulum senyum. Bersamaan dengan itu, bubur pesanannya mendarat di mejanya. Larisa menyantapnya rakus perutnya memang sudah meraung-raung minta diisi.
"Pelan-pelan kali makannya, udah kaya gembel gak makan seminggu aja lo," ledek Arvan, Larisa mendengus.
"Gue laper tahu. Biasanya gue makan roti makanya gak laper. Ini gue belum makan apa-apa."
"Lagian tumben lo gak bawa roti pagi ini? Biasanya lo bawa tiap hari, ampe nawarin gue segala."
"Iya, soalnya ..." Larisa nyaris menceritakan alasan dirinya tak membawa roti pagi ini, roti yang selalu dibelikan Reza. Namun, dia urung bercerita, mulutnya kembali dia katupkan rapat.
"Kok gak diterusin?" tanya Arvan karena Larisa tak kunjung melanjutkan ucapannya yang menggantung.
"Gak apa-apa, gue gak sempet beli aja tadi," bohongnya.
Larisa kembali menyantap buburnya, Arvan tak lagi mengajaknya bicara. Dan ketika Larisa mendongak, tatapannya tertuju pada luka-luka lebam di wajah Arvan, terutama pada perban yang melingkar di keningnya.
"Van, harusnya lo gak usah ke sekolah hari ini. Luka lo belum sembuh itu," ucapnya sambil menunjuk luka-luka di wajah Arvan dengan telunjuknya.
"Tadi kan gue udah kasih tahu alasan kenapa gue tetep masuk hari ini."
"Lo kan bisa ikut ulangan susulan."
Arvan menggelengkan kepala, "Ngapain ikut susulan kalau gue masih bisa ikut ulangan hari ini?"
"Lo terlalu maksain diri tahu, Van," sahut Larisa.
"Gue cuma gak mau ngecewain orang yang udah susah payah bantuin gue dapetin beasiswa di sekolah ini," jawab Arvan.
Larisa yakin Arvan keceplosan mengatakan itu karena sesaat kemudian Arvan terenyak seolah baru menyadari kecerobohannya.
"Intinya gue baik-baik aja, jadi gak usah lebay," ucap Arvan mengalihkan.
Larisa tersenyum miring sebelum dia kembali melanjutkan aktivitas makannya.
"Arvan, muka lo kenapa?"
Larisa dan Arvan menoleh bersamaan pada sang pemilik suara yang ternyata adalah Ratih. Tanpa meminta izin gadis itu ikut bergabung di meja mereka.
"Kok lo babak belur gitu kayak abis dipukulin orang."
Tatapan Ratih tampak khawatir. "Siapa yang mukulin lo, Arvan?"
"Lo mau tahu?" sambar Larisa, berhasil menarik atensi Ratih yang awalnya tertuju pada Arvan kini beralih pada Larisa.
"Emang lo tahu pelakunya?"
"Tahulah. Toh, gue ada di TKP waktu dia dipukulin. Orang yang mukulin dia ..."
"Udah jangan dibahas," sela Arvan. "Gue baik-baik aja kok, cuma luka kecil."
"Luka kecil apa? Muka lo babak belur Arvan, harusnya lo gak usah ke sekolah."
"Gue baik-baik aja, beneran."
"Siapa pelakunya? Kasih tahu gue biar gue laporin ke guru BK."
"Udahlah, gak usah dibahas lagi." Arvan masih mencoba menghentikan pembicaraan tak penting itu.
"Kasih tahu gue, Arvan. Lo anak baru masa udah kena bullying aja. Siapa pelakunya biar gue laporin?"
"Cowok lo pelakunya." Yang menjawab ini tentu Larisa. Dia tak gentar saat Arvan mendelik tajam padanya.
"Cowok gue? Maksudnya Boby?"
"Ya siapa lagi, si Boby itu cowok lo, kan?" tanya Larisa ketus.
Ratih menoleh pada Arvan, raut wajahnya terlihat merasa bersalah. "Bener cowok gue yang mukulin lo, Van?" tanyanya, memastikan.
"Udahlah gak usah dibahas lagi ya, gak penting tahu gak," sahut Arvan malas.
"Kenapa Boby mukulin lo?"
"Dia cemburu liat lo ngobrol sama Arvan, dia ngira lo lagi digodain sama Arvan."
Ratih terbelalak mendengar jawaban Larisa. "Serius?"
"Masa gue bohong, tanyain aja sama dia kalau lo gak percaya," jawab Larisa sembari menunjuk Arvan dengan sendok di tangannya.
Arvan berdecak jengkel, semakin mempertajam tatapannya pada Larisa. Namun Larisa masih tak gentar, dia mengangkat kedua bahunya tak peduli.
"Sorry ya, Van. Gue bakalan ngomong sama Boby. Gue pastiin dia gak bakalan gangguin lo lagi. Sekali lagi sorry."
"Gak apa-apa, Ra. Ini cuma salah paham, gak usah diperpanjang ya," sahut Arvan berusaha membujuk.
"Gak bisa gitu, gue harus jelasin ke Boby dan memperingatkan dia supaya gak gangguin lo lagi."
"Sekalian tuh bilangin juga ke antek-anteknya si Boby, jangan suka ikut-ikutan. Soalnya kemarin mereka keroyokan mukulin Arvan." Larisa menyahuti.
"Kelewatan banget si Boby. OK, gue samperin mereka sekarang."
"Gak usah, Ra. Beneran gak usah," bujuk Arvan. Namun Ratih tak menggubrisnya. Gadis itu tetap pergi meninggalkan kantin, mengabaikan suara Arvan yang terus memanggil namanya.
Arvan bangkit dari duduknya untuk mengejar langkah Ratih, Larisa ikut menyusul. Arvan terus mempercepat langkahnya namun harus terhenti karena tangan Larisa yang tiba-tiba mencekalnya dari belakang.
"Lo kenapa sih, Van? Biarin aja si Ratih ngurusin pacarnya supaya mereka gak gangguin lo lagi." Arvan menepis kasar tangan Larisa yang memegangi tangannya.
"Lo punya otak gak dipake ya."
Larisa tersentak. Melihat nada suara Arvan yang ketus ditambah wajahnya yang memerah, dia tahu pemuda itu sedang serius marah padanya.
"Kalau sampai masalah ini nyampe ke guru BK bakalan berabe. Si Boby juga bakalan terus ngincer gue gara-gara ceweknya belain gue. Lo mau tahu alasan gue selalu menyendiri dan gak mau temenan sama siapa pun?" tanya Arvan tiba-tiba. Larisa mengangguk tanpa sadar.
"Karena gue gak mau terlibat masalah sekecil apa pun di sekolah ini. Dan sekarang gara-gara lo, gue jadi kena masalah, kan?"
"Emang ya anak orang kaya macam lo yang tahunya tinggal minta duit ke bokap lo, gak bakalan ngerti kondisi orang miskin kayak gue. Lo gak perlu mikir cara mertahanin agar tetep dapat beasiswa, gak kayak gue yang mati-matian ngejaga agar itu beasiswa gak dicabut."
"Makanya itu gue males berurusan sama cewek manja kayak lo. Cewek manja yang ngerasa apapun bisa lo miliki, lo gak pernah ngerasain susahnya hidup."
"Kok lo ngomong gitu Van? Gue kan cuma peduli sama lo," sahut Larisa membela diri.
"Gue gak butuh kepedulian dari lo. Harusnya lo gak usah ikut campur urusan gue. Temen gue bukan, pacar apalagi." Larisa melebarkan matanya.
"Lo tahu gak penyesalan terbesar gue apa sekarang?"
Larisa membuang muka, tak ingin mendengar kelanjutan ucapan Arvan.
"Gue nyesel kenal sama lo."
Dan Arvan pun pergi meninggalkan Larisa yang menundukan kepala. Melupakan tujuan awal mereka mendatangi kantin bersama.
"Padahal gue kan cuma pengen bantuin lo, Van," gumamnya pelan.