"S-Sorry, Van. Sorry," katanya panik. "Lo sih nyebelin. Makanya gak usah ledek-ledek segala. Rasain. Sakit kan kena pukulan maut gue?"
"Pukulan maut apaan, lo mukulnya pake buku tebel. Iyalah sakit," sanggah Arvan sambil sibuk mengelus-elus perutnya yang berdenyut sakit.
Larisa terkekeh sembari menjulurkan lidahnya keluar, tak merasa bersalah sedikit pun.
"Oh, iya. Van, lo kan jago matematika ya. Ajarin gue dong materi yang mau diulangin hari ini. Serius gue gak sempet belajar semalam."
"Salah sendiri lo gak belajar."
'Gue gak belajar kan karena lo juga. Gara-gara nolongin lo kemarin, gue jadi berantem sama cowok gue.' Tentu Larisa mengatakan ini dalam hatinya karena mengatakannya secara langsung pada Arvan jelas nyalinya menciut.
"Jadi lo gak mau ajarin gue?" tanya Larisa karena Arvan yang tak merespon lagi. Pemuda dingin itu mengembuskan napas pelan, tampak sedang berpikir sebelum akhirnya sebuah anggukan diberikannya.
"Ya udah deh, gue ajarin lo." Larisa tersenyum lebar dengan kedua mata berbinar senang. " Itung-itung balas budi yang kemarin." Dan cemberut mendengar kelanjutan ucapan pemuda itu.
"Lo ya gak ikhlas banget nolongin gue. Padahal gue ikhlas loh waktu nolongin lo kemarin."
"Udah gak usah dibahas. Lo mau gue ajarin dimana? Di bangku lo atau di bangku gue?" tanya Arvan sembari menunjuk ke arah kursinya di barisan belakang dengan lirikan mata.
Larisa sudah membuka mulutnya hendak menjawab, namun urung karena merasa perutnya melilit sakit. Dia belum sarapan, tentu saja dia kelaparan sekarang.
"Di kantin aja yuk. Gue laper nih. Belum sempet sarapan," ajak Larisa.
Arvan mendengus, "Emang lo gak bawa roti? Biasanya lo bawa-bawa roti kayak anak TK. Makan aja kali rotinya."
Mendengar ucapan Arvan yang mengingatkannya pada Reza, seketika membuat Larisa tertegun. Benar yang dikatakan pemuda itu, biasanya Larisa tidak pernah kelaparan di pagi hari meski dia tak sempat sarapan karena Reza yang selalu membawakannya roti atau kue kesukaannya. Larisa mendesah frustasi, mengingat pertengkarannya dengan Reza membuatnya kehilangan semangat.
"Ya udah, ayo kalau mau ke kantin. Kebetulan gue juga belum sarapan."
Larisa mendongak, tampak syok mendengar Arvan yang tak membantah ajakannya. Sebaliknya pemuda itu menerima begitu saja ajakannya. Ini sebuah keajaiban bagi Larisa. Kemana perginya Arvan si Mr kutub yang juteknya minta ampun itu?
Refleks Larisa bangkit berdiri dari duduknya. Dia mengulurkan tangannya ke depan dan mendarat di kening Arvan, mengcek suhu tubuh pemuda itu, takut-takut nih orang sedang demam karena terkena virus corona yang sedang santer dibicarakan dimana-mana.
"Apaan sih lo?" Arvan menepis tangan Larisa yang menempel santai di keningnya yang terbalut perban.
"Gue cuma lagi mastiin lo gak kena flu corona."
"Sembarangan kalau ngomong."
"Habisnya lo aneh sih pagi ini. Tumben lo baik sama gue. Biasanya juga lo jutek abis."
Mendengar ucapan Larisa ini, Arvan tiba-tiba melengos pergi, membuat Larisa geragapan dan bergegas mencekal lengan pemuda itu.
"Eh, mau kemana lo?" tanyanya.
"Lo becanda mulu, gue males jadinya." Larisa tertawa.
"OK, OK. Sorry, gue gak becanda lagi deh. Yuk, cabut ke kantin," ajaknya semangat.
"Dasar nenek-nenek pikun. Nih, buku lo ketinggalan," sambar Arvan sembari memukul pelan kepala Larisa dengan buku matematika super tebal yang nyaris dilupakan Larisa.
"Huuh ... sakit tahu. Tungguin dong!!" Larisa berlari sambil memeluk buku matematikanya guna mengejar Arvan yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan kelas.
Di depan kelas, Larisa menghentikan langkah, alasannya karena dia berpapasan dengan seseorang yang kemarin dia buat kelimpungan karena mengkhawatirkan dirinya. Sosok Pretty yang berjalan santai dengan kepala tertunduk.
"Van, lo duluan aja ke kantin. Nanti gue nyusul!!" teriak Larisa, membuat Pretty mengangkat kepalanya dan mengangkat satu alis.
"OK!" jawab Arvan, dia mengangkat satu tangannya. Larisa tersenyum lebar lantas berjalan menghampiri Pretty yang terpaku di tempatnya berdiri.
"Hai, Pret. Sorry ya soal kemarin," kata Larisa. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Sejak kapan you deket sama tuh manusia gorong-gorong?" Pretty balas bertanya sembari menunjuk dengan dagunya ke arah Arvan yang sudah menjauh. Refleks Larisa memukul bahu Pretty.
"Hussh, sembarangan kalau ngomong. Sejak kapan Arvan dapat julukan manusia gorong-gorong?" tanyanya sembari terkekeh geli.
"Ya, habisnya dia suka menyendiri kayak orang yang biasa hidup di gorong-gorong. Ya udah ane kasih julukan baru deh buat dia. Keren, kan?" kata Pretty sembari mengibas-ngibaskan rambut pendeknya, manja.
"Jijik tahu gak. Lo tuh paling bisa ya ngatain orang."
"Dia nyebelin sih," timpal Pretty. "Heeh, you ... Icha-icha paradise, kemarin pergi kemana sih? Gak tahu apa ane nyariin ampe keringet dingin? Kirain ada yang nyulik you, aduuuh ... bisa ditampol manja ane sama hon-hon you kalau you beneran diculik."
Larisa terkikik geli, bicara dengan pemuda melambai yang satu ini memang selalu membuatnya lupa sejenak pada masalahnya. Dalam sekejap mata mampu membuatnya kembali riang karena tak akan bisa berhenti tertawa mendengar kata-kata aneh bin ajaib sahabat nyentriknya ini.
"Sorry. Kemarin itu gue nolongin Arvan dulu."
"Emangnya tuh Mr kutub kenapa?"
"Dia dipukulin Bobby sama gengnya." Pretty berekspresi lebay, melongo seraya menepuk dahinya dramatis.
"Ya ampun, kok ane seneng bingits ya dengernya. Syukurin. Cowok nyebelin kayak dia emang perlu dikasih pelajaran. Harusnya sih dilelepin ke empang, supaya kapok," ujarnya, Larisa hanya menggelengkan kepala.
"Benci banget kayaknya lo sama Arvan."
"Benci ... benci ... benci. Emang benci banget ane sama tuh manusia gorong-gorong. Dia udah hina-hina ane tempo hari." Pretty meremas-remas kesepuluh jemarinya seolah gemas saat membicarakan rasa bencinya pada Arvan.
"Lo jangan deket-deket dia deh, Cha."
"Kenapa emangnya?" tanya Larisa, bingung.
"Dia kan anti-sosial. Ntar you ketularan jadi anti-sosial kayak dia lagi. Mau you gak punya temen kayak dia?"
Larisa diam seribu bahasa.
"Hon-hon you gimana tuh kemarin? Pasti khawatir banget ya sama you, dia kayaknya kelimpungan juga waktu ane ngasih tahu you ilang bagai ditelan bumi."
"Oh, pantesan Reza marah-marah, lo lebay sih ngasih tahunya. Jangan-jangan lo bilang sama dia gue ilang ditelan bumi ya?" tanya Larisa jengkel, lupa bahwa sahabatnya yang satu ini memang lebay tingkat dewa.
"Nggaklah, masa ane bilang gitu sama Reza."
"Terus lo bilang apa sama dia ampe dia marah-marah sama gue?"
"Haah ... serius dia marahin you?"
"Serius. Ini aja gue lagi marahan sama dia."
Pretty membekap mulutnya yang terbuka lebar, "Ya ampuun, kok bisa," katanya, tak percaya.
"Emangnya lo bilang apa sama dia?" Larisa mengulang pertanyaannya.
"Ane bilang lo ilang, mungkin lo diculik sama preman."
Larisa memutar bola matanya, pantas saja Reza sampai sehisteris itu, ternyata dia termakan kelebay-an seorang Pretty.
"You cepetan baikan sana sama Reza yang gantengnya ngalahin dewa Adonis itu. Udah gitu tajir melintir lagi kayak anak sultan. Itu pun kalau lo gak mau dia diembat cewek gatel di luaran sana yang haus belaian cowok keren parah kayak Reza," saran Pretty serius.
"Satu lagi, jangan deket-deket sama si Mr kutub. Nanti you naksir dia kan berabe. Hon-hon you mau dikemanain?"
"Gue sama Arvan cuma temenan, Pretty."
"Iya, sekarang temenan. Nanti? Kan gak ada yang tahu masa depan bakalan kayak gimana," sanggah Pretty. "Cepetan you berhenti main api sebelum lo terbakar. Ngerti kan maksud ane?" Pretty kembali mengibaskan rambut pendeknya. "Yuk akh bye ... bye, ane ke kelas dulu," katanya sembari melambaikan tangan manja ke arah Larisa.
Larisa hanya terdiam, tak merespon apa pun. Pikirannya bergelut, memikirkan ucapan Pretty barusan. Haruskah dia menjauhi Arvan saat pemuda itu sudah mulai berhasil dia luluhkan? Satu lagi, jika dia ingin berbaikan dengan Reza, bagaimana caranya? Mengingat kata-kata kasarnya kemarin sepertinya sudah sangat menyakiti hati pemuda itu.
Larisa mengurut pangkal hidungnya. Dia dilema sekaligus frustasi. Kenapa hidupnya yang tenang dan damai jadi ribet seperti ini? Dia tak tahu apa penyebabnya.