"What? You mau jadiin anak pindahan itu sahabat you?" pekik Pretty, terkejut luar biasa saat mendengar Gina menceritakan rencana absurd Larisa untuk mendekati Arvan agar bisa bersahabat dengannya.
Larisa mengangguk, tatapannya tak berpaling sedikit pun dari sosok Arvan yang sedang duduk di bangkunya seraya memegang sebuah buku bacaan di tangannya.
Kelas XII IPA 3 sedang bebas dari jam belajar saat ini. Guru yang seharusnya mengajar di kelas mereka tidak hadir, sesuatu yang wajar mengingat ini baru hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Jadilah kelas itu bebas. Suasana kelas bergemuruh karena hampir semua siswa penghuni kelas tengah terlibat obrolan dengan teman mereka masing-masing. Begitu pun dengan Larisa dan kedua sahabatnya yang sedang sibuk membicarakan rencana gila Larisa untuk mendekati seorang Arvan Marcellino.
"Ngapain sih you repot-repot mau jadiin tuh anak baru sahabat you? Ane sama Gina belum cukup gitu jadi sahabat you?"
"Si Icha nih jadi kayak gini gara-gara kebanyakan baca novel sama komik. Menurut dia, si Arvan tuh cowok idaman dia. Tipe cowok keren yang banyak bertebaran di cerita-cerita fiksi ala-ala novel sama komik."
"Haah? Serius icha-icha paradise? You niat mau selingkuh gitu sama si Arvan? Jangan gila deh. Lebih kerenan hon-hon lo kemana-mana kaleeee," ujar Pretty, tak terkontrol karena suaranya nyaring di dalam kelas.
Refleks Larisa memukul kepala sahabat kemayunya itu dengan buku LKS miliknya, membuat Pretty mengumpat dan mengelus puncak kepalanya yang terasa sakit.
"Suara lo bisa direm nggak, supaya gak kekencengan? Gimana kalau orang lain denger?"
"Biarin, supaya seisi kelas tahu you ada niat mau selingkuh."
"Isshh ... siapa emangnya yang mau selingkuh? Gue kan udah jelas-jelas bilang, gue cuma mau jadiin dia sahabat. Gak lebih kok."
"Yakin dijadiin sahabat doang?" Gina ikut menimpali.
"Iyalah, cowok yang gue cinta tetep Reza seorang kok," jawab Larisa, tampak yakin.
"Lo masih gak ngerti apa yang gue bilang tadi?" tanya Gina, serius.
"Kata-kata lo yang mana ya?" Larisa membuat gestur tengah berpikir. Entah pura-pura lupa atau dia memang benar-benar lupa.
"Jangan coba-coba bermain api, kalau apinya kegedean terus lo gak bisa ngendaliin, lo bisa kebakar. Kata-kata gue yang itu, masa lo gak ngerti maksudnya?"
"Oh, kata-kata yang itu." Larisa mengangguk-anggukan kepalanya, "Gue ngerti kok maksud lo. Tapi kekhawatiran lo itu berlebihan, Gin. Gue itu cuma mau jadiin dia sahabat doang. Gak lebih kok. Cowok gue tetep Reza, gue bakalan selalu setia sama dia. Lo raguin kesetiaan gue?"
"Kalau denger kata-kata you tadi pagi, ane mulai ragu sih sama kesetiaan you." Pretty kembali bersuara.
"Duuh, kata-kata gue yang mana lagi sih?"
"Itu lho yang you bilang kadang you bosen pacaran sama hon-hon lo."
Larisa tertawa mendengar ucapan Pretty, tertawa cukup keras hingga beberapa siswa yang lain melirik ke arahnya.
"Gue cuma bercanda kok, bercanda. Bodoh gue kalau ngelepasin cowok kayak Reza yang perfect abis. Lagian dia cinta banget sama gue, gue tahu susah nyari cowok kayak dia. Lo berdua tenang aja, niat gue deketin Arvan murni mau gue jadiin sahabat aja."
Gina dan Pretty saling berpandangan. Entahlah, mereka tak yakin dengan ucapan Larisa ini meski terdengar meyakinkan.
"Lo inget gak gue bilang ngerasain aura-aura beda hari ini? Gue ngerasain firasat sesuatu bakalan terjadi di sekolah kita?"
Larisa mengangguk, tentu dia ingat perkataan Gina tadi pagi sebelum masuk ke dalam kelas baru mereka.
"Iya gue inget, jiwa cenayang lo lagi bangkit, kan?" sahut Larisa seraya terkekeh. Terselip nada ejekan pada suaranya.
"Gue rasa firasat yang gue rasain itu pasti ada hubungannya sama si Arvan."
"Untuk pertama kalinya ane setuju sama you, Gin. Emang bener kan sekolah kita ada perbedaan soalnya kedatangan si murid pindahan itu."
Gina tersenyum lebar, dia mengangkat telapak tangan kanannya yang langsung dibalas Pretty ikut mengangkat telapak tangan kanannya, mereka berdua pun bertos ria dengan girangnya. Larisa memutar bola matanya malas melihat dua sahabatnya yang biasanya tidak akur, kini terlihat sangat kompak.
"Jelaslah sekolah kita beda sekarang. Kakak kelas kita udah pada lulus, lagian bukan cuma Arvan kok murid baru di sekolah ini, tuh anak-anak kelas X emang bukan anak baru, ya?"
Gina dan Pretty saling berpandangan, mereka diam seribu bahasa karena merasa kalah telak. Perkataan Larisa ada benarnya.
"Maksud gue perbedaan di kelas kita, Cha. Emang bener kita udah kelas XII sekarang. Tapi sebelum ada si Arvan, penghuni kelas ini kan orang-orang yang sama waktu kita masih kelas XI IPA 3."
"Duuh, emang apa masalahnya coba kalau kelas kita kedatangan murid baru?"
Larisa mulai geram dengan perbincangan mereka yang ngelantur kemana-mana, terlebih tak penting sama sekali untuk dibahas.
"Lo pasti nggak percaya kan kalau gue bisa ngerasain aura-aura aneh di diri si Arvan?"
"Aura-aura aneh gimana maksud you, Gin?"
Hanya Pretty yang tampak antusias, sedangkan Larisa kembali memutar bola matanya, bosan. Jiwa sok cenayang Gina kembali kumat, dan sungguh Larisa malas meladeninya.
"Gue bisa lihat ada aura kegelapan gitu nyelimutin dia."
"Ya elaaah, lo mau bilang ada hantu gitu yang ngikutin dia? Please deh, Gin. Stop ngomong ngelantur," tukas Larisa, mulai jengkel.
"Bukan dia diikutin hantu, ya kali gue bisa lihat penampakan hantu."
"Terus maksud you aura kegelapan tuh apaan?" Pretty gemas sendiri karena dia juga tak mengerti perkataan Gina.
"Kayak dia punya masalah gitu deh, masalah yang bikin hati dia tuh penuh kegelapan. Semacam dipenuhi amarah sama dendam gitu."
Pretty tersentak hingga nyaris melompat dari kursinya. Larisa menggelengkan kepala tak habis pikir kenapa dirinya bisa memiliki dua sahabat absurd seperti Gina dan Pretty. Yang satu cowok kemayu yang jauh dari kata cowok normal. Nah Gina, cewek halu yang apa-apa dikait-kaitkan dengan dunia supranatural. Lama-lama Larisa bisa ikut gesrek otaknya kalau terus bersahabat dengan kedua cecurut itu.
"Udah deh, Gin. Lo mau ngomong apa pun tentang Arvan, keputusan gue udah bulet. Gue mau deketin dia. Mau gue jadiin sahabat gue. Titik gak pake koma-komaan," ujar Larisa final, penuh keyakinan.
"Ya udah terserah lo kalau gak percaya sama bakat cenayang gue. Tapi nih ya, kalau nanti lo kenapa-kenapa, semisal lo jatuh cinta sama tuh anak baru, jangan coba-coba curhat ke gue. Gue males dengernya, toh gue udah ngingetin dari sekarang."
"OK, siap nona Gina sang cenayang hebat," seru Larisa, sembari menempelkan tangannya di pelipis, memasang pose memberi hormat.
"Ya udah sana deketin tuh si Arvan mumpung kelas lagi bebas," ucap Gina ketus sambil dia dorong pelan punggung Larisa saking gemasnya menghadapi sahabatnya yang keras kepala itu.
"OK, gue deketin dia sekarang."
Larisa sudah berdiri dari kursinya, bersiap pergi jika saja dia tak mendengar suara Pretty yang menahannya.
"Stop, Stop. Jangan ngacir dulu dong. Biar ane cek and ricek dulu tuh anak baru. Kalau dia orangnya asyik dijadiin temen, ane dukung deh rencana you ini. Tapi awas you ampe selingkuh sama dia ntar. Ane bakalan benci you seumur hidup. Gak rela plus gak ridho kalau cowok idola ane, you selingkuhin."
Larisa terkekeh, lalu mengangkat kedua ibu jarinya menyetujui ucapan Pretty. Setelah itu, Pretty mengambil langkah seribu menghampiri bangku Arvan yang berada di barisan paling belakang.
"Hai cowok, boleh dong kenalan?" ucap Pretty, dengan suara genitnya begitu tiba tepat di hadapan Arvan yang sedang asyik membaca.
Pemuda itu meletakkan buku bacaannya di atas meja, menatap Pretty dengan kernyitan dalam di dahi. Pasalnya Pretty sedang berdiri di hadapannya seraya mengibas-ngibaskan rambut pendeknya seperti bintang iklan shampoo yang sedang memamerkan rambut panjang berkilaunya.
"Nama ane, Bams Arjuna," tambah Pretty, sembari mengulurkan tangan kanannya pada Arvan.
"Tumben lo nyebutin nama asli, biasanya nyebutin nama panggilan lo. Udah bosen pake nama Pretty? Atau otak gesrek lo udah balik ke tempat semula?" celetuk Johan, teman sebangku Arvan yang sedang duduk tenang tepat di samping Arvan.
"Apaan sih you, Han. Nyambung aja kayak kabel telepon. Ane gak ngomong sama you. Ane lagi mau kenalan sama temen sebangku you."
"Aneh aja gue, kirain lo udah balik jadi cowok normal sekarang."
"Jangan sembarangan ya kalau ngomong. Dari dulu ane cowok normal kok. Emang siapa yang bilang ane bukan cowok normal?"
"Gue yang bilang barusan."
"Huuh ... omongan you ngelantur, lagi ngigau ya? Bangunn ... banguun, jangan molor melulu makanya."
"Siapa yang lagi molor coba? Tuh kan Van, apa gue bilang, gesrek kan otaknya?"
Johan pun tertawa lantang yang diikuti Arvan dengan senyuman tipisnya.
"Stop ngetawain ane, emang ane badut yang lagi bikin pertunjukan apa?" ujar Pretty, tampak tersinggung.
"Gue amit-amit dah punya temen sekelas kayak lo, Pret. Geli gue."
"Ane juga amit-amit punya temen sekelas yang mulutnya kayak oli macam you."
"Kok mulut gue disamain kayak oli sih?" tanya Johan, tak paham.
"Jelas kayak olilah, licin plus kotor. Omongan you kan licin banget ampe ngelantur kemana-mana, udah gitu kotor lagi. Ngomong gak disharing dulu. Gak takut apa omongan you nyakitin hati ane?"
"Ooh, ngambek. Baper banget sih lo jadi orang. Anjir makin geli gue punya temen sekelas modelan kayak lo."
Johan kembali tertawa, mengabaikan Pretty yang tengah memanyunkan bibirnya beberapa centi ke depan.
"Bodo amat, ane gak punya urusan sama manusia belut rawa-rawa kayak you."
"Njiirr, ada lagi panggilan dia sama gue. Boleh juga tuh panggilan."
Pretty memutar bola matanya jengah mendapati Johan yang bukannya tersinggung malah semakin memperlebar tawanya.
Memilih mengabaikan keberadaan Johan, Pretty kembali melirik ke arah Arvan yang masih duduk tenang di kursinya.
"Eh, you belum ngenalin diri. Ane kan pengen kenalan," ucapnya, kembali dia ulurkan tangan kanannya pada Arvan.
Arvan mendengus kasar, tampak tak berniat menerima uluran tangan Pretty.
"Lo tuli apa budeg, ya? Gue kan udah jelas-jelas nyebutin nama gue tadi pas ngenalin diri di depan kelas," jawab Arvan dengan suara ketus nan dinginnya.
Pretty terenyak mendapati reaksi Arvan yang jauh dari kata ramah. Kemudian dia pun menarik kembali uluran tangannya.
"Ya, gak usah ngatain budeg juga kali. Gak ngerti apa ane lagi basa-basi?"
"Gue gak suka basa-basi. Kalau gak ada hal penting yang mau lo omongin. Balik sana ke bangku lo. Merinding gue deket-deket sama lo."
Johan masih mempertahankan tawanya, justru semakin menjadi mendengar ucapan Arvan barusan.
"Jahat lo, Van. Tega lo ngusir si Pretty," ucap Johan, di sela-sela tawanya.
"Ane kan cuma pengin temenan sama you, salah ya ane ngajak temenan sama anak baru?" tanya Pretty, masih mencoba bertahan menghadapi cowok menyebalkan itu demi sahabatnya, Larisa.
"Gue gak berminat temenan sama orang kayak lo. Lagian gue pindah ke sekolah ini bukan buat nyari temen. Tapi buat belajar," sahut Arvan, masih dengan suara ketusnya.
Arvan tiba-tiba berdiri dari kursinya, membuat Pretty dan Johan menatap serempak padanya.
"Gue peringatin ya sama lo," ucap Arvan sambil menunjuk dengan jari telunjuk tepat di depan wajah Pretty. "Jangan ganggu gue," lanjutnya. Seketika Pretty meneguk ludah, pasalnya Arvan melayangkan tatapan begitu tajam pada pemuda kemayu itu.
"Lo mau kemana, Van?" tanya Johan, saat melihat Arvan melangkah tenang hendak meninggalkan kelas.
"Nyari tempat tenang. Ketenangan gue terganggu gara-gara tuh makhluk jadi-jadian," balas Arvan, seraya menunjuk ke arah Pretty dengan dagunya.
"Tunggu, gue ikut dong." Johan pun berlari menghampiri Arvan tanpa repot-repot menunggu respon dari pemuda itu.
Dengan langkah gontai, Pretty kembali ke bangkunya. Sosok Larisa dan Gina sudah menunggu tak sabar di bangku mereka.
"Gimana, Pret? Dia orangnya gimana? Sukses lo deketin dia?" tanya Larisa bertubi-tubi, sudah tak sabar.
"Ane saranin you jangan coba-coba deketin dia deh. Dia itu Mr kutub bermulut pedas kayak bon cabe level 30," jawab Pretty sekenanya.
"Lah kok lo bilang gitu?" Larisa heran bukan main.
"Ane baik-baik ngenalin diri sama ngajakin dia temenan. Dia malah ngusir ane, pake ngancem ane segala lagi."
"Serius lo? Dia ngancem apaan emangnya?" Gina mulai antusias.
"Dia bilang jangan coba-coba ganggu dia. Issshhh, emangnya siapa yang mau gangguin dia coba?"
"Tuh kan gue bilang juga apa, firasat gue bener, kan? Dia penuh aura kegelapan," timpal Gina, penuh semangat.
"Icha-Icha paradise, ane saranin you jauh-jauh dari tuh Mr kutub. Itupun kalau you gak mau sakit hati sama sikap plus kata-kata pedasnya. Ane sih kapok ya. Jangankan deketin dia ampe ngajakin temenan, ngajak ngomong dia aja ane udah males."
Pretty duduk di bangkunya dengan wajah tertekuk kesal. Tak akan dia lupakan bagaimana Arvan dan johan menghinanya tadi. Terutama Arvan yang mengusirnya sampai mengancamnya. Dia sudah biasa menerima penghinaan dari Johan yang dilihat dari mana pun hanya sebuah candaan. Tapi sikap dan ucapan Arvan tadi, Pretty tidaklah bodoh, dia tahu Arvan serius mengatakannya.
Lain Pretty, lain pula dengan Gina. Gadis yang meyakini dirinya memiliki bakat cenayang itu semakin yakin firasatnya tentang Arvan memang benar adanya. Sama halnya dengan Pretty, dia juga tak ada niat sedikit pun dekat-dekat dengan pemuda itu.
Sedangkan Larisa sendiri, mendengar cerita Pretty sama sekali tidak membuatnya takut apalagi sampai mengurungkan niat. Sebaliknya, dia semakin berhasrat untuk mendekati Arvan, menjadikan cowok dingin itu sebagai sahabat baiknya. Larisa sudah tak sabar melancarkan serangannya untuk mendekati pemuda itu.