Chereads / Red Jelly / Chapter 7 - Feeling

Chapter 7 - Feeling

Barangkali pagi ini akan membawa motor jika saja cuaca tak memberikan kesan kelam pada lubuk hatinya—keadaan sedang hujan. Menggiring dirinya untuk membawa kendaraan beroda dua itu kembali pada peradabannya—garasi. Berdecak sebal dengan bibir yang mengerucut serta kerutan yang disematkan pada dahi paripurnanya. Kembali ke arah ruang makan guna melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.

Bisa jadi, Tuhan sedang tak mengizinkan tubuhnya terlalu dekat dengan sang dambaan. Percayalah, Tuhan punya cara sendiri untuk menentukan bahkan mendekatkan seseorang pada tujuan akhir tali takdirnya. Hanya perlu bersabar kapan waktu itu datang.

Disesapnya susu perisa cokelat oleh tubuh maskulin yang sudah lengkap dengan seragamnya selepas menelan potongan terakhir roti berisikan telur setengah matang—sarapan kesukaannya. Serta-merta membuat sang ibu memekik ketakutan akan tetesan cokelat itu mengenai seragam putihnya. Lantas disambarnya kunci motor yang sejurus kemudian ditukar dengan kunci kendaraan beroda empat.

"Pa, Ma, Dirga berangkat. Sudah telat,"

"Hati-hati, sayang," adalah sang ibu sambil menatap punggung putranya menghilang dari balik papan kayu.

Lantas, sebuah suara berat yang mengudara mengalihkan atensi wanita paruh baya itu untuk mencari sumber suara. Dilihatnya pria dengan jas biru safir duduk tegap memakan satu porsi roti panggang serta kepulan asap dari cangkir kopi miliknya. Ditemani putri tertuanya yang juga melakukan hal yang sama dengan ayahnya.

Pria berusia empat puluh empat tahun itu melontarkan pertanyaan tentang kegiatan putranya dihari sebelumnya. Bukannya ayahnya tidak melihat kegiatan anak-anaknya, hanya saja presensinya tak pernah punya waktu yang cukup untuk sekedar mendengar celotehan anggota keluarganya. Pun mereka paham dengan keadaan sang ayah yang harus berjuang memperbaiki keadaan perusahaannya yang beberapa waktu lalu sempat mengalami guncangan.

"Bagaimana kegiatannya kemarin? Apakah dia sudah bercerita padamu?" tanyanya sebelum menyesap minuman berkafein miliknya.

"Tinggal menunggu pengumumannya saja," jawabnya seraya membereskan sisa peralatan makan yang Dirga pakai tadi.

***

"Aku tidak tahu, apa kali ini akan berhasil," adalah Haikal disertai helaan nafas kelewat panjang.

Lawan bicaranya pada ponsel pintar itu sejenak terdiam atas penuturan Haikal, bahkan diam-diam dirinya tersenyum getir. Namun, bukankah jika pria bernama Jamal itu turut menampilkan perasaan yang sama, akan semakin membuat keduanya terlihat lemah?. Dengan satu tarikan nafas, pria diseberang sana mencoba menenangkan Haikal, menanamkan kepercayaan diri lagi.

Memang betul adanya, mengikuti berbagai macam audisi dan selalu gagal itu menipiskan kepercayaan pada ketujuh laki-laki itu. Entah ini audisi keberapa yang sudah mereka coba.

'Ayolah, Bang. Jangan putus asa, kita sudah berusaha semaksimal mungkin'.

Haikal hanya mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya lagi. Kendati Jamal tak melihat bagaimana air muka laki-laki yang satu tahun lebih tua darinya, pribadinya yakin bahwa diamnya laki-laki itu tidak serta-merta membuatnya berpikir semakin buruk.

'Ya sudah, Bang. Aku ada kelas. Ingat, jangan berspekulasi yang tidak-tidak,' pamitnya sebelum panggilan suara keduanya terputus.

Aku harap kita lolos—batinnya.

***

Chika tiba di pelataran parkiran lima menit setelah presensi gagah yang tengah menatapnya penuh kerinduan. Seperti biasa, duduk diatas kap mobil dengan salah satu kaki jenjangnya berada diatas plat nomor kendaraan serta sapuan lembut menyingkirkan anakan rambut yang menghalangi pandangannya terhadap yang terkasih.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun gadis itu langsung membuka pintu lantas menduduki kursi penumpang pada kotak mesin beroda empat. Meninggalkan sang supir yang masih bergeming ditempat dengan air muka penuh keheranan. Tidak biasanya gadis ini menatapnya dengan tatapan menyalang seperti menumpuk kemarahan yang sebentar lagi akan meluap. Lantas Dirga menyusul tanpa ingin membuat gadisnya menunggu lama. Tunggu 'gadisnya'?

Kini keduanya diterpa keheningan. Dilihatnya dari ekor mata milik Dirga, penumpang dengan tas merah yang digunakan untuk menutup sebagan pahanya tengah menatap pribadinya. Sungguh, bulu-bulu tangan laki-laki itu sudah berdiri, pun atmosfer didalam mobil semakin memanas karena Dirga juga belum menyalakan mesinnya. Pribadinya mencoba melawan setengah dari ketakutannya memposisikan diri untuk membalas tatapan Chika.

"Chika sayang Kak Dirga"

Dirga tersentak bukan main saat tubuhnya mendadak direngkuh kuat oleh Chika. Hatinya memanas ditambah jantungnya bertalu tak karuan. Entahlah, baginya kalimat yang diutarakan gadis itu benar-benar tulus. Dirga bersyukur mendengar penuturan Chika, diam-diam ia mengulas senyum. Lantas dibalasnya pelukan gadis itu sekaligus menumpahkan kerinduan hingga kedua maniknya menggenang air sedu.

Namun, agaknya rasa getir jauh lebih mendominasi saat gadis itu menambahkan kalimatnya.

"Chika tidak ingin Kak Dirga menjadi terkenal"

Adalah Chika yang masih terisak pada dada bidang laki-laki itu, lantaran saat dirinya melihat isi kamar Dirga yang ditemukan adalah sebuah mikrofon diatas selimut hitam miliknya.

Pesan Dirga. Mikrofon.

Gadis itu menyimpulkan jika presensi itu tengah audisi.

"Tapi kukira kau akan setuju," katanya seraya menjauhkan tubuh Chika dari dadanya.

"Kakak bilang ingin menjadi arsitek, tapi kenapa berubah?"

Tangan berotot dengan urat-urat yang menonjol itu menyentuh pucuk kepala Chika. Mengelus penuh afeksi. Tangan lainnya menyentuh pipi tembam itu bergantian, menghapus jejak air mata. Lantas tersenyum hangat sebelum menjawab pertanyaan Chika. "Arsitek dan penyanyi adalah dua profesi yang aku idamkan. Tapi aku tak bisa menjalankan keduanya secara bersamaan".

"Kalau begitu, pilih saja arsitek"

Dirga tertawa lirih mendengar penuturan sekaligus melihat air muka gadis didepannya yang tengah membersihkan lendir pada hidungnya sisa sesegukan. "Aku berjanji akan memilih arsitek jika audisiku ini gagal. Tapi berjanjilah padaku, jika kau yang harus menjadi arsitek jika aku lolos audisi ini".

"Tapi jika Kak Dirga terkenal, pasti tak punya waktu bersama Chika"

Andai kau mengatakannya setelah menjadi kekasihku—batin Dirga. Tersenyum lagi guna menenangkan gadis itu. "Aku akan selalu menyisihkan waktuku untukmu," jedanya. Lantas direbutnya tubuh itu dalam dekapannya, mengelus kepala serta punggung Chika bersamaan. "Sebegitu merindukannya ya dirimu padaku?" imbuhnya yang dibalas anggukan masih didalam dekapannya.

Dilepasnya kembali pelukan keduanya. Lanjut Dirga menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan pelataran sekolah. Dilihatnya wajah gadis itu, sedikit banyak sudah tidak memasang wajah yang menakutkan bagi Dirga

Kini mood Chika kembali. Dirga bersyukur gadis itu sudah menyematkan senyum seperti biasanya, lebih bersyukur lagi jika tiba-tiba gadis itu berkata ingin menjadi kekasihnya. Sepersekian detik, laki-laki itu langsung mengenyahkan pikiran yang menurutnya tak akan pernah terucap dari birai merah gadis itu.

Sepuluh menit sudah mereka meninggalkan sekolah, gadis itu masih setia bermain dengan ponselnya. Menggeser layar berdenyar itu melihat pembaruan kegiatan teman-temannya. Sesekali tertawa melihat konten-konten lucu yang ditampilkan layar ponsel itu. Hingga rasa bosan menghampirinya, memilih menyimpan ponselnya pada saku.

Dirga yang melirik gadis itu pun akhirnya bersuara, "Ada apa? Bosan?". Gadis itu mengangguk, terlihat kedua pipinya memantul lembut. Ingin sekali diraup oleh Dirga—saking gemasnya.

"Kak, kenapa Kak Dirga tadi bilang Chika harus jadi arsitek kalau kakak lolos audisi ini?"

"Karena aku ingin tiga profesi yang aku idam-idamkan terwujud semua," tuturnya. Lantas Dirga menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Menatap lekat Chika yang kini menatap penuh kebingungan. "Kenapa?"

"Tiga? Tadi bukannya profesi yang kakak idamkan arsitek dan penyanyi? Lalu satunya?"

"Menjadi kekasihmu". Dirga secepat mungkin menarik tengkuk gadis itu, menempelkan bongkahan kenyal miliknya pada Chika. Gadis itu membelalakan matanya saat merasakan Dirga memagut birainya. Pikirannya mendadak kosong, jantung keduanya berdetak hingga terdengar rungu masing-masing. Bahkan kedua tangan putihnya meremat kedua sisi rok yang dikenakan.

Dirga melepas pagutan itu mencoba menatap kedua manik coklat milik gadis di depannya yang mematung, memilih menghindari tatapan Dirga. Pipinya menampilkan semburat merah yang kentara. Ini terlalu mendadak bagi Chika pun Dirga. Pribadinya tak menyangka akan mengatakan perasaannya dengan cara yang menurutnya tidak romantis seperti saat ini.

"Bagaimana?"

.

.

.

bersambung...