Kak Dirga kemana?—ucapnya dalam hati. Kini gadis itu tengah melamun, tangan kanannya mengetuk-ketuk pelan pulpen yang sedari tadi dipegangnya. Lantaran sejak tadi pagi pria bertubuh tinggi dan gagah itu sama sekali tak menghubunginya. Sebenarnya bagi Chika tak mendapat panggilan telepon dari Dirga itu sudah biasa, hanya saja yang membuat gadis itu heran, sebuah kalimat yang dikirimkan Dirga tadi pagi.
'Chika, hari ini kita main petak umpet ya'
Daksanya merasakan gelenyar aneh. Perasaannya dirundung bingung dan takut secara bersamaan saat ini, entah karena memikirkan laki-laki itu atau perasaan akan datangnya hukuman lantaran sebuah panggilan bersuara berat memenuhi rungunya—Guru Surya tengah memanggil namanya. Sontak gadis itu terperangah dan hampir saja pulpen yang dipegangnya terlempar.
Gadis berponi tipis itu setuju dengan pertanyaan 'Kenapa guru matematika tidak pernah absen?', apalagi saat perasaannya sedang dipermainkan keadaan seperti ini. Terlihat tubuh gembul itu berjalan tegas menghampiri Chika dengan tatapan yang mengitimidasi.
"Dari tadi saya perhatikan, kamu itu melamun," tegurnya. Chika hanya mampu menundukkan kepalanya dengan tangan yang disatukan diatas meja. Lantas guru itu mengulurkan sebelah tangan yang memegang spidol sebelum menambahkan kalimatnya. "Kerjakan soal nomor empat".
Sungguh jantungnya bertalu tak karuan, bahkan sulit baginya meneguk salivanya sendiri saat menerima uluran spidol dari guru matematika itu. Tapi dirinya masih bersyukur tidak diberikan hukuman yang berat. Lantas kedua kaki gadis itu dilangkahkan ke depan papan tulis. Sempat terdiam sejenak memperhatikan rentetan angka rumit itu.
Selang tiga menit, gadis itu segera menutupkan spidol yang dipegangnya, berbalik arah mencari sosok guru yang mungkin dibenci setiap siswa karena pelajaran yang diampunya. "Sudah, Pak," lapornya.
Pun selepas Guru Surya mengecek hasil kerjaan Chika, rupanya gadis itu masih belum terbebas, malah gadis yang sedang berhadapan dengannya diperintah untuk mengambil buku yang tertinggal dikantor. Iya, Chika hanya pasrah saat diperintah.
***
Pagi ini dirasa cukup padat saat Chika berjalan melewati kelas-kelas. Hampir semua kelas tak ada guru yang melewatkan mata pelajarannya—hanya beberapa kelas yang terlewatkan pelajarannya. Jejeran rapi keramik putih itu dipijakinya tanpa ragu sedikitpun, hingga kedua kaki jenjangnya sampai pada tujuan sang empunya.
Bukan kantor guru, tapi kelas Dirga.
"Kak Dante," panggil Chika dengan kepala yang menyembul disalah satu sisi tembok pada laki-laki yang diyakini teman sebangku Dirga. Jelas gadis itu berani memanggil teman Dirga, karena saat ini kelas laki-laki itu sedang tidak ada guru. Dengan langkah santai serta sedikit kekehan sisa gurauan bersama temannya, laki-laki bernama Dante itu menghampiri gadis berwajah bayi yang sudah menunggu didepan pintu kelasnya.
Mungkin tak ada lima menit keduanya berbincang sebelum akhirnya Chika melanjutkan langkah pada tujuan utamanya—kantor. Hingga kewarasan gadis itu sudah terserap habis oleh perasaannya sendiri saat kembali ke kelas. Pribadinya semakin termenung tatkala menaruh dua bantalan duduknya pada kursi, lantas menyandarkan tubuhnya. Bahkan teguran guru matematika yang didapatkannya kembali hanya dibalas dengan jawaban sekenanya. Pikiran dan hatinya sedang tidak sejalan.
Barang sekali saja panggilan telepon gadis itu dijawab oleh Dirga, dirinya bersumpah tidak akan berbicara sambil berteriak. Pelipisnya sudah dibasahi oleh peluhnya sendiri, kepalanya semakin merasakan pening yang tak kunjung hilang. Tidak biasanya laki-laki itu membuat gadis yang disukainya harus berpikir akan teka-teki yang ia buat sendiri.
Merasa khawatir akan keadaan sahabatnya, Arum menyentuh salah satu pundak Chika. Bahkan hanya sentuhan kecil dipundaknya, gadis itu terperanjat. Benar-benar bukan Chika yang seperti biasanya.
"Kau baik-baik saja?"
"Eum," jawab Chika disertai senyuman dan anggukan kecil.
Dilihatnya penunjuk waktu yang tertempel di dinding depan tepat diatas papan tulis, waktu istirahat masih cukup lama. Gadis itu sempat menghembuskan nafas kasar sebelum kembali mendengar penjelasan sang guru. Ah, hari ini tidak mood sekali untuk sekolah—batin Chika.
Menyebalkan sekali bagi Chika untuk berpikir keras atas apa yang sedang terjadi. Ingin ditinggalkan, namun rasa penasaran itu jauh lebih besar. Dirinya mati-matian berusaha fokus pada kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung, mengesampingkan sejenak bayangan mengenai laki-laki yang membuatnya pening bukan kepalang.
Untung saja sepuluh menit sebelum jam pelajaran berakhir, Guru Surya sudah mengakhiri kegiatan belajar-mengajarnya dengan alasan ada urusan mendadak. Sangat menguntungkan sekali bagi Chika. Lantas gadis itu membuka ponselnya tepat setelah Guru Surya hilang dari balik pintu.
Kesabarannya diuji lagi, dimana rentetan pesan yang dikirim gadis itu, satupun tak ada yang dibaca.
"Ceritalah, ada apa?". Arum sungguh tak tega dengan keadaan Chika yang terlihat semakin pucat, dirinya yakin sahabatnya sedang membutuhkan teman untuk bercerita.
"Kak Dirga tidak berangkat sekolah, dan dia mengirimiku pesan," ucapnya sambil menunjukkan pesan Dirga. Terlihat dari manik Chika, dahi teman sebangkunya itu mengernyit bingung. "Ditambah kata Kak Dante, dia pergi bersama wanita, entahlah aku tak ingat siapa namanya. Yang jelas, mereka pergi ke hotel," imbuhnya.
"Hotel?!" pekik Arum.
"Sebenarnya, aku tak masalah dia ingin pergi kemana dan dengan siapa, hanya saja saat ini rasanya berbeda"
Lantas Arum tersenyum, seperti menyimpulkan sesuatu. "Kau cemburu?"
"Tidak.. tahu," bantahnya.
Chika tidak tahu 'cemburu' yang dimaksud gadis yang sedang menyesap minuman bersoda itu. Apakah karena laki-laki itu pergi bersama wanita selain dirinya? Atau karena Dirga tak memberitahunya tentang kepergiannya. Yang dirasakannya hanya ingin tahu maksud dari pesan Dirga.
"Kurasa kau merindukannya," jedanya seraya mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Merindukan kehadirannya".
"Lalu hubungannya dengan pesannya tadi pagi?"
Belum saja pertanyaan itu dijawab, suara denting ponsel milik Chika lebih dulu mengudara. Dengan cepat gadis itu menyambar ponselnya yang diletakkan di meja. Berharap laki-laki itu yang menyebabkan ponselnya berbunyi.
'Bersinar tapi bukan matahari'
Apa-apaan ini?—gumamnya.
Benar-benar keterlaluan laki-laki bernama Dirga ini. Sudah tak memberi kabar, malah memberikan pesan-pesan yang sama sekali tidak dimengerti Chika. Pandangan gadis itu sedikit mulai kabur. Pening, kesal, marah semakin menjalari tubuhnya. Ingin sekali menarik sumpah yang ia ucapkan tadi pagi. Lihat saja, Chika akan menghubungi laki-laki itu sekarang juga dan berteriak memarahinya.
Namun, usaha itu tetap terasa sia-sia karena Dirga mematikan ponselnya kembali. Ingatkan Chika untuk membuat perhitungan pada laki-laki itu. Sudahlah, gadis itu sudah malas.
***
Langit hitam bertaburkan benda langit yang gemerlap menemani malam panjang seorang gadis yang sedang duduk di balkon kamar. Ditambah angin malam yang sedikit banyak menghilangkan jenuh di kepala berbando merah marunnya. Dilihatnya langit indah itu, bukannya bintang yang terekam netranya malah sosok laki-laki bergigi kelinci itu.
Hati gadis itu memanas, maniknya sudah menggenang bulir kesedihan yang mungkin sebentar lagi akan melewati hidung bangir miliknya. Padahal tadi sudah malas untuk sekedar memikirkannya.
Perasaan itu timbul kembali selepas pulang dari rumah Dirga. Pribadinya sempat berkunjung ke rumah laki-laki itu. Bahkan sempat mengunjungi kamarnya. Berniat hanya untuk bertanya kemana sosok yang dicari, malah dirinya seperti menemukan teka-teki baru. Ia takut waktu itu akan tiba.
Bulirnya sudah tumpah, menumpahkan rasa sesak yang berkecamuk dalam dada. Membasahi kedua pipi putih pemiliknya. Duduk dalam posisi memeluk lutut serta kepala yang tertunduk menempel ujung lutut guna meredam suara tangis. Gadis itu terisak dalam keheningan malam. Padahal malam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas.
Selagi dirinya bermain dengan pemikiran, gadis itu mendapatkan pesan di ponselnya. Hanya melihat sekilas saat ponselnya berdenyar.
'Besok pulang bersamaku'
.
.
.
bersambung