Drap.. drap.. drap..
Buk... Buk...Buk...
"Miiikkaaaa..."
"Miikk..!"
"MIKA! Dimana sih nih anak!"
"Heeii, Mika di kamar bawah." Gill berteriak menyahuti panggilan seorang teman kosnya yang mencari Mika.
"Mik! Tuli lo ya? Ada yang manggil noh!" seru Gill pada Mika.
"Hah! Gila, fokus nonton! Apaan?" jawab Mika.
"Ada yang manggil lo tuh dari atas!"
Krrriiieeek...
"Yaa.. mbaakk, Mika di bawah!" teriak Mika.
"Mik! Ada tamu tuh. Yelah ni anak! Nungguin kamu dari tadi tau!"
"Tamu? Cowok?"
"Iya! Cowok!"
***
Rumah kos Mika terletak persis berseberangan dengan area belakang kampusnya. Letak geografisnya berada pada dataran yang miring, dekat dengan pinggiran sungai besar sehingga untuk memasuki kosnya, Mika dan penghuni kos lainnya harus menuruni tangga terlebih dahulu. Sebaliknya, untuk menuju ke teras, Mika harus menaiki tangga tersebut.
Tepat setelah anak tangga terakhir, terdapat lobi dan parkiran motor. Dan di depan parkiran motor, ada gudang yang jarang dibuka. Kamar Mika terletak di urutan ketiga dari setelah pintu utama, berhadapan dengan aula kosnya.
Mika jarang berada di kamarnya. Dia lebih sering berkumpul di kamar Gill dengan teman kos lainnya, karena kamar Gill begitu besar. Mika dan Gill saling mengenal dengan akrab begitu saja meski mereka berbeda fakultas. Selain Gill, Mika juga akrab dengan Tria. Baik Gill ataupun Tria berasal dari Borneo. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama, menonton film di kamar Gill, pergi ke mall, atau sekedar duduk di taman kota Malang.
Drap.. drap.. drap..
Mika menaiki tangga menuju teras kosnya. Dia belum terbiasa dengan bentukan tangga kosnya yang curam itu. Begitu tiba di atas, dilihatnya jalan raya dengan sedikit terengah-engah napasnya. Dia merasa ada yang memperhatikannya, lalu kepalanya ditolehkan ke kiri.
"Hai!"
"Haaii.. jugaa.."
Doni datang dari Surabaya tanpa memberitahu Mika terlebih dahulu. Sore itu cuaca sedang sangat buruk. Sebentar hujan deras, lalu disusul angin kencang. Dilihatnya baju Doni yang kebasahan.
"Kamu gak dingin? Masak cuma pake begitu?" ucap Doni sembari melepas mantel hujannya dan disampirkan menutupi jok motornya.
Doni menatap Mika dari atas ke bawah. Mika keluar dari kosnya hanya menggunakan tanktop spaghetti strap berwarna putih dan kulot pendek di atas lutut. Tali bra-nya yang berwarna hitam nampak kontras dengan atasannya.
Malang adalah kota dingin. Dijuluki demikian karena Malang dikelilingi oleh beberapa gunung. Namun bagi Mika, dinginnya kota Malang sudah menjadi wajar. Sejak kecil dia sering berkunjung ke Malang karena kedua orang tuanya berasal dari kota ini.
Mika merasa salah tingkah karena mendapat teguran dari Doni. Dia lupa kini dia berada di luar kosnya. Berdiri di pinggir jalan raya, yang tentu saja banyak orang melihatnya dengan pakaian seminim itu. Dia terburu-buru berlari keluar tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.
"Ah, iya, maaf Mas. Mika ganti baju dulu."
Mika berbalik hendak turun menuju kamarnya. Napasnya belum teratur benar, dan dia harus melewati tangga itu lagi. Tiba-tiba lengannya ditahan oleh Doni.
"Aku boleh masuk? Disini anginnya kencang."
"Tunggu di lobi ya."
"Haha.. iya kalo boleh nunggu di kamar kamu juga aku gak keberatan."
Mika mencubit perut Doni dengan tarikan kecil. Tak diperdulikannya gurauan Doni. Dia hanya mendengus kesal dan memicingkan matanya. Mereka berdua menuruni tangga menuju lobi dan disana terdapat pintu utama untuk memasuki rumah kos Mika.
"Mas mau minum?"
Mika bergelayut pada daun pintu dengan manja. Mata Doni tak lepas memandangi tubuh pacarnya yang tinggi semampai dan berkulit putih itu. Awalnya Doni menyukai Mika karena dia seorang Paskibra di sekolahnya. Lambat laun, dia menyayangi Mika karena sifatnya yang tomboy namun hatinya lembut. Kini satu lagi yang membuatnya semakin tertarik dengan Mika, yaitu lekuk tubuhnya yang sempurna nyaris tanpa cela.
"Mas!"
Hardikan Mika membuyarkan lamunan Doni.
"Ha?"
"Minum, gak?"
"Oh, gak haus. Kita makan di luar ya, tapi tunggu gerimisnya reda."
"Yaa.."
Mika masuk dan menutup pintu utama. Dibiarkannya Doni sendirian duduk menunggunya. Kemudian Gill dan Tria berlari menyusul Mika yang sedang membuka kunci pintu kamarnya.
"Mik! Emang yang di luar siapa? Cowokmu?" tanya Gill penasaran.
"Kenalin dong, Mik. Pengen tau mukanya deh.." goda Tria pada Mika.
"Hasshh.. kalian ini! Aku mau jalan habis ini," jawab Mika seraya memasuki kamarnya. Kedua temannya pun ikut meringsek memasuki kamar Mika.
"Mau kencan? Kemana? Nonton aja.. filmnya bagus-bagus pekan ini," seru Gill.
"Hm.. what should I wear?"
Mika bertanya pada kedua teman kosnya. Gill yang memiliki ketertarikan lebih pada bidang fashion, seketika berdiri membuka lemari dan sibuk memilah baju-baju pada hanger Mika.
"Mik, ini gimana?"
Gill mengulurkan kaos biru muda bergambar black swan dengan kerutan di bagian bawahnya, lalu diraihnya rok hitam dengan panjang selutut yang diletakkan Mika pada gantungan di balik pintunya. Dia meletakkan baju dan rok itu pada bagian depan tubuh Mika dan memiringkan kepalanya.
"Cocok.. manis.. simpel.." puji Tria yang sedari tadi hanya duduk di tepi kasur, memperhatikan kesibukan Gill.
"Mm. Kayaknya aku bisa kedinginan kalo pake itu. Lengannya terlalu pendek," sahut Mika.
"Bawa jaket, Mik. Kalo dingin, tinggal dipake."
"Oh.. ya.. ya.. Boleh. Kalian keluar dulu deh. Aku mau ganti baju."
"Haha.. masak sama-sama cewek malu sih.. Sookk.. ganti baju sana!"
"Ha. Enggak, malu! Keluar dulu kalian!"
"Udaahh buruan ganti! Cowokmu bisa membeku sendirian tanpa kehangatanmu. Haha.."
"Sialan kalian semua! Cepet keluaarr!"
"Weee.. enggak mau.."
Akhirnya Mika hanya bisa pasrah. Menanggalkan satu persatu bajunya dengan perlahan, lalu bergegas meraih kaos dan rok yang sudah disiapkan oleh Gill.
"Mik.. Bra mu ukuran berapa? Sama gak sih, kayak punya ku?"
Gill mendekati Mika lalu berusaha menarik tali bra Mika. Perlawanan tak terelakkan. Gill dan Tria saling menggoda Mika satu sama lain.
"Oi, dasar lesbi kalian!"
Mika segera berlari keluar kamar agar terhindar dari kejaran teman kosnya. Mereka tertawa terbahak-bahak karena berhasil berbuat jahil pada Mika. Di luar masih sedikit gerimis, Mika berlari menemui Doni tanpa mengenakan alas kaki karena tergesa.
"Heh. Itu kaki, mana sepatunya?" tanya Doni.
"Oh.. ya ampun.. nih gara-gara Gill sama Tria nih. Bentar ya Mas, Mika ambil sepatuuu.."
Mika berlari kembali menuju kamarnya. Kedua temannya masih menunggu di depan kamar Mika dengan terus tertawa.
"Sialan, sampe lupa gak pake sepatu jadinya."
"Haha.. muka mu.. Mik! Aku gak bisa berhenti nih.. Gitu aja takutnya setengah mati, haha.."
Mika hanya tersenyum kesal pada kedua temannya itu. Segera dikunci kamarnya, dan Mika pun berpamitan untuk pergi.
"Aku jalan dulu ya.. Bye.."
***
Hujan telah reda. Doni pun berdiri mengajak Mika untuk segera berangkat. Tak lupa Mika membawa serta helmnya yang diletakkan berderet dengan helm lain di ruang parkiran motor.
"Sayang, kok aku aneh ya.."
"Aneh gimana, Mas?"
"Enggak, aneh aja. Gak biasanya kamu secantik ini. Haha.."
"Haha.. Oalah, ngegombal toh."
"Mau makan dimana kita?"
"Makan bakso aja! Ada bakso enak deket rel kereta. Gak jauh kok."
"Oya? Jadi kalo ada kereta lewat..?"
"Ya kita bisa lihat dari jarak dekeet bangett, trus anginnya pasti kenceng gitu.. Wuuusss.."
"Seruu ih, ayo deh kesana."
Mereka pun menuju tempat makan yang dimaksud oleh Mika. Ketika di kedai bakso tersebut, hujan kembali turun dengan derasnya. Begitu lama mereka menunggu hujan reda. Doni hanya memiliki satu mantel hujan, dan itu artinya Mika bisa kehujanan dan sakit jika dia memaksakan diri mengantar Mika kembali ke kosnya.
Pukul delapan malam, hujan baru saja reda. Mereka pun segera beranjak pergi, berkendara mengitari kota. Aroma jalanan setelah turun hujan begitu wangi bagi Mika.
"Sayang, kita lewat sana yuk. Kata temen kampusku, disana tuh ada roma."
"Roma? Roma itu apa?"
"Roma itu rombengan malam. Haha.. Jadi banyak orang jualan, tapi harganya di bawah standart gitu."
"Oh.. iya kah? Mika mau hunting apa emang?"
"Yaa.. palingan sepatu aja sih. Atau kaos-kaos gitu.."
"Ya udah bentaran ya. Ini udah malem lho."
Mereka pun berbalik arah, menuju 'roma'. Tempat yang terletak di pinggiran kota, namun suasananya begitu ramai dan sibuk. Berbagai pedagang menjajakan jualannya persis di sepanjang trotoar. Dagangan mereka digelar dengan tikar atau alas koran, namun ramai dihampiri pengunjung. Mika pun mengurungkan niatnya untuk turun dan berburu barang murah. Dia enggan untuk berdesakan dengan pembeli malam itu yang rata-rata adalah pria dewasa.
"Gak jadii deh, Mika takut dicopet."
"Pinginnya beli yang mana? Udah nyampe sini lho, beneran gak jadi turun?"
"Kapan-kapan aja kesini.. Siang.. Sapa tau sepi."
"Say..ang.. namanya 'roma' itu rombengan malam. Ya adanya cuma kalo malam. Mana mungkin siang.. Haha.. Suka bego deh, haha.."
"Oiya juga ya. Haha.."
Mereka melanjutkan penelurusan barang murah tanpa turun dari motor. Malam itu terasa sangat dingin selepas turun hujan. Lalu Mika merasa ponselnya bergetar. Ia pun mengambil ponsel dari dalam tasnya, dan membuka satu pesan masuk.
1 Message Received
KAMU DIMANA? KOK BELUM PULANG. PAGER DIGEMBOK JAM 9. JANGAN LUPA!
[GILL]
Mika terkejut membaca pesan dari Gill. Dia terlalu lama berjalan-jalan hingga lupa waktu. Dilihatnya penanda waktu pada ponselnya. Pukul 20.45
"Mas, kosan Mika dikunci jam 9. Ayo balik sekarang, cepetan!"
"Ha. Iya lupa. Aduh gimana sih.."
Doni melajukan motornya dengan kencang. Tak dipedulikannya jalanan yang licin dan hawa dingin menerpa. Mika memeluk Doni dengan erat dari arah belakang. Jaketnya tak mampu menahan udara dingin kota Malang malam itu.
Setibanya di kos, Mika segera berlari turun dari motor tanpa mempedulikan Doni. Ia menuju pagar, lalu kakinya terasa lemas. Mika terlambat. Pagar sudah dikunci sekitar 5 menit yang lalu.
GILL, AKU DI DEPAN. PAGAR SUDAH DIKUNCI. GIMANA NIH?
1 Message Sent
Tak butuh waktu lama, Gill membalas pesan Mika.
1 Message Received
AKU MANA PUNYA KUNCI PAGER. PENJAGA KOS JUGA UDAH BALIK. KAMU NGINEP DIMANA DULU, GITU.
[GILL]
"Mas. Udah gak bisa masuk. Terus Mika tidur dimana dong?"
Mika merengek ketakutan pada Doni yang menunggunya dari atas motor. Sempat Doni juga dibuat bingung. Dia melepaskan helmnya dan terus menatap Mika.
"Sayang.. apa gak papa, kalo ikut aku menginap di rumah Boy?"
"Di.. rumah Boy ya? Apa gak papa?"
"Aku juga kurang tahu. Tapi, ada satu kamar kosong di belakang. Semoga aja dibolehin sama Boy."
"Kita.. kesana.. sekarang?"
"Enggak, besok lusa! Yaiyalah sekarang. Ayo cepet naik. Dilihat orang, gak pantes cewek kok keliaran jam segini."
"Iya, baiklah.. tapi semoga ada Fiona disana.."
Jarak antara kos Mika dengan rumah Boy tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu lima menit, mereka sudah tiba di rumah Boy. Nampak Boy dan teman kampusnya sedang bermain gitar dan terdapat cangkir-cangkir kopi di depannya.
"Boy! Apakabar bro.."
Doni memeluk Boy, dan menyalami teman-teman Boy lainnya. Boy tampak terkejut melihat kedatangan Doni, yang kali ini dengan membawa Mika.
"Ngapain ajak Mika malem-malem, ha?" bisik Boy pada Doni.
"Tadi abis jalan, tau-tau lupa, jadi kekunci pager depan."
"Terus maksudnya, nginep sini?"
"Iya. Boleh?"
"Kamu gila. Tidur sama kamu di kamar belakang?"
"Gak, bego! Biar aku di kursi depan aja."
"Haha.. Bukan gitu. Urusan kamu sih, mau tidur sama Mika atau gimana. Kamu juga bisa tidur di kamarku."
"Ok bro, thank you ya."
"Ajak masuk! Eh iya. Ada baju Fio di jemuran belakang, kali aja Mika mau ganti baju."
Dengan perasaan canggung, Mika memasuki rumah Boy. Hari itu Fiona pulang ke Amerta karena perkuliahan libur dua hari. Kemudian Boy mengundang teman-temannya untuk menemaninya malam itu.
Doni membersihkan tempat tidur di kamar belakang terlebih dahulu. Dikibaskannya alas kepala dan selimut, setelah itu dia menuju jemuran dan dilihatnya ada baju tidur bergambar bunga yang tentunya itu adalah milik Fiona. Diberikannya baju tidur itu pada Mika, lalu ditutupnya pintu kamar dari luar.
***