Chereads / MIKA & DONI / Chapter 39 - Lala Festival

Chapter 39 - Lala Festival

SEBULAN KEMUDIAN, FEBRUARI 2006

"Siapa ajaa yang ikut, ayoo aku tinggal belikan tiket aja."

"Yo.. akuu! Jangan dilupain!"

"Aku, dua. Sama Danisa, ya."

"Aku, Mika, Raka, Hadi, Ar... Kamu ikut kan, Ar?"

"Aku jalan sama anak-anak One Club aja. Sorry gaes!"

"Yo.. aku nambah 3 tiket ya.."

"OK. Semua aku catetin.. gantian.. bentar.."

Seminggu jelang perayaan Lala Festival, Yohan sibuk mengkoordinir penjualan tiket konser. Kebetulan Yohan turut bergabung sebagai tim promotor konser sebagai salah satu dari rangkaian acara Lala Festival. Bintang tamu konser tersebut menghadirkan band kenamaan seperti Jikustik dan Peterpan, selain itu menghadirkan pula band rock dan band lokal indie dari Kota Amerta.

Banyak siswa Amerta merasa terbantu dengan jasa Yohan. Kami tak perlu berdesakan dan mengantri membeli tiket di loket. Kami tak perlu datang lebih awal agar tak kehabisan tiket. Hari itu, Yohan betul-betul sibuk.

"Yo.. kita kumpul di sebelah mana nanti?" tanyaku.

Yohan sibuk mencatat, sesekali dia menengok layar ponselnya. Pertanyaanku pun tak didengarnya.

"Yo.. ihh.. males ih. Jadi sibuk gini."

"Hei, Mika. Sejak kapan kamu berdiri disitu?"

"Nah, bego kan. Dari tadi, tauuu.."

"Oya? Haha.. sori lagi konsentrasi.. kamu nanya apaan tadi?"

"Kita tuh kumpulnya dimana? Di sebelah mana? Trus jam berapa?"

"Oh. Di rumah Andika aja, kan deket tuh sama venue. Ntar semua motor parkir di garasi Andika, trus jalan kaki ke GOR. Soalnya kalo parkir di GOR langsung, pasti penuh, sesak, dan ribet juga."

"Iya bener juga. Toh kita kan rame-rame, gak bakalan berasa capek juga jalan kaki ke GOR."

"Jam 6 ya.. sudah harus tiba di rumah Andika. Aku bagikan tiketnya disana."

"Siap, aku sampaikan ke temen-temen lainnya kalo gitu."

***

D-DAY [LALA FESTIVAL]

Aku membayangkan bahwa ini akan menjadi konserku yang terakhir di Amerta, bersama dengan teman-teman sekolahku. Beberapa bulan ke depan, kami akan sibuk dengan ujian akhir dan seleksi masuk kuliah. Tak ada banyak waktu tersisa. Sebisa mungkin, aku membangun kebersamaan dengan mereka sebelum akhirnya kita berpisah.

Pukul 5 sore, aku menjemput Danisa terlebih dahulu, lalu menunggu June dan Raka di dekat supermarket tempat kami berjanji untuk bertemu dan bersama menuju rumah Andika. Tiba di rumah Andika, ternyata Helen dan Hadi belum tiba. Kami pun menunggu dengan berfoto menggunakan ponsel June.

Sesuai adat kebiasaan, ketika di suatu daerah akan digelar acara atau hajatan terutama di musim penghujan, maka akan ada pawang hujan yang ditunjuk untuk mengadakan ritual tolak hujan. Malam itupun langit tampak cerah dan tak ada gumpalan awan sedikit pun. Bulan tampak bulat penuh.

Aku hanya mengenakan tanktop oversize berwarna putih, dan celana jins pendek. Kalung kupu-kupu berwarna gold kesukaanku menjuntai panjang melewati bawah dada. Tak lupa ku bawa sweater warna krem, kado ulang tahun dari Papa untukku bulan September lalu. Sweater itu ku ikat di pinggang. Sepatu sneaker putih senada dengan atasanku, siap menemaniku untuk melompat-lompat sepanjang acara musik digelar.

"Mika, rambutnya diiket gini, biar gak nyolok ke mataaa..."

Danisa membelai rambutku lalu mengumpulkannya di tengah. Dikeluarkannya karet rambut dari dalam tas kecilnya. Dirapikannya rambutku membentuk ekor kuda, lalu dikaitkannya karet rambut itu melingkari rambut tebalku sebanyak dua kali.

"Nah, begini kan cantik.."

Puji Danisa sembari mencubit kecil pipi kananku.

"Hehe.. yaa tadi kan buru-buru jemput kamu, jadi ga sempet..." ucapku pada Danisa.

Tak lama, datanglah Helen dan Hadi. Selang beberapa menit, kami beramai-ramai berjalan kaki menuju venue konser yang jaraknya sekitar 200 meter dari kediaman Andika.

"Mika bawa HP gak?" tanya Helen.

"Gak bawa. Ntar dicopet gimana," jawabku.

"Oi.. semua HP kumpulin jadi satuu.. titip di tas Danisa sinii..." Hadi berteriak pada rombongan.

Danisa pun kebingungan. Dia merasa tasnya terlalu kecil untuk menampung ponsel teman-temannya. Namun Danisa tak dapat menolak. Dia memang typical anak yang tidak-enakan dan lemah-otak (lemot).

"Waduh, aku kalo lompat, bisa hujan HP dari dalam tas ku dong." Danisa menggerutu kesal.

"Ya... jangan lompatt.. jinjit-jinjit ajaaa.. haha.."

Kami senang menggoda Danisa. Semakin dia cemberut, semakin lantang kami mengerjainya.

Tak terasa, 10 menit kami berjalan, dan tibalah kami di loket masuk konser. Masing-masing dari kami berbaris memanjang ke belakang dan melewati jalur pemeriksaan tiket yang terbagi menjadi empat jalur, untuk mengurangi desakan pengunjung lainnya.

Lolos dari pemeriksaan tiket, kami mendapat gelang karet berwarna merah, bertuliskan LALA 2006. Festival yang kuimpikan sejak lama, dan tepat di usiaku yang ke 17 tahun, aku dapat menyaksikannya secara langsung.

Suara hentakan drum dan lentingan gitar bass terdengar. Band pembuka sedang tampil di atas panggung. Kami berlari berhamburan mendekat ke arah panggung.

Suasana konser begitu ramai sesak pengunjung. Aku memperingatkan Danisa agar menjaga tas nya.

"Nis.. taaass.. muu.. atii.. atiii cooppeett.."

Aku meneriakinya, karena jarak kami terpisahkan June dan Helen. Sedari tadi aku merasa ada orang lain yang memperhatikan ke arah kami. Aku yakin, pencopet banyak yang berburu mangsa dalam kesempatan seperti sekarang.

Perasaan ku terus saja tak tenang. Teman-temanku tak menyadari bahwa ada beberapa mata yang tengah mengawasi gerak-gerak kami. Mereka terus saja bernyanyi mengikuti alunan musik.

"Ka, kamu awasi kita ya. Kayak ada yang mau nyopet."

Aku berbicara tepat di telinga Raka agar dia dapat mendengarku dengan mudah. Raka mengangguk. Dia menarik bahu Hadi mundur. Membentuk barikade untuk melindungi teman-teman perempuannya.

Di sela kerumunan, aku melihat Arya dan One Club-nya di kejauhan. Aku mengangkat tanganku dan melambai ke arahnya. Arya tak juga menoleh, begitu pula teman-temannya. Sekali lagi, sekuat tenaga aku menggerakkan tanganku agar mereka mengetahui keberadaan kami.

Tak lama salah satu dari anak One Club menoleh padaku. Dia berbisik dan memberitahu Arya, lalu berjalan mendekati kami, menerobos kerumunan penonton yang begitu penuh sesak. Aku pikir, semakin besar jumlah kami, maka baik pencopet atau pengganggu lainnya tak akan berani mendekat.

"Oi, gaabuungg siiniii..." teriakku pada One Club.

Kami pun melanjutkan sukacita kami, hingga Lala Festival berakhir.

***

DI KEJAUHAN

Gerombolan genk Roxette berdiri sedikit mundur dan menjauhi panggung. Area tempat mereka berdiri hanya mendapat sedikit sinar lampu soklai.

"Boy. Ada Mika disana." Doni berseru pada Boy.

"Iya, rame-rame dia ya," jawab Boy.

"Mika kok tambah cantik aja ya."

"Yah begitulah Don. Cewek kalo udah jadi mantan, cantiknya suka kelewatan."

"Samperin dong, Boy. Bilangin kalo aku disini."

"Dih, ada anak One Club. Dikira cari ribut ntar.."

"Ya udah aku aja yang kesana, bentar ya."

Doni berjalan, berdesakan demi menerobos kerumunan, dan mendekati Mika. Teman-teman Mika yang menyadari kehadiran Doni, kemudian menepuk bahu Mika. Mika pun menoleh dan mendapati Doni berada di belakangnya. Beberapa anak One Club termasuk Arya, sedikit menjauhi mereka.

"Boleh ngomong sebentar?"

Doni berbicara tepat di telinga Mika agar mudah didengar. Mika mengangguk, dan tangan mereka bergandengan menjauhi teman-teman Mika.

Nyatanya, setelah menjauh dari teman-temannya, baik Doni maupun Mika tak berbicara sepatah katapun. Keduanya hanya terdiam lama, namun tangan mereka saling menggenggam erat. Tak ada yang tahu isi hati dan kepala mereka, selain Tuhan.

***

"Mas, aku balik sama temen-temenku."

Aku pun melepas genggaman tangan Mas Doni. Dan seketika itu pula dia langsung menarik kembali pergelangan tanganku. Sudah kuduga bahwa dia akan melakukannya. Ku teruskan badanku menatap ke depan, dan tak ku biarkan menoleh atau bahkan menghadap ke arahnya.

"Mik.." suaranya terdengar lirih dibalik keriuhan dentuman band dari atas panggung.

Sejenak ku menoleh, dan ku lihat matanya berkaca-kaca. Mas Doni hampir menangis, demi menahanku agar aku tak pergi meninggalkan dirinya.

Begitu keras hatiku. Sama sekali tak tersentuh perasaanku melihat Mas Doni yang nyaris menitikkan airmatanya. Aku teringat kembali peristiwa tentang Arya. Lalu teringat ucapan Mama kepada Leo.

Aku hanya dapat mengusap perlahan genangan airmatanya agar tak menetes. Ku belai dengan lembut pipinya, dan dia pun mengikuti gerakan tanganku. Satu tanganku yang masih dipegang, kemudian diciumnya.

Itu terakhir kali aku melihat Mas Doni, hingga waktu kelulusan ku di Smasa Amerta tiba.

***