Ku pelankan laju motorku agar Mas Doni dapat menyusul dan menyebelahi ku. Kenapa tiba-tiba dia beredar kembali di Amerta, padahal setauku statusnya sebagai mahasiswa di Unpad Bandung. Seharusnya dia tidak berada di Amerta sekarang. Ku lihat spion kiriku, Mas Doni menyalakan lampu sein ke kiri. Apakah dia hendak menyalipku dari sisi kiri?
Tin.. Tiinn..
Ku lihat dari spion, tangan kirinya memberi tanda agar aku menepi. Aku tahu, dia mungkin ingin mengajakku berbicara sebentar. Tapi aku ragu, jaketku basah karena hujan sangat deras. Jika dilihat dalam jarak dekat, mungkin akan nampak bayangan pakaian dalamku karena aku hanya mengenakan kaos atasan berwarna abu muda tanpa lengan dengan kerah berbentuk V-neck.
Tiinnnn...
Sekali lagi Mas Doni memperingatkanku dengan klakson bernada panjang. Terpaksa aku menurutinya, dan menepi tepat di bawah pohon tanjung yang berdaun lebat. Dia menghentikan motornya di sebelah kananku.
"Mau kemana? Hujan.. Ngebut.. Bisa kepleset kamu tau!"
Lama tak berjumpa, lama tak ada komunikasi, Mas Doni kini berada di sebelahku dan memarahiku karena mengebut di jalanan yang basah karena hujan deras. Aku menatapnya dari atas ke bawah.
"Atas dasar apa, anda memarahi saya?"
Aku membalasnya dengan nada ketus. Masih ku ingat bagaimana terakhir kali dia lebih mementingkan egonya dan memutuskan hubungan kami begitu saja. Aku yang bersusah payah agar Arya mau memaafkannya, namun dia justru tak mau meminta maaf pada Arya. Sepertinya Mas Doni tak mengingat kejadian itu. Dia memarahiku layaknya aku masih menjadi pacarnya. Marah sebagai tanda sayang. Tak ada sapaan atau rasa canggung, dia langsung melontarkan tegurannya begitu saja.
Setelah jawabanku yang sinis, Mas Doni menyadari kekeliruannya. Dia menghela nafas. Ku lihat badannya basah diterpa titik-titik air hujan, sedangkan badanku tidak terlalu basah karena terhalang dedaunan pohon. Mas Doni menatap ke depan, lalu menoleh ku, lalu melihat ke bawah. Dia seperti orang salah tingkah.
"Ngapain di sini?" tanyaku singkat.
"Pulang, libur tahun baru," dia pun menjawab singkat.
"Mau kemana, hujan-hujanan?" tanyaku lagi.
"Ya kamu tuh, yang mau kemana.. mana ujan deres, gak pake mantel, ngebut pula.."
"Eh, kamu juga gak pake mantel."
Perdebatan kecil, dan kami kembali diam. Rupanya masih ada ego yang tinggi diantara kami yang sama-sama tak ingin mengalah.
Hujan belum berhenti. Mendung gelap disertai suara petir menggelegar. Sontak aku teringat pada adikku, Leo.
"Aku harus pergi, mau cari Leo."
Ku putar kunci motor ke kanan disertai suara mesin yang menyala. Seketika lenganku ditahan oleh Mas Doni.
"Mau kemana?"
"Leo gak pulang dari tadi, aku mau cari dia."
"Cari kemana, ayo sama aku."
Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku segera melaju kembali mencari Leo. Tak ku pedulikan Mas Doni yang berkendara di belakangku dan sesekali menjejeriku.
Tanpa sadar, aku sudah cukup lama berada di balik kemudi motorku. Hujan disertai angin membuatku kedinginan. Jaketku basah kuyup. Kaca helm ku semakin buram dan berembun. Tak jauh lagi, aku melihat gapura perbatasan antara Kota Amerta dengan Kota Baru.
Tak jauh dari gapura perbatasan, ku lihat ada tulisan suatu pemandian yang baru dibuka. Aku menduga, pasti Leo berada di sana dengan teman-temannya tengah menunggu hujan reda. Ku nyalakan lampu sein ke kanan. Mas Doni di belakangku turut menyalakan lampu seinnya.
"Mas, Leo mungkin di dalam, aku mau masuk dulu."
Ku parkir motor ala kadarnya dan tergesa aku masuk ke dalam. Setelah bertanya pada petugas pemandian, ternyata adikku memang berada disitu beberapa menit lalu namun sekarang telah pergi dengan rombongan teman-temannya entah kemana.
Lututku lemas. Kemana lagi aku akan mencari Leo. Aku belum makan, ditambah hawa dingin yang menusuk. Ku tekan keypad ponselku.
"Pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini." Suara operator menyambut keputusasaanku.
"Gimana, Leo ada?"
Mas Doni menungguku di depan gerbang pemandian sedari tadi. Nampak raut wajahnya juga penuh kecemasan, sama seperti halnya aku. Aku menggeleng.
"Katanya, udah pada pulang. Aku mau telpon mama. Apa Leo udah di rumah atau belum."
Tak butuh waktu lama, kami kembali menyusuri jalanan. Hujan sedikit reda, menyisakan gerimis tipis. Ku tepikan motorku berhenti di sebuah wartel (warung telepon). Sekali lagi, tak ku parkir motorku dengan baik karena aku terburu-buru masuk ke dalam wartel.
"Ma, Leo sudah di rumah belum? Mika udah hampir nyampe di Kota Baru, nyariin Leo."
"Belum, Mika. Ini kamu dimana? Udah pulang aja. Sorean nanti cari Leo lagi."
"Iya, Ma. Mika pulang sekarang."
Keluar dari wartel, Mas Doni segera melontarkan pertanyaannya padaku.
"Gimana, Leo udah di rumah?"
"Kata Mama, belum."
"Trus, lanjut cari atau..."
"Aku pulang aja. Aku kedinginan."
Setelah dari wartel, aku pun menuju rumah. Sedikitpun aku tak peduli, apakah Mas Doni berada di belakang mengikutiku atau tidak. Pikiranku hanya satu, kemana Leo pergi.
Tiba di simpang tiga dekat rumahku, tak sengaja aku melihat ke spion kanan. Dari situ tak lagi ku lihat Mas Doni. Hingga aku berbelok memasuki komplek perumahanku, tetap tak nampak Mas Doni dari kaca spionku. Ah, mungkin dia berbelok pulang tanpa sepengetahuanku, batinku.
Ku lepas helm dan jaket perlahan di teras rumah. Rasanya begitu berat karena menyerap banyak air hujan. Ku panggil Mak Cik berulang kali, tapi Mak Cik tak kunjung datang menghampiriku.
"Maakk Ciik.. handuk Makk.."
Tak ada sahutan.
"Maakk Ciikk dimana? Handuk, Maakk..!"
Ku naikkan intonasi suaraku, dan seketika ku lihat perempuan tua itu tergopoh berlari ke arahku dengan membawa handuk tebal.
"Maaf, non.. tadi di belakang.."
"Yaa, Mak Cik, gak papa. Tolong bawa ini ke belakang, Mak, jaket Mika kehujanan."
"Iya non. Sekalian saya buatin minum hangat."
Aku segera duduk di kursi teras dan melepas sepatuku. Sepatuku pun basah, lalu ku angin-anginkan di dekat rak sepatu agar lekas kering. Meski memakai helm, rambutku tetap basah dan meneteskan sedikit sisa air hujan. Bajuku pun jelas basah pula, termasuk pakaian dalamku.
Bbbbrrrrrm..
Megapro hitam berhenti tepat di paving teras rumahku. Aku melihat rodanya. Lalu ku lihat kaki bersepatu biru muda melompat turun dari jok belakang.
"Leo!" pekikku terkejut.
"Kak Mika.. hehe.."
"Kamu, darimana.. Lho? Mas.. ?"
"Ketemu Mas Doni, di tikungan sana, hehe.."
Disaat aku masih kebingungan dengan kedatangan Leo yang tiba-tiba berboncengan dengan Mas Doni, Mama sudah berada tepat di sampingku dan menjewer telinga Leo lalu menggiringnya masuk ke dalam rumah.
"Kenapa kamu bisa sama Leo?"
Tak kupedulikan Mas Doni yang juga basah kuyup sama halnya denganku.
"Ketemu di simpang empat dekat Tugu Adipura. Karena kamu bilang mau pulang, ya udah aku puter balik cari Leo. Trus ketemu..."
Kalimat Mas Doni yang begitu panjang terpotong.
"Aku gak nyuruuuhh kamu, Maass...."
Kini giliran kalimatku yang terpotong.
"Doni, makasih ya udah bantuin cari Leo. Masuk dulu, dibuatin teh hangat itu sama Mak Cik."
Mamaku tiba-tiba menjadi begitu baik pada Mas Doni karena telah membawa Leo pulang. Aku kesal melihat Mas Doni yang begitu mudah mendapat perhatian Mamaku. Apalagi di saat kami sedang mengalami krisis dalam hubungan kami. Sedangkan aku yang basah kuyup tak dihiraukan oleh Mama, namun Mama justru mempersilahkan Mas Doni masuk dan mengabaikanku begitu saja.
Mama menemui Mas Doni, membawakannya handuk dan kaos ganti untuk Mas Doni. Ya, kaos milik Papa yang ukurannya nyaris sama dengan badan Mas Doni. Kami masih di teras, beradu pandang. Aku mengeringkan rambutku dengan handuk, begitu pula Mas Doni.
"Dasar! Cari muka ya kamu!"
"Hidih.. kenapa situ yang bawel sih?"
"Cepet pulang!"
"Kan dibuatin teh hangat sama Mak Cik. Ya tunggu teh nya dulu, baru aku pulang."
"Rese ya, lama-lama."
Sesungguhnya aku tak benar-benar kesal dengan Mas Doni. Waktu yang telah menghapus kemarahanku pada Mas Doni. Lagipula atas bantuan Mas Doni, adikku Leo dapat ditemukan. Seharusnya aku menghargai pertolongannya, dan berterima kasih padanya.
Mas Doni melepas kaosnya yang basah. Disitu aku melihat dadanya yang lapang dipenuhi bulu halus yang pernah ku sentuh dulu saat berboncengan dengannya. Kulit dadanya yang putih dan perutnya yang mulai berotot, mungkin karena dia sering berolahraga.
"Apa lihat-lihat!" seru Mas Doni membuyarkan lamunanku.
"Ha? Orang di depan mataku, mana mungkin aku gak liat." Aku mencoba berkelit.
"Haha.. mau?"
"Gila!"
"Serius, mau?"
"Ha? Mau.. apaan?"
"Mau balikan?"
"Heh. Kok pede kamu, Mas.."
"Ya abisnya dari tadi bengong aja ngeliatin. Kirain masih suka. Haha.."
"Ih.. gila.."
Mas Doni begitu yakin bahwa tawarannya akan ku iyakan. Setelah sekian banyak kejadian yang ku lalui bersamanya, aku belum dapat memutuskan apakah bersedia menjadi pacarnya lagi. Aku memilih untuk tidak menjawabnya.
"Mas, Mika masuk dulu. Mau ganti baju."
Sebenarnya aku tengah menyembunyikan raut kebingunganku. Segera aku berlalu dari hadapannya agar dia tak berlama-lama menggodaku. Sejujurnya aku tak tahu, apa yang harus ku katakan.
Beberapa menit kemudian setelah aku mandi dan berganti pakaian, aku bergegas menuju teras. Namun tak kudapati Mas Doni disana. Motornya pun tak ada. Hanya saja, segelas teh hangat yang di meja sudah tak bersisa sedikitpun.
"Ma.. Mas Doni udah pulang kah?" tanyaku pada Mama yang sedang menyuapi Leo.
"Lho mana Mama tahu. Kirain sama kamu di depan."
"Oh, iya.. berarti udah balik dia.."
Aku membalikkan badan hendak menuju kamarku. Lalu ku dengar Leo berkata pada Mama.
"Ma, Mas Doni tuh pacarnya Kak Mika, tau."
"Oya? Leo kata siapa?"
"Mama ih.. lihat aja Kak Mika selalu happy kalo Mas Doni datang."
"Hush. Kak Mika kan sudah kelas tiga. Gak boleh pacaran kata Papa. Nanti jadi lupa sama belajarnya."
Aku mendengar dengan jelas percakapan Leo dan Mama. Dari sana aku dapat mengambil kesimpulan bahwa baik Papa atau Mama belum mengijinkan aku untuk pacaran dengan Mas Doni atau siapapun. Itu artinya aku harus belajar dengan tekun, dan melupakan Mas Doni.
***