Chereads / MIKA & DONI / Chapter 36 - (bukan) Part Kecil

Chapter 36 - (bukan) Part Kecil

Matahari bersinar cerah, tak ada gumpalan awan hitam yang berderak. Hari kesekian, Aku masih saja merasa gugup dan gemetar di kaki tiap memasuki gerbang sekolah. Aku tak siap jika teman-teman terus saja melihatku dengan tatapan sinis. Mereka tak tahu, jika aku sebenarnya menanggung dampak psikis akibat ulah Mas Doni pada Arya.

Tak ada yang menyapaku. Tak ada yang perlu berinteraksi denganku. Semua temanku sibuk berbincang dengan yang lain, seolah menghindar untuk bersinggungan denganku. Aku tak dapat memaksa mereka untuk bersimpati padaku, maka ku biarkan semua berjalan apa adanya.

Arya memang sudah memaafkan perbuatan Mas Doni, namun sulit baginya untuk melupakan begitu saja. Lukanya pun masih belum sembuh benar. Sepanjang waktu, kami berempat hanya bisa diam. Tak ada lagi candaan, tak ada kejahilan yang biasa mereka lakukan, tak ada kartu domino yang berserakan di meja ketika guru tiba-tiba memasuki kelas.

Aku menguap sedari pagi. Rasanya pelajaran hari ini begitu membosankan. Tampak teman-temanku juga demikian, namun mereka tak berniat untuk menghibur satu sama lain. Di tengah kebosanan, June mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu ditekan-tekan tombolnya dari balik laci mejanya. Pelajaran Bu Ribka hanya menerangkan tentang teori status sosial. Teman-temanku yang lain pun tak banyak yang memperhatikan beliau.

Aku melirik ke arah ponsel June. Diam-diam dia membuka laman sosial media facebook. Ada seseorang yang mengirim pesan untuk mengajaknya berkenalan. Aku membacanya sekilas tanpa berkomentar apapun.

June menyadari bahwa aku pun sebenarnya ingin tahu, siapa yang mengirim pesan padanya. Dimiringkan ponselnya sedikit menghadapku.

"Ada yang ngajak kenalan, anak Kota Baru kayaknya." June berbisik padaku agar Bu Ribka tak mengetahui apa yang kami lakukan.

Aku mendekatkan badanku ke arah bangku June. "Coba lihat fotonya dulu, Jun." Bisikku pada June.

Kami sibuk menunduk, berselancar di dunia maya menggunakan ponsel June. Tanpa kami sadari, sebuah kapur tulis melayang ke arahku.

Taakkkk!

Aku dan June mendongak seketika. Sebuah kapur tulis mengenai lenganku dan tergeletak di meja ku.

"Itu Mika sama June ngapain. Gak merhatiin saya ya!" Bu Ribka marah.

"Aduh, ketauan, June." Aku berkata lirih pada June.

Dia segera menyembunyikan ponselnya ke bagian dalam laci.

"Main HP ya kalian! Maju sini! Berdua!" seru Bu Ribka.

June tak berbicara apapun, hanya sedikit mengangkat alis dan tersenyum kecut padaku. Ku ikuti langkahnya menuju meja Bu Ribka. Teman-teman sekelas memandang kami, ada yang terkekeh kecil, ada yang sedikit iba, ada pula yang tak tahu mengapa kami harus berdiri di depan kelas.

Bu Ribka marah di sisa waktu pelajaran. Aku dan June terus saja berdiri dengan muka malas. June menyenggol lenganku dan aku sempat tersenyum kecil, karena dari kejauhan, Arya dan Hadi mengolok kami dengan ekspresi konyol mereka.

"Ra..saainn.. wee..!" Arya dan Hadi saling menggoda kami dari tempat duduknya.

Bel tanda pelajaran usai berdering panjang. Namun Bu Ribka terus saja mengalirkan nasehat dan sedikit amarahnya pada kami berdua, teruntuk pula siswa kelas 3 IPS 1. Tampak siswa dari kelas lain berlalu lalang meninggalkan kelas masing-masing.

"Bu, udah jam pulang nih!" Teriak Arya dengan mengangkat tangannya.

"Ya! Saya tahu itu. Tapi biar kalian kapok. Jangan pernah main HP lagi di kelas. Ngerti?"

"Yaaa, Bu..." suara koor dari teman-teman sekelasku.

Aku pun meminta maaf pada Bu Ribka, disusul June kemudian.

"Bu, maafkan kami. Kami janji tak akan mengulangi lagi."

"Ya! Saya maafkan. Kembali ke tempat duduk kalian."

Sekembalinya kami di tempat duduk, Arya seketika mendorong perlahan bahu June.

"Ish, gara-gara kamu nih.."

Kami berempat tertawa kecil. Aku merasa sudah tak ada lagi rasa marah atau kesal diantara kami. Momen aku dan June dihukum berdiri di depan kelas, justru dapat mencairkan suasana kelas yang berhari-hari bagaikan rumah hantu.

***

HARI BERIKUTNYA

Langkahku memasuki gerbang sekolah terasa ringan. Kepercayaan diriku kembali tumbuh seiring dengan sapaan beberapa temanku dan derai tawa dari kami berempat di sudut kelas. Aku berpikir bahwa seharusnya aku tak membatasi circle pertemananku. Oleh karena itu, di permainan kartu domino hari ini, aku mengajak Danisa dan Helen untuk ikut serta. Mereka berdua gadis cantik yang pendiam, dan duduk berada di depan bangku ku dan June.

Helen merupakan mantan pacar Arya. Tempat duduk mereka di 3 IPS 1 begitu dekat, hanya terpisahkan mejaku dan June. Sebelum ajakanku, baik Helen maupun Danisa merasa canggung untuk bergaul dengan kami berempat.

Kini aku memiliki teman baru, circle pertemananku bertambah. Kami berjumlah enam orang.

Tak ada yang menanyakan perihal hubunganku dengan Mas Doni. Semua seolah berniat melupakan peristiwa lampau itu, salah satunya dengan tidak membahas apapun tentang Mas Doni. Aku menghargai hal tersebut, karena memang tak ada lagi yang perlu ku sampaikan tentang Mas Doni pada teman-temanku. Aku pun tak mengetahui dimana keberadaan Mas Doni sekarang, apakah dia sudah kembali ke Bandung atau stay di Amerta.

Menjalani hari baru dengan teman-teman baru, membuatku lebih bersemangat. Aku datang lebih awal dari yang biasanya aku paling doyan terlambat. Kami mendengar cerita baru dari Danisa dan Helen, dan lebih mudah mengenal satu sama lain.

***

Tibalah kami dimana hari ini aku berulang tahun. 09 September 2005, tepat usiaku 17 tahun. Tak ada perayaan apapun, teman-temanku juga sepertinya tak mengingat bahwa hari ini aku berulang tahun. Aku melangkah dengan santai menuju lantai dua.

Memasuki kelas, aku dikejutkan dengan teriakan mereka berlima yang lebih dahulu datang. Mereka bersorak dan menginjak-injak sepatuku. Hari itu bertepatan dengan jam olahraga di pagi hari.

"Yeee.. happy sweet seventeen, Mikaa..."

June dan Danisa menyeretku ke bawah, sedangkan Helen, Arya dan Hadi mengikuti dari belakang. Hari itu aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku dilempari tepung dan telur tepat di tengah lapangan basket. Seragamku menjadi kotor, begitu pula rambutku. Meski dirayakan secara sederhana, namun aku merasa begitu bahagia dapat tertawa bersama teman-temanku. Tak kuhiraukan seragam dan bagian tubuhku yang kotor.

Trriiinggg.. Pukul 9 pagi, jam pelajaran pertama dimulai.

Aku berlari menuju toilet disusul June yang membawakan seragam gantiku. Kami terus saja tertawa terbahak-bahak sepanjang jalan menuju toilet.

"Mik.. makan-makan yuuukk... kamu kan ultah.."

"Hadee.. bokek gini!"

"Ayam goreng ajalah.. gak seru ah, Mik!"

"Ya udah.. Ya udah.. tapi berenam aja ya. Habis ntar duitku, haha.."

June meminta jatah traktiran ulang tahun pada Mika. Beruntung Mika mengiyakan, dan sepulang sekolah siang nanti, mereka berenam akan makan di cafe ayam goreng dekat terminal Kota Amerta.

***

DI CAFE

"Mas, paket komplit, 6 porsi ya!"

June memberikan catatan pesanan pada pelayan cafe. Siang itu tak banyak pengunjung yang hadir. Hanya ada rombonganku dan teman-teman, lalu sepasang suami istri di sudut dekat pintu, dan ada 2 orang laki-laki berseragam dinas di sudut seberangnya.

Kami berenam berada di meja panjang yang berdekatan dengan bilik kasir, dan aku duduk membelakangi pintu masuk cafe. Di sebelah kananku duduk adalah Helen, dan di sebelah kiriku adalah Danisa. Sedangkan berada di depanku adalah June, diapit Arya dan Hadi.

"Gak perlu buru-buru.. duit Mika masih banyak.. haha.." June menggodaku.

"Iyaa, pesen lagi aja kalo masih laper.." lanjut Hadi menimpali pernyataan June.

Kami semua tertawa lepas. Tak ada ingatan buruk apapun. Kami saling bertanya, akan melanjutkan studi kemana setelah lulus dari Smasa nanti.

Disela perbincangan kami, pintu cafe terbuka dari arah luar. Lima orang laki-laki berjalan masuk ke dalam dan salah satu diantaranya tengah melontarkan candaan. Arya menoleh ke arah Hadi lalu terdiam. Aku menangkap bahwa ada sesuatu yang menyebabkan Arya seketika menjadi diam.

Merasa ada seseorang yang berjalan di belakangku, aku pun menoleh. Helen, Danisa, June sibuk mengaduk sup-nya tak memperhatikan siapa pengunjung yang baru saja masuk ke dalam cafe. Setelah menoleh memperhatikan mereka yang baru datang, aku berbalik menatap Arya.

"Aku gak janjian.." ucapku pelan pada Arya dengan nada keheranan.

Arya mengangguk perlahan, dan memberi tanda bahwa dia hendak meninggalkan cafe terlebih dahulu. Arya menyenggol lengan June dan berbisik, "Aku balik duluan."

Arya berdiri, disusul Hadi lalu segera berjalan keluar menuju tempat parkir motor. Disaat yang sama, pengunjung yang baru datang itu membawa nampan berisi makanan mereka menuju meja di sudut yang letaknya berjauhan dengan kami. Beruntung, terdapat beberapa pilar penyangga bangunan yang besar berdiri di tengah ruangan, diantara barisan meja dan kursi cafe. Pandangan mereka pun terhalang pilar-pilar tersebut sehingga tak dapat melihat keberadaan kami yang kini tinggal berempat.

"Kenapa Arya dan Hadi pulang duluan?" tanya Danisa.

"Sst.. ada siapa, coba tengok ke arah sana." jawab June dengan nada setengah berbisik.

Helen hanya menelan ludah. "Ya udah, untungnya udah langsung cabut.. hehe.."

"Bodo amat ajalah, ladies. Gak perlu diperhatiin juga," ucapku pada mereka.

"Lho, Mik. Emang kenapa?" tanya Danisa padaku.

"Mik? Putus kalian?" Helen menatapku lekat-lekat.

"Haha.. iya.. udah kapan hari itu, tau.."

Aku menjawab pertanyaan Helen dengan tertawa agar teman-temanku merasa tak ada yang perlu didramatisir dari hubunganku dan Mas Doni.

Sejenak aku menoleh padanya. Mas Doni dan keempat temannya dari genk Roxette tengah menyantap ayam goreng. Kami berada di tempat yang sama, namun dia tak menyadari kehadiranku. Aku pun tak ada niatan menyapanya karena itu sama halnya merendahkan harga diriku. Di sisi lain, Arya sudah memaafkan namun Arya justru memiliki ketakutan tersendiri ketika berjumpa dengan Mas Doni. Aku jelas membela Arya, itu sebabnya selama Mas Doni belum meminta maaf pada Arya, aku pun tak akan memperdulikannya.

Satu persatu dari kami berempat berjalan keluar cafe tanpa menoleh pada meja tempat duduk Mas Doni dan teman-temannya. Aku pun diam. Pandanganku lurus ke depan, berharap segera tiba di parkiran motor. Namun jarak beberapa meter itu terasa begitu panjang. Seorang dari mereka mengenali dan menyapaku, "Heii, Mika!"

Aku tak bergeming. Seolah tak mendengar jika namaku dipanggil, aku teruskan berjalan.

***