Begitu ringan langkah Doni menuntun motornya memasuki halaman sekolah. Padahal seharusnya motornya kali ini begitu berat. Honda Megapro keluaran terbaru kini menjadi tunggangannya. Helm fullface dengan warna black dof menambah kedewasaan Doni.
"Pagi, sayang.."
Doni menyapa Mika terlebih dahulu. Dia sengaja berangkat lebih awal dan menunggu Mika di tangga bawah sebelum Mika naik menuju kelasnya. Seperti biasa, seragamnya tetap saja tidak dirapikan.
***
"Hai Mas.."
Aku menjawab sapaan Mas Doni dengan rasa malas. Sebenarnya aku ingin marah. Sebenarnya aku kesal padanya. Tapi aku khawatir, emosiku masih terlalu dini, seperti kejadian yang lalu.
"Kenapa seharian kemarin Mas gak balas pesan Mika?" tanyaku.
"Gak ada pulsa, sayang. Maaf ya."
Mas Doni mencubit pipiku dan memegang sedikit rambutku. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kayak... udah panjang aja rambutnya. Tumben gak diiket?"
Aku hanya diam. Dalam hatiku bergejolak rasa antara malas menanggapi Mas Doni atau bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.
"Aku cuma bawa karet rambut satu aja. Ini buat Mas."
Aku menyodorkan karet rambut, yang kebetulan hari itu berwarna hitam, ke arah tangan Mas Doni memegang rambutku.
"Kamu ikat sendiri. Aku mau naik."
Aku sedang tak ingin berdebat apapun dengan Mas Doni. Ku tinggalkan Mas Doni dengan wajah lesu. Dia pasti menangkap makna gesture tubuhku. Namun bagiku, itu semua tak ada gunanya.
***
Jam istirahat, aku masih terduduk di bangku ku. Teman-teman sekelasku berhamburan keluar. Hilang senyum dan semangatku, aku seperti mati rasa. Ketika June menawarkan roti isi pun, aku menolaknya.
Kepalaku terasa begitu berat. Kusandarkan kepala di meja beralaskan tangan kiriku. Ku tatap tembok yang kini di hadapanku terdapat tulisan 'Mika & Doni'. Aku menulisnya dua hari setelah kami berciuman sepulang sekolah. Berulang kali ku hela napas panjang. Aku menikmati kesendirianku, dan kupejamkan mata sebentar.
"Sayang.. aku minta maaf.."
Tak ku sangka, Mas Doni telah duduk berada di sebelahku, menempati kursi June. Diciumnya rambutku, lalu disandarkan kepalanya pada kepalaku. Air mataku menetes tanpa dia tahu. Kami saling diam. Aku membelakanginya namun tetap dapat ku cium aroma parfumnya.
Jujur, sebenarnya inginku berlama-lama dalam momen seperti itu. Namun ada hal yang harus kami selesaikan. Aku seka airmataku, lalu ku beranikan menoleh menatap mata Mas Doni. Beberapa temanku menyaksikan, kami tengah berada pada tepian tebing yang curam.
Tangan Mas Doni turut menyeka sedikit airmataku yang tersisa. Tak ada yang mampu memulai pembicaraan. Aku merindukannya, tapi kini pertemuan kami menjadi ironi.
"Mas.. aku.." kalimatku belum selesai, dan Mas Doni menyela.
"Maaf sudah membuat Mika marah." Meski sebenarnya ini adalah rencana yang diharapkan Mas Doni, namun mustahil jika dia memelukku di hadapan siswa lain, teman sekelasku.
"Enggak, Mika gak marah.."
"Lantas? Kenapa Mika mendiamkan Mas?"
"Mika capek. Mika ga tau harus bilang apa.."
Doni menangkap maksud Mika. Ada hal lain yang disalahartikan oleh Mika. Bukan karena Doni tidak membalas pesannya, melainkan ada hal lain yang lebih menyiksa pikirannya.
"Udah, Mas Don, kita selesai disini aja. Mika gak mau jadi penghalang antara Mas dengan Vivi.."
Doni menghela napas panjang. Tak diperdulikannnya teman sekelas Mika yang berlalu lalang di sekitar mereka. Diraihnya kedua tangan Mika lalu diciumnya berkali-kali. Berharap kesalahpahaman itu mampu mendapat ampunan Mika sesegera mungkin.
"Aku gak sayang sama Vivi. Aku cuma sayang kamu, Mik."
"Mika lagi gak pengen bahas itu. Mas pergi aja sekarang. Please."
Aku sebenarnya khawatir jika teman-temanku mendengar percakapan kami, lalu menyebar rumor yang tidak jelas di seantero sekolah. Imej Mas Doni tak pernah ada baiknya di mata siswa Smasa Amerta. Dan aku tak ingin semakin menjatuhkannya karena aku terlanjur menyayanginya.
Mas Doni berdiri dari tempat duduk June. Selain karena si empunya kursi telah memasuki kelas namun terpaksa berbalik badan dan memilih menunggu Mas Doni di luar kelas, Mas Doni merasa akan sia-sia jika berdebat denganku saat itu.
Diambilnya dompet coklat tua dari saku celananya. Kemudian dibukanya dan ditariknya selembar foto berukuran sekitar 6 senti, sesuai dengan kolom tempat foto di dompet Mas Doni. Pikiranku menebak-nebak, foto siapakah itu.
Sesuatu terjatuh dari dompet Mas Doni tanpa ia sadari. Akupun tak ada niatan untuk mengingatkan jika ada miliknya yang terjatuh. Aku menunggu, akan diapakan foto itu oleh Mas Doni.
Diletakannya foto itu perlahan di meja ku dengan posisi terbalik. Mata Mas Doni tak lepas menatapku terus menerus. Ikatan rambutnya berantakan, karena memang aku yang biasa merapikannya.
"Kalo Mika udahan marahnya, tolong foto itu balikin ke aku, ya sayang. Itu punyaku. Jadi tolong marahnya jangan lama-lama supaya foto itu bisa segera balik."
Mas Doni berjalan keluar kelas dengan mengantongi kembali dompetnya. June seketika meringsek masuk dan menjejali ku dengan beberapa pertanyaan.
"Ribut lagi? Gara-gara apa lagi? Hobi kok berantem sih kalian ini.."
Aku hanya tersenyum singkat. Tak ingin menanggapi June. Belum ingin bercerita apapun dengannya.
June melirik pada benda asing di mejaku. Tatapan matanya penuh rasa ingin tahu. Dalam hatinya seolah berkata, "Bukaa, Mik! Aku kepo!" Seketika aku teringat akan foto yang diletakkan Mas Doni baru saja. Dengan ragu dan perlahan, aku membalikkan foto tersebut.
Ternyata foto itu adalah..
Fotoku dan Mas Doni, yang tengah duduk berdua di bangku panjang dan aku ingat, aku menertawakan tingkah Dior saat itu. Foto itu diambil secara candid oleh Gading menggunakan ponsel Mas Doni. Aku menyadari foto itu saat membuka menu Photos bersama dengan Mas Doni sehari sebelum keberangkatannya ke Bandung.
Hatiku berbunga-bunga. Mas Doni mencetak dan menyimpan foto kami berdua di dompetnya. Tapi, sebentar saja aku bersorak kegirangan dalam hati, aku teringat kembali bahwa urusan tentang Vivi belum selesai.
"Mikaaa.. aduh.. injek apaan aku ini!" pekik June dengan memperhatikan sepatu berpitanya.
"Ha? Coba aku liat!"
Sedikit aku merunduk memeriksa apa yang diinjak oleh June. Sesuatu yang kecil, licin, dan berdecit.
"KTP! June, ini.. KTP Mas Doni terjatuh!"
***