Bel berdering panjang menandakan waktu ujian semester telah berakhir. Aku hanya melirik pada June karena lebih dari 10 soal belum sempat ku kerjakan. Sedangkan June, terus saja menulis begitu banyak kata yang kulihat pada lembar jawaban ujiannya. Entah June menyadari atau tidak, bahwa aku membutuhkan contekan. Segera!
Mr. Jeki sebagai pengawas ujian tiba-tiba berdiri, dengan kacamatanya yang berada di ujung hidung, memandangi kami satu persatu.
"Kalo gak ada yang ngumpulkan, satu kelas ini.. saya nyatakan tidak dapat naik ke kelas tiga!"
"Jangaaann pakkk.. tolong pak!"
"5 menit lagi pak, kami mohon paakk!"
Sahut menyahut suara teman-temanku saat itu memohon perpanjangan waktu untuk mengerjakan ujian. Aku hanya pasrah. Teman-teman terus berteriak, mungkin maksud mereka agar dapat memberikan waktu bagi yang lain. Tentu saja aku tak melewatkan kesempatan itu. Secepat kilat ku tarik lembar jawaban June agar dapat aku baca tiap kata dan segera ku salin dalam lembar jawabanku.
Tersisa 2 soal, aku biarkan kosong tanpa jawaban karena Mr. Jeki mulai berjalan perlahan meninggalkan kelas dan seolah tak peduli dengan siswanya yang gaduh. Aku susul Mr. Jeki yang saat itu tepat telah berada di pintu. "Paakk, maaf.. terima pak, saya mohon pak.." ujarku memelas dengan menyodorkan lembar jawaban milikku. Aku yang paling akhir mengumpulkan.
"Hm. Mika.. Saya akan ingat kamu di kelas tiga nanti!" Mr. Jeki menatapku dengan seksama. Bernada sedikit mengancam, lalu membenahi letak kacamata. Aku hanya mengangguk, tapi dalam hatiku aku merasa bukan sesuatu hal yang perlu dirisaukan.
Setelah itu, ku kemasi alat tulis dan ku masukkan kembali ke dalam tas. Kemarin papa membelikanku tas canvas berwarna coklat muda. Berukuran tidak terlalu besar, hanya ada dua bagian, yakni bagian dalam untuk buku tulis, dan bagian luar untuk pernak-pernak kecil keperluan sekolah. Tak lupa gantungan kunci strawberry pemberian Mas Doni, aku pasang pada pengait resletingnya. Dengannya, aku serasa ditemani pacarku setiap hari, meski Mas Doni kini telah berada di Bandung. Sekitar dua bulan lebih awal sebelum masuk kuliah.
"Ditaa.. aku dapet bocoran poster limited edition band Tou-Tou loh. Kamu mau pinjam majalahku gak?" Aku menyapa Dita.
Temanku yang baik hati, anak orang kaya, murah hati, suka memberi, dan tidak sombong. Dia sering mengendarai mobil pribadinya untuk berangkat ke sekolah. Baik sepatu ataupun tasnya, selalu barang impor, yang katanya dari Singapura. Namun Dita tak pernah dirinya sebagai toko berjalan. Dia selalu ramah dan baik pada semua teman. Dita mampu masuk dalam level pertemanan manapun.
"Haa.. seriuuss.. mau dong mauu..." jawab Dita dengan raut kegirangan.
"Nanti pulang sekolah, habis ganti seragam, aku bawa ke rumahmu ya," Aku tengah bermuka manis di hadapannya, karena ada maksud terselubung.
"Seriuuss? Atau.. aku aja yang ke rumahmu?" sahut Dita.
"Enggak.. aku aja.. gak papa kok."
"OK. Aku tunggu ya, aku siapin rujak buah ya buat nanti."
Yes! Satu langkah berjalan lancar, batinku.
***
DI RUMAH DITA
"Di...taa..." Aku memanggilnya dari balik pagar. Motor ku parkir di tepi jalan raya.
Tak lama Dita keluar dengan tergesa membukakan pintu pagar untukku. Cantik sekali, dengan kaos bunga-bunga berwarna hitam corak pink-nya. "Masuk, Mika, panas ya di luar, hehe."
Di ruang tamu Dita, sudah disiapkan sepiring rujak buah dengan bumbu kacang di sampingnya. Aku mengeluarkan majalah yang ku janjikan untuk Dita. "Dit.. nih buat kamu."
"Whaa.. mana.. mana... aku mau lihat," secepat kilat majalah itu sudah berada di tangan Dita. Matanya sibuk membaca lembar demi lembar. Dibelainya lembar yang bergambar penyanyi favoritnya. "Kok kamu bisa dapet majalah ini, sih. Ini kan belum resmi rilis di Indo, Mik.."
"Ya, kakakku yang dapet. Dia sekarang kerja sampingan sebagai editor majalah itu. Tiap 2 minggu majalah itu rilis, Mbak Nia selalu bawa pulang buat aku. Katanya biar aku pinter bahasa inggris, haha.." Mulutku sibuk mengunyah buah pepaya dengan terus mengamati Dita yang sibuk dengan majalahku.
Dita hanya mengangguk. Bahkan dia tak peduli ketika rujak buahnya tersisa sedikit di piring.
"Laahh.. Dita.. kok habiiss nih rujaknya, aduh gak enak aku.." ujarku pada Dita dengan rasa bersalah.
"Habisin aja, Mik. Mbok Yam bikin rujak banyak kok. Apa mau ku ambilkan lagi?" Dita menjawab tanpa melihatku sama sekali.
"Mm.. gak usah Dit.. ngrepotin hehe.."
"Hm, ya udah.." Dita tak memperdulikanku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Berbicara dengannya pun tak disahuti dengan semestinya. Dita sibuk dengan majalah yang ku bawa, kebetulan edisi khusus Band Tou-Tou, jadi semua tentang Band tersebut dibahas dalam beberapa rubrik, lengkap dengan foto personil dan agenda tour mereka.
"Dit.. Ditaa..!" Aku memanggilnya, hendak menyampaikan maksudku yang sebenarnya. Kami duduk berhadapan terpisahkan meja panjang.
Dita mengangkat kepalanya. Menoleh padaku.
"Dit, akuuu.. boleh pinjam HP mu gak?" Penuh ragu dan kehati-hatian, aku menyampaikan maksudku.
"Ha..? HP? Iya, boleh. Ambil aja itu di meja, kan."
"Tapi, Dit.. maksudku.. aku boleh bawa pulang? Aku pinjam 2-3 hari, gitu?" Ku pasang wajah memelas.
"Ooh.. haha.. yaaa Mika. HP mu kenapa emang?"
"HP ku putus kabel fleksibelnya. Aku bawa ke service, dan katanya butuh waktu seminggu untuk dapat diselesaikan."
"Ooh, begitu. Aku ada HP satu lagi, pake yang itu aja ya. Tapi yaa, gak ada kameranya."
Aku mengangguk dengan hati senang. Dita beranjak dari kursi dan meletakkan sejenak majalah dengan posisi terbuka. Menuju ke kamar, dia ambil HP dan charger untuk ku.
"Bawa aja dulu." Ucapnya lalu duduk dan membaca majalah kembali.
Dalam hati, aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Sekarang aku harus segera pulang. Mas Doni semalam meneleponku melalui telepon rumah, dan berjanji akan menghubungi kembali pukul 4 sore ini ketika dia sudah menyelesaikan persiapan ospeknya. Aku berinisiatif meminjam ponsel Dita, karena aku ingin pembicaraanku dengan Mas Doni bisa lebih private jika menggunakan ponsel dan berbincang di kamar. Tak di dengar Mama atau Papa, dan tak diganggu Leo.
"Ditaa.. aku pamit pulang ya."
"Loh, udah mau balik. Bentaran lagi lah, Mik.."
"Hehe.. makasih HP-nya. Oiya itu majalah kamu ambil aja, buat kamu."
"Sumpah? Ya ampun baik bangeett kamu. Makasiii ya, Mik!"
Dita memelukku erat. Senang sekali hatinya. Aku sendiri tak peduli dengan majalah itu, toh, aku bisa mendapatkannya kapanpun dari Mbak Nia, batinku.
***
Ku pasangkan simcard pada ponsel Dita. Lalu ku nyalakan segera. Mesti tak memiliki kamera, namun performa ponsel Dita lebih baik dari milikku. Siemens dengan layar biru dan lampu putih. Teknologinya lebih canggih, kataku dalam hati.
Dengan mudah aku menguasai tata letak keypad dan tombol menu yang berbeda dengan ponselku. Mulanya sedikit canggung, namun tak butuh waktu lama bagiku untuk mempelajarinya.
Beberapa pesan dari Mas Doni yang belum sempat ku buka, juga pesan dari June. Tak lupa ku isi daya batere agar dapat terisi penuh nanti sore.
Sembari menunggu, kabel charge terkait dengan ponsel Dita, aku membuka beberapa pesan masuk yang belum sempat ku baca. Ku rebahkan badanku, dengan kabel panjang terulur. Rentetan pesan rindu dari Mas Doni. Hingga akhirnya aku tertidur sejenak.
***
Malam tiba. Ponsel Dita tak ada suara apapun, dering atau getar. Sungguh aku menunggu panggilan masuk dari Mas Doni namun hingga pukul 8 malam, tak ada tanda. Aku akhirnya mengirim pesan singkat padanya.
SAYANG, JADI TELPON MIKA, KAH?
MIKA TUNGGU YA
-Message Sent-
Memang kesalahanku tidak memberinya kabar bahwa kini aku meminjam ponsel Dita sementara waktu. Mungkin Mas Doni khawatir aku marah jika terus menerus telepon ke nomer rumah.
Hingga larut, tak ada balasan, pun tak ada telepon. Hatiku mulai cemas dan berprasangka. Tak biasanya Mas Doni abai. Sesibuk apapun, dia selalu berkirim pesan untukku. Aku mengharuskan itu, agar tidak ada miss comunnication antara kita.
Kita memang pemeran baru dalam kisah cinta yang harus berjarak jauh. Sepemahamanku, jika tidak ingin ada konflik, maka kita harus tetap saling berkomunikasi meski itu sebentar atau singkat saja. Mas Doni setuju akan hal tersebut. Lagipula dia tidak mungkin tidak punya pulsa.
Aku menyibukkan diriku dengan membaca ulang buku-buku pelajaran kelas dua ku. Beberapa bulan lagi, semua itu akan kumasukkan dalam kardus dan akan berakhir pada gudang buku bekas. Jelang dua bulan kenaikan kelas dan libur panjang akhir tahun ajaran, tak ada sesuatu yang dapat ku lakukan.
Entah dengan para sahabatku. Selama liburan, bisa dipastikan mereka akan berada di rumah kakek neneknya di luar kota. Setidaknya itu rencana mereka yang sempat mereka sampaikan. Itu artinya hanya tersisa aku sendiri di Amerta yang tidak kemana-mana karena kediaman kakek nenekku berada tepat di sebelah kanan rumahku. Pun karena papa kerja, rasanya tidak mungkin bisa mengantarku ke rumah tanteku di luar kota.
Jika dihitung, maka aku berada dalam masa di rumah saja selama dua bulan. Selama itu aku akan lebih banyak ribut dan berebut makanan atau remote TV dengan Leo. Menghabiskan waktu mendengarkan musik hardcore di kamar seharian, bermain game di ponsel, atau terpaksa membaca majalah edukasi yang selalu dibawa Mbak Nia.
Andaikan Mas Doni berada di Amerta selama liburan, pastilah ada yang mengajakku berkeliling kota, menemaniku makan siang, berkendara menyusuri pantai meski sekedar melihat perahu nelayan dan tak berbuat apa-apa dari atas motor. Setidaknya aku tidak melulu berada di rumah, anganku.
***
Hari terakhir ujian, jadwal menyisakan pelajaran Tata Negara dan Sejarah. Tidak terlalu sukar dikerjakan karena ujian terakhir ini bersifat open book. Kita diperbolehkan mengisi soal ujian dengan melihat catatan yang kita buat dari apa yang dijelaskan oleh guru sebelumnya.
Empat jam berlalu tanpa halangan berarti. Sekali lagi sepulang sekolah ku hampiri Dita.
"Dit, HP mu ku pinjam dulu gak papa, kan?"
"Gak papa kok Mik, itu juga gak kepake. Bawa aja dulu."
"Iya Dit, kemarin cowokku gak jadi telepon. Mungkin dia sibuk. Aku mau tunggu nanti sore.. siapa tau dia udah luang."
"Ah.. iya.. santai aja."
Ku lemparkan senyum pada Dita. Dia berjalan mendahuluiku menuju parkiran. Kemudian Al menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku.
"Heh! Ntar kesambet! Diem kok di tengah jalan!" serunya dengan keras tepat di telingaku.
"Astaga, setan banget ya kamu! Ngagetin!" jawabku kesal.
"Ayo, nebeng gak? Mumpung aku baik hati nih.."
"Huh! Gila! Ya udah nebeng deh."
"Haha.. tapiii... Doni gak marah kan..."
Al menggodaku. Tentu saja aku yakin, Mas Doni tidak akan marah atau jealous pada Al dan Yohan. Mereka sudah kuanggap saudara laki-laki bagiku. Baik Al ataupun Yohan masing-masing juga memiliki pacar, teman satu angkatan kami. Diantara kami semua saling mengenal dengan baik.
"Gimana kabar Doni, Mik?" tanya Al dari balik kemudinya.
"Hg.. entah.. dua hari tak ada kabar," jawabku.
"Ooh gak punya pulsa kali..."
"Haha, mana mungkin.. Bapaknya itu bos pulsa!"
"Maksud kamu, kerja di konter pulsa? Jualan pulsa? Gitu?"
"Gila. Yang bener aja. Mana ada anak Roxette yang kere.. Haha.."
"Haha... terus apaan dong kerjaan Bapaknya Doni?"
"Manager di kantor provider, bro.. Masak gitu aja ndak paham!"
"Wheee.. Iyaa.. Bos pulsa beneran itu mah!"
"Biasanya juga kalo nelpon itu sejam dua jam. Gak ada tuh dia pusing mikirin pulsa."
"Lah, terus.. kamu sendiri gak hubungin dia duluan?"
"Ya kali, udah habis pulsa berapa aku. SMS dia. Missed call-in dia.. Gak ada balasan. Mana aku lagi pinjam HP Dita pula."
"HP mu napa emang? Kamu jual? Haha.."
"Ck! Rusak! Itu sparepart-nya masih inden lama."
"Ooh.. sabar dulu aja, mungkin dia sibuk, Mik."
***
Iya. Mungkin mahasiswa baruku sedang sibuk.
***