Aku bangun pagi, dan seketika merogoh ke bawah bantal. Terkejut aku, karena tak kutemukan ponsel yang ku cari. Aku terduduk dan membuka selimutku, ku bolak-balikkan bantalku sekali lagi.
"Loh, mana? Perasaan semalam.. "
Mataku terus memeriksa seisi kamar. Tak nampak ponsel di atas meja belajarku. Masih terlalu gelap bagi Leo untuk mengambil ponsel itu dariku, dia pasti masih tidur pulas diapit Mama Papa.
Tiba-tiba pandanganku berhenti pada tumpukan buku tulis pelajaran kelas dua milikku. Simcard yang berukuran kecil, tipis, berwarna merah, tergeletak di atasnya.
"Pasti Mbak Nia tau, kalo aku mengambil HP-nya semalam. Trus saat aku tidur, HP-nya diambil tanpa aku sadar." Aku berbicara pada diriku sendiri dengan terus memegang simcard yang terlepas dari ponselnya.
Aku khawatir Mbak Nia marah karena tanpa ijin mengambil HP-nya. Tapi saat itu Mbak Nia telah tidur karena sakit perut. Aku pun terpaksa membuka pintu kamarnya dan langsung mengambil ponselnya karena takut mengganggu istirahatnya.
Ku buka perlahan pintu kamarku agar tak menimbulkan suara. Berjalan dengan sedikit mengangkat kaki, menuju kamar Mbak Nia yang terbuka sedikit pintunya. Ku dapati Mbak Nia sedang melaksanakan sholat subuh. Dia tak tahu bahwa aku berada di pintu kamarnya.
Hitungan menit, Mbak Nia mengakhiri ibadanya. Lalu menoleh padaku dan melambaikan tangannya, menyuruhku masuk mendekatinya.
"Mika ngapain disitu?"
Dari nadanya, sepertinya Mbak Nia tidak marah padaku.
"Mbak, Mika mau pinjam HP mbak.. Semalam.. Mika langsung ambil trus itu.."
"Iya, Mbak Nia ambil balik. Mbak pikir, Mika udah tidur, jadi udahan main HP-nya."
"Maaf ya mbak, Mika gak bilang sebelumnya."
"Its OK. Mbak Nia juga minta maaf. Mbak baca ada pesan masuk buat kamu. Gak sengaja. Gak papa yaa.. hehe.."
"Pesan? Pesan apa mbk? Gimana?"
Aku gugup.
"Mika tuh, sama Doni.. pacaran?" tanya Mbak Nia menyela pertanyaanku.
Kaki ku lemas. Aku takut Mbak Nia mengadu pada Papa. Mbak Nia menyuruhku duduk di sebelahnya, dengan dia masih mengenakan mukena.
"Mbak gak akan bilang ke Papa, asalkan Mika jujur. Bener, pacaran? Doni dimana sekarang?" Mbak Nia mengulangi pertanyaannya dan menatapku lekat.
Aku mengangguk. Aku merasa kali ini, aku harus berkata jujur pada Mbak Nia. Sekali ini aku ingin memiliki seorang yang dapat selalu mendengar ceritaku tentang Mas Doni. Mbak Nia mungkin orang yang tepat. Karena selain sebagai kakak tertua, Mbak Nia memang tak suka mengobral pembicaraan dengan Mama Papa. Mbak Nia tipe orang yang dapat dipercaya, dia berprinsip bahwa kepercayaan itu yang utama.
"Jadi Mas Doni, sekarang kuliah, Mbak. Di..."
Ternyata aku masih terlalu ragu untuk mempercayai Mbak Nia sepenuhnya. Namun sisi hatiku berkata untuk meneruskan pengakuanku. Siapa tahu, Mbak Nia dapat membantu problem LDR kami saat ini, batinku.
"Di Bandung, mbak." Jawabku singkat.
"Kapan terakhir ketemu?"
"Sebulan lalu, kayaknya. Trus HP Mika rusak, dia susah ngehubungin Mika."
"Kenapa gak telpon ke nomer rumah aja?"
"Mika yang takut kalo ketauan Papa trus Papa marahin Mika. Trus nyuruh putus.."
Mbak Nia terdiam. Dia tak tahu harus menunjukkan ekspresi apa di hadapanku.
"Sayang beneran, sama Doni?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
"Percaya sama Doni?"
Sekali lagi aku mengangguk.
"Kangen sama Doni?"
"Sangaaattt, mbaakkk... !"
Air mataku mengalir begitu saja, lalu Mbak Nia memelukku. Dibelainya dengan lembut helai per helai rambutku. Sesekali Mbak Nia mengecup keningku, lalu disandarkan kepalaku di dadanya.
"Mika.. udahan dulu nangisnya.."
Aku menyeka airmataku. Mukena Mbak Nia nampak basah. Mbak Nia pun turut menyeka sisa airmata yang masih tak dapat ku tahan. Dadaku yang semula berat, kini berangsur lega.
"Jangan nangis lagi, nanti matanya bengkak. Kalo matanya bengkak, cantiknya ilang.. Doni gak suka loh."
"Mana tau dia, kalo aku kangen sampe nangis gini, hufff.."
Aku menggerutu, melampiaskan kekesalanku pada Mas Doni yang menghilang tanpa kabar.
"Tau! Doni tau kok. Dia juga kangeeenn sama Mika."
"Mbak Nia baca pesan apa emang?"
"Pesan dari Doni. Hehe.."
"Ha! Apa. Dia bilang apa, Mbak?"
"Dia mau segera ketemu pacarnya yang lagi kangen beraatt.. Haha.."
"Serriuus? Mas Doni bilang dia mau pulang? Kapan pulang dia?"
"Hari ini! Haha... Udah buruan ke kamar mandi, sholat dulu. Trs beberes badan. Doni gak bilang, kesini jam berapa. Jadi kamu siap-siap aja yah.."
Mulutku terbuka lebar, karena terkejut. Sungguh aku begitu bahagia mendengarnya. Akhirnya aku akan bertemu Mas Doni hari ini.
***
Tok.. Tok.. Tok..
Pukul 9 pagi, dan pintu masih terbuka lebar. Aku lupa menutupnya selepas lari pagi tadi dengan Erika. Mbak Nia menoleh padaku dan memberi tanda melalui lirikan matanya, agar aku yang memeriksa ke depan.
Segera aku beranjak dan ku dapati seseorang berdiri menyandar pada kayu pintu rumahku. Dia mengenakan kaos berwarna coklat bertuliskan angka 1973 tertera di bagian dada dan jaket kulit berwarna hitam. Rambutnya dipotong pendek, namun kumis dan jambangnya masih tersisa tipis.
Dia berdiri membelakangi ku, sehingga tak menyadari bahwa aku berada tepat di belakangnya. Tak perlu ku lontarkan kata apapun. Aku tahu siapa dia. Tanpa membuang waktu, segera ku peluk dia dari belakang. Aku yakin, dia pasti terkejut, karena seketika dia membalikkan badannya lalu justru kini aku yang dipeluknya.
"Sayang.. Mika kangen.."
Begitu damai rasanya berada dalam dekapan seorang Mas Doni yang telah lama ku nantikan kehadirannya. Mas Doni hanya diam. Namun pelukannya terasa kian kuat, erat, dan hangat.
"Kok, Sayangku, bau.. keringetan.. habis ngapain?" tanya Mas Doni tiba-tiba sembari perlahan melepaskan pelukannya.
"Haha.. Mika belum mandi memang.. haha.." Aku tertawa dengan bodohnya. Tak sedikitpun aku harus merasa malu di hadapan Mas Doni.
"Tetep cantik, sayangnya Mas.." Mas Doni menyentil ujung hidungku dan mengacak-acak rambutku.
"Eh, ayo masuk, Mas. Mika mau mandi dulu ya."
Aku membalikkan badan hendak berjalan masuk. Namun tak ku duga, tanganku ditarik oleh Mas Doni yang menyebabkan badanku seketika berbalik kembali dan terdorong maju ke arahnya. Sebuah ciuman. Hanya sebentar Mas Doni menyesap bibirku, lalu dilepasnya.
"Mandi! Kita jalan-jalan abis nih, ya." bisik Mas Doni.
Sorot matanya yang teduh, senyumnya yang manis dengan deretan gigi putih yang rapi, penampilannya yang dewasa, postur tubuhnya yang tinggi besar dan tegap, dan satu lagi, aroma parfum yang bercampur dengan sedikit bau tubuhnya. Sungguh perpaduan yang sempurna yang ada pada diri Mas Doni, dan Mika beruntung memilikinya.
***
"Sayang.. maaf aku gak ngabarin kamu kemarin-kemarin."
"Ah.. iya.. I'm worried bout you.."
Kami berdua duduk di tepian dermaga di Pelabuhan Amerta. Menyaksikan kapal nelayan yang berlabuh, terombang-ambing karena riak ombak laut. Kaki ku menggantung di atas dermaga dan ku ayunkan sesekali. Sedangkan Mas Doni melipat kakinya. Gelang yang sama dengan milikku, tak nampak dia kenakan.
Ku pegang tangannya, "Mas, mana gelangmu?"
"Aku lepas, ada di kamar kosan. Sorry. Karena kalo ospek dilarang memakai atribut apapun selain yang telah ditentukan kampus."
"Oh. I see.. aku pacaran dengan mahasiswa, sekarang."
Kami larut dalam pemikiran masing-masing. Inginku menanyakan hal ikhwal kenapa dia tidak berkabar denganku, kenapa pesanku tak pernah dia balas, kenapa sekarang mendadak dia datang. Banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan, namun aku tak ingin merusak momen pertemuan kami saat ini. Aku biarkan diam menguasai. Mas Doni pun sepertinya demikian.
"Sayang.. gimana disana? Betah di kosan?" tanyaku memecah keheningan disertai desiran suara ombak.
"Gak betah, sayang."
"Lhoo... kenapa...?"
Aku menatapnya, sedangkan Mas Doni memandang jauh ke arah laut lepas.
"Karena gak ada kamu, hehe.."
Kini pandangan kami beradu. Kembali kami terdiam. Dalam hati ku berkata, momen seperti ini Mas Doni biasanya akan menciumku. Tidak, ini di tempat umum, sekalipun tak ada yang melihat kami. Seketika aku berdiri, mengalihkan fokusnya.
Ditahannya tanganku agar aku tak berjalan menjauh. Aku hanya tak tahu, darimana aku memulai untuk bertanya padanya.
"Sayang. Kenapa mendiamkan Mika?" Akhirnya pertanyaan yang ku pendam muncul.
"HP ku rusak, sayang. Keypad-nya error."
Dari alasan yang dikemukakan Mas Doni, aku merasa ganjil. Entah aku ingin terus mengejarnya dengan puluhan pertanyaan lainnya.
"Wanna leave?" tanyanya karena dilihatnya aku seperti tak nyaman berada di tempat itu terlalu lama untuk perbincangan yang private.
Aku hanya mengangguk. Semenit kemudian, kita sudah melaju di jalanan. Aku tahu, kami menuju rumahnya.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah Mas Doni. Kami diam sepanjang jalan. Berlanjut di rumah Mas Doni, ekspresinya semakin tak menentu. Antara kesal, marah, atau takut. Entahlah.
"Naik aja. Jangan disini. Nanti Ibu dengar."
Sesungguhnya, aku terkejut. Mas Doni bersikap dingin padaku. Dia seolah siap untuk mendengar amarahku, namun dia juga siap untuk menyanggahnya. Selama ini, aku belum pernah melihatnya begitu emosional. Sebelumnya dia selalu dapat menahan diri.
Mas Doni naik terlebih dahulu menuju lantai dua rumahnya. Aku menyusulnya dari belakang. Terdapat dua kamar tidur, kamar mandi di antara dua kamar tersebut, dan ruangan yang cukup luas dengan terdapat TV lengkap dengan sofa dan meja panjang. Piala berderet memenuhi rak di samping TV.
"Duduk!" Tangannya mempersilahkanku duduk di sofa depan TV.
Aku pun duduk di sofa panjang, sedangkan Mas Doni duduk di hadapanku, sebuah kursi santai kecil.
"Udah, mau ngomong apa silahkan. Mau marah juga, silahkan."
Mas Doni mungkin salah mengartikan maksudku. Aku hanya ingin sekedar tahu apa yang dia lakukan hingga tak memberiku kabar. Namun kenapa sekarang justru Mas Doni yang sepertinya begitu berhak untuk marah padaku.
"Mas kenapa sih? Bentak-bentak ke Mika?"
"Siapa yang bentak? Kamu mau bilang apa?"
"Mas tuh, kenapa gak hubungin Mika?"
"Kan, sudah ku bilang. HP ku error. Gak percaya? Nih liat sendiri!"
Nada Mas Doni meninggi. Dia membanting ponselnya tepat mengenai dudukan sofa di sampingku. Ponselnya terpental lalu jatuh ke lantai. Aku segera memungutnya.
Aku tahu, dia marah padaku. Dia marah karena aku tak begitu saja mempercayainya. Untuk itu, aku tak boleh menanggapinya dengan keras pula.
"Mas, apaan sih pake lempar-lempar gini. Ya bisa pecah HP mu, tau."
"Udahlah. HP udah rusak, sekalian aja pecah. Jadi tau, kenapa aku gak bisa hubungi pacarku!"
"Mas, pelan dikit bicaranya. Kenapa jadi marah gitu sih"
"Kamu yang duluan gak enak, ya kan. Kamu pasti mikirnya aku bohong."
"Lhoh. Mas kok nuduh Mika begitu?"
"Kamu mau tanya apalagi? Betah gak, aku dikosan? Aku jawab, gak betah. Kenapa? Karena gak ada kamu, aku bilang. Lalu kamu berdiri, lagi-lagi kamu gak percaya, ya kan?"
"Bukan, Mas. Aku berdiri cuma takut Mas Doni suka tiba-tiba cium aku."
"Aku gak bego, Mika. Kita dimana, aku tau tempat!"
"Mas..."
Ku lihat Mas Doni baru kali ini marah di hadapanku. Aku sedih, sehingga tak dapat meneruskan perkataanku.
"Kenapa diem? Mika mau curiga apa lagi sama Mas? Ooh.. pasti dikaitkan sama Vivi lagi? Ya kan?"
Aku terkejut mendengar nama itu. Sebelumnya aku telah melupakan peristiwa itu begitu saja. Memaafkan apapun yang terjadi antara Mas Doni dan Vivi. Sekalipun aku tak mengetahui kebenarannya hingga saat ini.
"Mika udah ga mau bahas Vivi lagi."
"Ya tapi Mas yakin, Mika ingin tahu kan. Mas disana ngapain aja dengan Vivi, bener begitu?"
"Enggak, Mas."
Aku terus berusaha untuk tenang. Tak mungkin aku menyaingi kekesalan Mas Doni dengan amarahku. Namun ketika aku mendengar nama Vivi itu disebut, aku merasa sudah cukup bagiku untuk mengalah.
"Mik, waktu awal aku ke Bandung, kemudian Vivi nyebarin berita bodoh itu, aku gak ada satupun nanggepin karena semua itu gak bener. Aku tahu kamu marah, Mik. Tapi kenapa kamu diam? Memangnya kamu gak pingin bela aku? Membiarkan aku jadi bulan-bulanan satu sekolah, dibilang aku sekamar dengan Vivi? Kamu tau, semua anak Roxette mau habisin Vivi tapi aku larang, Mik. Seandainya kamu meminta, pasti akan ku lakukan. Bertanya padaku tentang kebenarannya pun tidak. Sekarang maumu bagaimana?"
***
Aku bagaikan berada di tengah lapangan hijau di suatu pertandingan. Ingin menyaksikan laga dari jarak yang sangat dekat, namun itu suatu kesalahan terbesar. Sebuah bola kini melayang, terlempar menuju ke arahku. Bola itu mengenaiku. Rasanya begitu sakit. Tepat di hatiku.
***
Aku berdiri mengambil tas ku. Ku pegang pipi Mas Doni dengan lembut. Ku tatap matanya dan ku perhatikan sekali lagi tiap sudut wajahnya.
"Mas, apakah kamu paham rasanya memendam amarah, supaya semuanya baik-baik saja?"
Kutinggalkan Mas Doni begitu saja. Tak ku ijinkan dia mengikutiku. Aku bisa pulang sendiri, kali ini dan seterusnya.
***