Sudah menjadi kebiasaan bagi Mika untuk mengikat rambut Mas Doni di pagi hari sebelum jam masuk kelas berbunyi. Mas Doni pun hanya bisa pasrah, akan berwarna apa karet rambutnya di hari itu. Jambangnya dicukur tipis sehingga masih menyisakan sedikit garis anak rambut terutama di sekitaran dagunya. Kesan maskulin begitu lekat dengan kepribadian Mas Doni yang pendiam.
"Sayang, aku jadinya daftar ke Bandung." Ucap Mas Doni mengawali hari.
"Ha. Bandung? Jauh banget, Mas.."
"Minggu depan aku tes tulis. Jadi harus ke sana."
"Jadi pilih Unpad? Naik apa kesana?" tanyaku.
"Nah ini. Aku mau sampein dulu. Aku tes di Unpad, berangkat hari Minggu. Tes nya sehari doang, di hari Senin. Aku nanti nginep di kosan harian kira-kira Minggu malam. Setelah tes aku langsung pulang. Kita naik kereta sekitar jam 7 pagi."
"Kita? Siapa? Anak-anak Roxette ada yang ke Bandung juga?"
"Please jangan marah. Itu.. Anu.. Aku.. sama Vivi. Dia yang ngajak bareng. Tapi beda kursi kok kita. Cuma bareng berangkatnya. Pulangnya aku sendiri. Serius!"
"Halah!"
Aku begitu kesal dan kecewa pada Mas Doni. Kenapa masih saja ada nama Vivi diantara kami. Muka ku masam. Aku tak ingin lagi mendengar kata-kata darinya.
Ingatan tentang Vivi berputar kembali. June bahkan pernah berkata bahwa Vivi ternyata memiliki sederet nama panjang dalam daftar mantan-mantannya. "Kenapa cowok-cowok pada kepo pingin macarin si Vivi, ya Mik."
Ya. Termasuk Mas Doni. Kenapa begitu mudah Vivi menebarkan pesonanya. Serasa semua laki-laki ingin dimilikinya. Apakah dia tidak memiliki rasa malu karena dicap sebagai cewek penggoda. Sebentar berhubungan, sebentar ditinggalkan.
Pernah aku mencoba bertanya kepada Mas Doni, apa yang menarik hatinya jika melihat Vivi. Saat itu Mas Doni enggan menjawab pertanyaanku hingga menyisakan tanya dalam pikiranku.
Sekarang, aku harus melepaskan Mas Doni keluar kota hanya ditemani Vivi. Aku bahkan tak tahu bagaimana kota Bandung itu karena aku belum pernah kesana. Sedangkan mereka, akan berdua berada disana selama dua hari. Kenapa ketakutanku kini mengarah pada adegan dewasa. Usia ku belum 17 tahun.
***
Hingga pulang sekolah aku mendiamkan Mas Doni. Andai saja bisa, ingin sekali aku dapat pergi menemaninya ke Bandung agar Vivi tak memiliki kesempatan menggoda pacarku. Namun itu semua tak mungkin terjadi. Mama Papa pastilah melarangku. Ongkos pun aku tak punya. Selain itu hari Senin, aku tetap harus masuk sekolah.
Al dan Yohan mengajakku turut bergabung dengan adik kelas untuk latihan upacara bendera. Aku mengiyakan ajakan mereka. Aku tak ingin pulang awal siang itu.
"Komando nyaaa.. kurang keraass!" teriakku lantang.
"Mika, kamu seperti lagi marah-marah tau," Al berbisik di dekatku.
"Ya habisnya. Mereka kayak anak manja. Gini gak bisa. Gitu gak bisa. Suaranya juga pelan banget. Kamu lihat sendiri, kan?"
"Mereka masih kelas 1, Mik. Wajar kalo banyak kesalahan disana sini. Lagipula kamu kenapa pake marah ke mereka. PMS ya jangan-jangan..."
"Tau lah, Al. Kamu sama Yohan lanjutin deh. Aku ke pinggir dulu."
Toilet perempuan di tempat biasa, di belakang kantin ternyata krannya mampet. Air di bak mandi kosong. Dengan langkah gontai, aku akhirnya aku menuju toilet di lantai dua yang terletak di koridor paling ujung sisi timur sekolah. Sepi, tak ada siapapun. Semua siswa sudah meninggalkan sekolah. Tersisa beberapa adik kelas yang sedang berlatih upacara di lapangan dengan Al dan Yohan.
Karena letaknya di ujung koridor, aku jarang menggunakan toilet ini. Seperti harus melewati lorong panjang, lalu ada setan yang menatapmu dari kejauhan. Bayangan film horor terus saja menghantuiku. Ku percepat langkah agar segera sampai di toilet dan bergegas turun.
"Sayang..."
Ada yang memanggilku ketika aku baru saja keluar dari toilet. Perasaanku tak menentu. Seingatku, sedari tadi hanya ada aku sendiri di lantai dua.
"Hai, Sayangku!"
Panggilan itu terdengar lagi. Tak sanggup rasanya jika aku harus menoleh dan ternyata yang memanggilku adalah Noni Belanda, hantu penghuni sekolah. Kakiku sedikit gemetar, telapak tanganku mulai berkeringat karena takut.
Drap. Drap. Drap.
Terdengar suara langkah mendekat ke arahku. Aku semakin takut. Bahuku ditepuk perlahan, "Sayang?"
Suara itu persis berada di telingaku. Badanku terasa kaku karena disapa oleh..
"Astaga! Aku kira setan!" pekikku seketika.
Aku menoleh dengan terkejut. Ternyata itu Mas Doni yang memanggilku. Jaket black and white dipakainya tanpa menutup resleting. Kancing atas seragamnya terbuka. Bulu di dadanya terlihat sekali lagi olehku. Tampak sedikit bekas air membasahi rambutnya.
"Habis ngapain kamu, Mas?"
"Lah, aku cuci muka habis ujian praktek tadi."
"Disitu? Kamu disitu tadi?"
Tanganku menunjuk pada toilet bertuliskan MEN yang letaknya berhadapan dengan toilet perempuan yang ku masuki tadi.
"Iya. Kenapa bingung gitu muka mu?"
"Ah. Syukurlah. Aku aja ketakutan. Aku dengar suara kran tapi gak keliatan ada orang sih."
"Haha.. dikira setan, gitu ya?"
Aku mengangguk dengan sedikit menggigit ujung bibir bawahku.
"Ya udah, sepi nih.. mau pulang gak?"
"Pulaangg.. iyaa.. ayo kita pulang..."
Mulut dan pikiranku tak sinkron karena di saat yang bersamaan, entah kenapa mataku tak dapat mengabaikan bagian dada Mas Doni dengan seragam yang sedikit terbuka. Sinyal otakku mengirimkan pesan untuk ingin berlama-lama dengan Mas Doni.
"Mika? Kok bengong?" tanya Mas Doni. Suaranya terdengar begitu kecil. Aku terlalu fokus memperhatikan lekuk tubuh laki-laki di hadapanku. Mas Doni berjarak hanya beberapa langkah mendahului di depanku.
"Ha. Iya Mas? Mas tadi bilang apa?" Kelabakan aku menyahuti Mas Doni. Segera aku susul langkahnya menuju arah tangga. Ku ulurkan tanganku menyambut tangannya.
Momen yang tak terduga terjadi begitu saja. Ketika ujung jariku menyentuh tangannya, Mas Doni menarik tanganku dengan cepat hingga badanku sontak melaju mendekati tubuhnya. Diangkatnya daguku ke atas dengan tangan kanan Mas Doni. Ditatapnya mataku dengan sorot matanya yang dalam. Ditelusurinya tiap sudut wajahku. Napasku naik turun tak menentu.
Mas Doni memejamkan matanya, sejenak. Mencium tepat di bibirku. Aku pun merasakan sentuhan hangat bibir Mas Doni dengan sedikit basah dari lidahnya. Aku balas memejamkan mataku.
Hanya sebentar. Mas Doni mencecap bibirnya dan kemudian berjalan dengan menggandeng tanganku, melanjutkan langkah kami hendak menuruni tangga.
"I'm sorry," ucapnya tanpa menoleh melihat ekspresi ku. Dalam hatinya mungkin dia khawatir aku marah karena telah menciumku.
"Sorry for what?" Aku tersenyum lebar, menarik tangannya. Langkahnya terhenti.
Kini giliranku untuk menarik dagunya dan menyematkan bibirku di permukaan bibirnya. Mas Doni menyambut bibirku dengan tersenyum. Kedua tanganku melingkar di lehernya, sedangkan tangan Mas Doni memeluk pinggangku erat.
***