Minggu sekitar pukul 6 pagi, Doni mengendarai motornya menuju stasiun. Beberapa kaos dan kemeja telah tersusun rapi di dalam ranselnya bertuliskan Eiger. Sejenak mengatur nafas, Doni menuju warung kopi terdekat untuk melepas lelah. Dinyalakannya sebatang rokok dan dihisapnya perlahan. Secangkir kopi panas berada di meja hadapannya.
Belum terlalu banyak orang di stasiun. Doni mengeluarkan ponselnya dan membuka menu Photos. Tampak senyum tipis dari wajahnya tiap kali melihat satu persatu foto Mika, pacar kesayangannya.
Doni kini memasuki usia 17 tahun. Sedangkan Mika, berusia selisih setahun lebih muda darinya. Mika bukan tipe perempuan manja. Kegemarannya adalah menggunakan sepatu semi boots ke sekolah dengan kaos kaki bergambar kumbang kecil di ujungnya. Lengan seragam Mika selalu dilipat beberapa sentimeter ke atas. Setidaknya itu ciri-ciri yang nampak ketika Doni memandangi foto-foto Mika.
Mereka berdua pernah duduk bersebelahan di bangku panjang dekat sekolah. Lalu dilingkarkan tangan Doni memeluk pinggang Mika. Saat itu, baik Doni ataupun Mika tidak menyadari bahwa Gading diam-diam mengambil foto mereka menggunakan ponsel Doni. Ya, hanya itu foto mereka ketika sedang berdua. Tampak di foto, Mika sedang menertawakan sesuatu hal yang konyol, namun Doni tak ingat apa.
Lama dipandanginya foto itu. Sesekali dihisap rokoknya lalu dihembuskannya asap keluar. Mika begitu cantik dengan rambut sebahunya yang diikat setengah di bagian atas. Senyumnya begitu natural. Deretan giginya yang rapi menambah kecantikan Mika pada foto itu.
"Belum berangkat, aku sudah kangen kamu, sayang.." gumam Doni.
Ting.. Tung.. Ting..Tung..
Suara peringatan dari stasiun memanggil para penumpang agar bersiap untuk menaiki kereta. Dari kejauhan Vivi berlari dengan menenteng tas besar bergambar Mickey Mouse dan tas slempang berwarna hijau tua terayun ke depan dan ke belakang.
"Don.. [hosh..hosh..] maaf nunggu lama. Ayo masuk. Keretanya udah datang."
Tanpa banyak berkata, Doni segera membayar kopinya pada pemilik warung. Dimasukkannya ponsel dalam saku depannya. Rokoknya tersisa sedikit, dihisapnya untuk terakhir kali lalu disudutkan pada asbak kecil dekat gelaa kopinya. Tas ranselnya nampak begitu ringan.
"Don. Kamu gak bawa baju? Gak bawa buku untuk belajar?" tanya Vivi sembari memperhatikan tas Doni.
"Baju? Bawa kok. Cuma 3 potong." Doni menjawab Vivi dengan terus menatap ke depan menuju pintu check in.
"Buku? Alat tulis? Bawa, kan?"
"Bawa alat tulis doang. Bukunya enggak."
Barisan penumpang yang hendak check in mengular panjang. Doni mempersilahkan Vivi untuk berdiri menempati antrian di depannya.
"Kok enak bener Don, bawaanmu enteng.." Vivi terus saja berbicara panjang.
"Aku mau belikan oleh-oleh yang banyak buat pacarku nanti. Jadi tas ku sekarang enteng."
Vivi tak terkejut ketika mendengar pernyataan Doni. Dia tahu, Doni begitu menyayangi Mika. Itu sebabnya, Vivi merasa tertantang untuk kembali mendekati Doni. Bagi Vivi, semua laki-laki incarannya harus dapat dia taklukkan. Dia merasa kurang puas karena dulu sempat menjadi pacar Doni hanya sebentar, sekitar 1 minggu.
Memasuki gerbong kereta, Vivi kebingungan menemukan letak tempat duduknya. Dilihatnya tiket yang ia pegang berulang kali lalu mencari kecocokan dengan tulisan pada bagian atas masing-masing kursi. Tak jauh dari jaraknya berdiri, Doni tengah memasukkan tas ranselnya ke kolong di atas kursi yang telah disediakan untuk meletakkan barang bawaan.
Doni tak memperdulikan Vivi yang masih berputar-putar mencari tempat duduknya. Dia langsung menyandarkan badannya dan mulai mengetik beberapa kata untuk dikirimkan pada Mika. Karena putus asa, Vivi merengek manja memohon bantuan pada Doni.
"Doniii... cariin ini di sebelah mana siihh," tanyanya manja.
Dengan muka malas, Doni melirik tiket Vivi kemudian menunjuk ke arah kursi di seberang Doni. Vivi kegirangan, karena ternyata tempat duduk mereka bersebelahan, hanya terpisahkan jalan tengah untuk lalu lalang penumpang.
"Kita jejeran ternyata! Iiihh.. seneng deh ada temen ngobrol." Seru Vivi disusul cubitan kecil di pipi Doni. Doni hanya melirik sebentar, berusaha menepis tangan Vivi lalu mengabaikannya.
Perjalanan menuju Bandung ditempuh sekitar 8 jam. Itu artinya sekitar pukul 3 sore, mereka sudah tiba di Stasiun Bandung. Doni tak dapat membayangkan, betapa berisiknya sepanjang perjalanan karena Vivi akan terus mengoceh sepanjang waktu.
"Doni nginep dimana?" Kereta baru saja melaju, dan Vivi sudah memulai kicauannya.
"Ada.. udah dapet penginapan kok." Doni masih menjawabnya dengan sabar.
"Kamu kok gak tanya, aku bakalan nginep dimana?"
"Iya, kamu nginep dimana emang?"
"Hotel deket Unpad.. mm.. Hotel.. apa sih, lupa.. disitu dapat breakfast juga. Jadi kita gak perlu buru-buru nyari sarapan. Udah disediakan sama hotelnya. Enak kan.."
"Hm.. Iya.."
Doni memutuskan memasang headset dan menyalakan playlist lagu dari ponselnya agar tidak terus mendengar ocehan Vivi. Resikonya, ponselnya akan cepat kehabisan daya, dan itu berarti dia tidak dapat menghubungi Mika sementara waktu.
***
Doni terbangun dari tidurnya. Rasanya dia tertidur cukup lama. Lehernya terasa kaku. Direntangkan kedua tangannya untuk mengendurkan otot-ototnya yang tegang. Penumpang di sebelah kirinya masih tertidur.
Ponselnya masih terus bernyanyi. Playlist musiknya belum berhenti. Hal pertama yang Doni lakukan adalah membaca sebuah pesan balasan dari Mika. Pacar kesayangannya seolah sedang duduk di sebelahnya. Seolah sedang berbincang menemani perjalanan Doni ke Bandung. Seolah tak ada jarak diantara mereka.
Doni lupa, di sebelah kanannya tengah duduk seorang penumpang yang memiliki jutaan kosakata dan siap untuk diluncurkan sepanjang perjalanan.
"Akutuh daritadi liatin kamu tidur.. Tidur aja bisa cakep ya kamu.."
Vivi menyapa Doni yang sedang sibuk dengan ponselnya. Doni tak menyahut. Dia terus saja memandangi layar ponsel meski Mika belum membalas pesannya.
"Don.. kamu tau gak, kalo aku...."
Vivi meneruskan perkataannya di saat yang bersamaan, Doni menoleh. Namun yang dia lihat hanya mulut Vivi yang bergerak tanpa suara. Ah, headset Doni penyebabnya.
Sebaiknya tak perlu ku lepas, batin Doni.
Dua jam berlalu.
Tiiitt.. Tiiit...
Notifikasi baterai lemah berbunyi. Tersisa 15% daya baterai ponsel Doni. Sedangkan perjalanan masih sekitar 1 jam lagi. Dimatikannya lagu yang ia putar, lalu dilepas headset dari telinganya.
Doni menatap ke arah jendela di sebelah kirinya. Hamparan sawah yang menghijau, adalah pemandangan favorit Mika. Mika selalu membentangkan kedua tangannya tiap kali Doni mengajaknya berkendara melewati hamparan padi yang mulai tumbuh. Hembusan angin menyibak rambut Mika dan semakin paripurna kecantikannya di mata seorang Doni.
"Mika..." ucapnya lirih.
Doni mengingat betul, bagaimana dia tak sengaja bertemu Mika untuk pertama kali. Kenapa dia begitu berani meminta Mika untuk menjadi kekasihnya sedangkan sebelumnya interaksi mereka sangat minim. Itu karena Mika berbeda. Doni tahu bahwa Mika berbeda dengan siswi lainnya, yaitu saat Mika sering bersama dengan Boy.
Bukan maksud Doni untuk merebut Mika dari Boy. Doni hanya tak bisa membiarkan rasa di hatinya sirna begitu saja. Doni pun sama bebalnya dengan Boy, sahabatnya. Doni pun sering mempermainkan perasaan beberapa perempuan sebelumnya. Namun sekali lagi, Mika itu berbeda. Itu sebabnya, tanpa rencana dan tanpa persiapan, dia memberanikan diri meminta pada Mika. Dan kali ini, ia berjanji pada dirinya sendiri, tak ingin mempermainkan Mika seperti mantan-mantannya dulu.
"Don.. kamu dengerin aku gak?" ujar Vivi. Suaranya mengagetkan Doni yang sedang membayangkan gadis kesayangannya.
"Hm. Iya denger." Doni menjawab singkat tanpa menoleh sedikit pun.
"Don, aku curi denger dari seorang temen Mika..."
Mendengar nama 'Mika' disebut oleh Vivi, seketika Doni menoleh ke arahnya.
"Ada apa? Lanjutin!" seru Doni.
Rambut Doni tergerai begitu saja. Hanya Mika yang mahir merapikan rambutnya. Hanya Mika yang mampu mengikat rambut panjangnya, tanpa ada satu helai pun yang terlepas. Bahkan dirinya sendiri tak mampu untuk itu. Begitu Doni sangat membutuhkan Mika.
Nama Mikaila begitu terdengar merdu di telinganya. Apapun tentang Mika terasa indah dan menyenangkan, bagi Doni. Tak boleh ada satu orangpun yang boleh menyakiti Mika. Termasuk Vivi yang sebenarnya berniat merusak hubungannya, dan Doni tahu itu.
"Kenapa dengan Mika, Vi?" desak Doni.
"Cie... kepo.. mau tahu banget ya.." goda Vivi. Sengaja ia tak meneruskan ceritanya agar Doni sedikit terpancing emosi.
"Ya udah kalo gak mau cerita."
"Haha.. ngambek dia. Jadi gini.."
Doni membenahi posisi duduknya, kini sedikit miring menghadap Vivi. Memasang dua telinganya bersiap mendengar cerita Vivi karena menyangkut nama Mika.
"Aku denger-denger aja nih ya.. Semenjak Mika jadian sama kamu, Mika dijauhin sama temen-temen dia. Gak ada yang mau satu kelompok bareng dia lagi. Trus urusan nebeng-nebeng juga.. temennya gak ada yang mau ditebengin sekarang."
"Ah, masak sih? Kok bisa?"
"Yah Doni, kok kamu gak nyadar sih. Temen-temennya takut sama kamu! Big boss!"
"Maksudmu?"
"Titok dipukuli sama Boy, itu kamu yang suruh kan? Trus aku denger, Boy juga ribut sama temen Mika yang cowok itu. Pokoknya mereka gak mau berurusan sama Mika. Takut kamu apa-apain.. entah melalui Boy, atau yang lain."
"No.. tapi Mika gak pernah cerita.."
"Tau gak, waktu istrinya Pak Udin meninggal, itu semua pada takziah ke rumah Pak Udin. Gak tau deh kamu kemana, yang jelas kamu udah cabut duluan sama genk mu. Trus Mika mau nebeng sama temennya yang lain, eh malah ditolak. Katanya takut kalo kamu salah paham-lah, takut bikin kamu jealous-lah. Intinya Mika gak jadi ikut takziah karena gak dapet tebengan ke rumah Pak Udin."
"Ya Tuhan.. kamu gak ngarang cerita kan, Vi?"
***
Doni berusaha menelepon Mika sesaat setelah dia mendengar cerita Vivi. Rasa bersalah menghantuinya. Doni tak tahu, terbuat dari apa hati Mika hingga mampu menyembunyikan semua sikap buruk temannya. Mika selalu tampak ceria. Tak ada raut kesedihan karena dijauhi teman-temannya. Selama ini Doni tak mengetahuinya.
***
CAN'T MAKE A CALL
PLEASE RECHARGE YOUR BATTERY
***