Chereads / MIKA & DONI / Chapter 7 - Pacar Baru

Chapter 7 - Pacar Baru

Mas Doni, kakak kelasku, setingkat lebih tua daripada aku. Pertemuan pertama kita yang terbilang kurang baik, karena secara tidak sengaja saat itu kita bertabrakan di tengah lapangan basket sekolah. Mungkin jika dihitung, kita baru saja mengenal sekitar 3 bulanan. Perkenalan itupun sebatas tukar nama dan mengobrol seadanya.

Masih ku ingat awal mula aku menghubungi Mas Doni via SMS malam hari seusai terawih. Itupun atas desakan Erika, sepupuku, untuk menanyakan kejelasan hubungan antara Boy dan Dian. Aku tak pernah ada maksud menggodanya lewat SMS. Di sekolah pun, kami lebih banyak diam jika aku sedang bersama Boy dan genk-nya. Ketiga sahabatku pun, tak pernah tahu tentang aku dan Mas Doni, karena sesungguhnya tak ada yang menarik untuk ku ceritakan.

Naifnya aku, kedatangan Mas Doni ke rumahku, aku justru terus menerus menanyakan tentang Boy. Aku yang begitu antusias menyimak ketika Mas Doni dan teman-temannya bercerita hal-hal seru tentang genk mereka. Mendengar kata Boy seolah ada hembusan angin sejuk menerpa daun telingaku, dan angin itu masuk dalam pembuluh darahku. Tiap kali aku bersinggungan dengan nama Boy, seolah badanku berdiri lebih tegak dari sebelumnya. Adrenalinku terpacu, hingga rasanya aku hanya sanggup menelan ludahku sendiri. Semua tentang Boy, baik atau buruknya, menjadi indah di pandangan mataku. Tentu saja, Mas Doni, sahabat terbaik Boy, mengetahui itu semua.

Hari ini, aku seperti disambar petir. Meskipun aku belum tahu, atau semoga saja tidak pernah tahu bagaimana rasanya petir menyambar. Badanku seperti ngilu di seluruh persendian dan urat nadi. Kaku. Aku menjadi seperti vampire yang ditempeli mantra doa-doa pada dahiku sehingga aku diam tak bisa bergerak, bahkan berkedip sekalipun. Napasku tipis-tipis, saking tipisnya, mungkin kutu di rambutku sedang tertidur pulas semua, hehehe.

Sekian menit lamanya aku menunduk. Mas Doni pun demikian. Kita tak tahu harus membicarakan apalagi. Dalam hatiku, kenapa Mas Doni dapat semudah itu menembakku untuk jadi pacarnya? Apakah dia sengaja ingin melukai perasaan Boy, dengan merebutku darinya? Ataukah jangan-jangan semua ini hanya permainan antara Mas Doni dan Boy, dan sudah diatur rapi oleh mereka berdua? Pikiranku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan buruk. Hingga kemudian Mas Doni, mengangkat kepalanya dan bertanya sekali lagi padaku, "Mika, gimana jawabannya? Gak harus sekarang kok", diakhirinya kata-kata itu dengan senyuman.

Haruskah aku menerima permintaannya, atau menolaknya? Aku memandang Mas Doni, mataku beradu dengan matanya. Perasaan gugup muncul lagi seketika aku menundukkan kembali kepalaku. Sungguh aku tak mengerti kenapa aku bisa berada dalam kondisi serumit ini.

"Maaf Mas, aku pikirkan dulu ya", jawabku singkat. Sepertinya malaikat atau setan yang berada di dekat telinga kanan kiri ku, juga sedang bingung. Tercetuslah kata-kata lugas itu sebagai bentuk penundaan agar aku tak tampak menolaknya dengan terburu-buru.

"Baiklah, aku tunggu ya jawabannya", sahut Mas Doni, sembari dia berdiri dari tempat duduknya di hadapanku. Ada perasaan yang aneh saat Mas Doni berdiri. Dadaku berdesir, layaknya seperti ingin berteriak histeris dan menyebut nama idolaku, "Cheestterrrr.. Chesteerrr i love you chesteeeerr". Ya, Mas Doni dengan setelan kemeja kotak-kotaknya tiba-tiba berubah tampak mempesona di depan mataku.

Aku masih di tempatku duduk, di sofa coklat penuh ukiran jepara, terhipnotis dengan penampilan rapi Mas Doni yang di luar kebiasaannya. Ketiga teman Mas Doni menyeruak masuk kembali ke ruang tamu, sambil tetap menertawakan hal yang tak ku mengerti. "Ayo cabut, gaes", ajak Mas Doni pada teman-temannya. Tiba-tiba angin berhembus dari luar, menerpa kami semua. Aku sedikit berkedip, dan sekilas mencium aroma parfum Mas Doni yang membuatku larut dan memejamkan mata dua detik lebih lama.

Mas Doni mengulurkan tangannya, hendak berpamitan pulang. Mataku terbuka. Malaikat dan setan bersamaan menampar pipiku, dan seolah berucap, "woi melek, Mik!"

Aku pun berdiri menyambut jari jemari Mas Doni. Sebelumnya perasaan canggung ini tak pernah ada. Hanya karena sebuah kalimat sederhana yang dilontarkan beberapa menit lalu, semuanya tiba-tiba berubah. Menyusul teman-teman Mas Doni juga mengulurkan tangannya, bersalaman denganku, dan berpamitan pulang.

Kami berlima berjalan ke depan rumah. Ketiga teman Mas Doni sungguh riang, tak seperti aku dan Mas Doni yang lebih banyak diam dan menunduk. "Sudah beres Don? Pulang atau kemana dulu sekarang?" tanya Sukri pada Mas Doni sambil mengenakan helm dan jaket.

Mataku tak lepas dari memandangi Mas Doni yang bersiap untuk pulang. Kenapa baru detik ini aku merasa bahwa Mas Doni ternyata lumayan manis. Rambut gondrongnya yang diikat sedikit ke belakang, tertutup helm half face warna hitam lurik. Motornya keluaran tahun 2003, tampak catnya masih mengkilap, bodi motornya didominasi warna biru putih.

"Mikaaa, kita pamit yaa", seru Dior dari atas motornya. Masing-masing dari mereka menaiki motor dan aku terdiam masih terpaku menatap Mas Doni.

"Mik, pamit pulang ya. Salam untuk Mama Papa mu. Terima kasih, ya", seru Mas Doni dari atas motor Suzuki-nya. Aku mengangguk, mengiyakan, "Hati-hati di jalan, Mas Don, maaf ya", seraya melambaikan tangan kananku.

Tiba-tiba Sukri, menimpali, "Ish, kalo Doni yang pamitan diati-ati, prasaan kita daritadi pamitan, kamu diem aja Mik", ucapnya sewot, disusul tawa dari Mas Doni dan semua temannya.

"Oh iya donk, hahaha, semuaaa hati-hati dijalan yaa", teriakku lantang karena mereka mulai menyalakan mesin motornya.

Selepas mereka semua pulang dan hilang dari pandangan, aku masih berdiri di teras. Aku tersenyum-senyum sendiri. Lalu aku masuk ke dalam rumah dan menutup kembali toples-toples kue yang masih terbuka. Pandanganku tertuju pada sudut sofa tempat Mas Doni duduk. Aroma parfum dan tubuhnya masih tertinggal disitu, "ini kenapa baunya cowok banget", gumamku.

***

MALAM TIBA

Masih suasana lebaran, Mama Papa kedatangan teman-teman semasa Mama kuliah dulu. Suasana riuh di teras dan ruang tamu. Sekitar 20 orang bercengkrama satu sama lain. Mama Papa sibuk menjamu tamu mereka dengan lontong sayur dan beberapa kue basah yang sudah ditata sedari sore. Kakakku belum pulang. Adikku Leo, menjadi primadona bagi tamu-tamu Mama Papa, anak laki-laki satu-satunya dan adikku gemar bercerita tentang robot kesukaannya. Semua orang menyukai Adikku.

Aku?

Di depan TV, menonton Mr. Bean kesukaanku, meski sudah ditayangkan berulang kali. Setiap scene-nya tetap berhasil membuatku tertawa. Aku larut dalam kesenanganku sendiri, sampai akhirnya ponsel di kamarku berdering.

-1 missed call-

Mas Doni

"Ah, aku telat nerima telponnya, jadi miskol deh", batinku. Aku tekan beberapa tuts keyboard, *123# untuk memeriksa pulsa.

Saldo anda Rp.1250,00

Masa aktif kartu berakhir pada 21 Desember 2004

Mataku membaca pesan singkat dari provider Telkomsel itu, seketika bibirku manyun. "Andaikan aku punya pulsa melimpah, mau telpon tinggal telpon. Mau kirim SMS, gak pake mikir", ucapku pada diriku sendiri sambil menatap langit-langit kamar.

Ponselku berbunyi lagi. Ku angkat, "Halo", ucapku lesu. Entah kenapa aku mendadak tidak bersemangat. Mas Doni menelepon pasti hendak menanyakan jawabanku atas pertanyaannya tadi siang. Aku belum memikirkannya, aku pun belum mendapatkan jawabannya. Kenapa Mas Doni begitu terburu-buru ingin mendapatkan jawabanku.

"Halo Mika, hahahaa, lagi apa, hahahaa", suara disana begitu berisik, dan yang pasti bukan suara Mas Doni.

"Haiii sayanggg, lagi apaaa cantik, hahahaa", suara yang lain terdengar.

Aku diam, tersenyum, dan berpikir, ah pasti teman-teman Mas Doni sedang menjahiliku. Mereka meneleponku menggunakan ponsel Mas Doni. Aku merasa senang memiliki teman baru yang seru, yang tak melulu drama dan membicarakan keburukan teman lain. Mereka memang kakak kelasku, baru saja kami saling mengenal, tapi kami sudah akrab dan obrolan kami selalu diakhiri tawa terbahak-bahak.

"Ini siapa pula, hahaha, kalian lucu yaa..", jawabku dengan perut kaku akibat terlalu banyak tertawa. Sekitar 7 menit aku tak tahu siapa saja lawan bicaraku di sambungan telepon malam itu. Yang ku tahu, itu semua teman-teman Mas Doni saling berebut ponsel ingin mengobrol dan bercanda denganku.

Lalu ku dengar, di seberang sana, ada suara Mas Doni menimpali, "Hei, Hei, udaahh, balikin HP ku, ngawur kalian!", terdengar nada serius dari si empunya ponsel. Aku tersenyum. Mas Doni dengan muka garang tapi manis, kira-kira daritadi apa yang dilakukan saat ponselnya disabotase teman-temannya. Tiba-tiba aku membayangkan aroma tubuhnya lagi, yang ku cium tadi siang.

"Halo Mika, maaf ya, bukan maksud...", ucap Mas Doni terburu-buru. Aku memotong ucapan Mas Doni, "Maass, gak papa mas, hehehe".

Mendadak tak terdengar suara apapun. Hening sekali disana. "Mas, kok sepi? Teman-temanmu pada kemana?", tanyaku.

"Di atas semua, aku lagi di kamar bawah sekarang, berisik mereka tuh", jawab Mas Doni dengan nada kesal karena ponselnya dijarah saat dia di kamar mandi.

"Oh, ini kalian lagi kumpul di rumah Mas, gitu ya?", tanyaku penasaran.

"Iya Mika, biasa.. Temen-temen kumpulnya ya disini. Udah jadi basecamp aja rumahku. Biasanya pada main PS (playstation) di atas".

"Rame terus ya rumahmu, Mas, seru deh".

"Iya Mik, malah Sukri sering ketiduran disini, ya dibiarin ajatuh sama Emak Bapaknya".

"Hahahaa, bisa-bisa jadi anak angkat tuh si Sukri", candaku pada Mas Doni.

Beberapa menit kami bercanda via sambungan telepon. Tak bisa berhenti rasanya malam itu. Aku dan Mas Doni bercerita hal-hal yang tidak penting dan kami tertawa, lalu membahas hal lain lagi, tak berkesudahan.

"Mas, hampir sejam, ini pulsamu gak habis kah?", tanyaku memotong pembicaraan.

Mr. Bean di TV sepertinya sudah daritadi selesai. TV ku menyala tapi dengan volume kecil. Tamu Mama Papa masih saling mengobrol di depan. Aku membenahi posisi tiduranku. Ku regangkan tangan kananku yang sedari tadi memegang ponsel di telinga.

"Kenapa, Mika ngantuk kah?", Mas Doni bertanya kembali, suaranya terdengar manja dan lembut bagi seorang Doni yang berpenampilan garang dan berambut gondrong. Merinding aku mendengar suaranya, dan aroma tubuh Mas Doni melintas lagi dalam ingatanku.

"Mas", ucapku singkat dengan nada serius.

"Ya, Mika, kenapa?", sahutnya.

Ya Tuhan, nadanya manis sekali, aku meleleh mendengarnya. Sama seperti ketika Boy bertanya, apakah aku sudah makan atau belum.

No, Mika. Jangan kau ingat Boy lagi. Dia sudah dengan Dian, malaikat di telingaku berbisik.

"Mas, soal tadi siang itu, aa..kuu.. mm.. gimana ya..", lidahku kelu, seperti tak ingin bicara. Mas Doni hanya diam, tak ada sahutan apapun dari seberang sana.

"Mas, aku boleh jawab lewat SMS aja ya".

"Iya Mika, gpp kok", jawab Mas Doni lembut.

"Kalo gitu sudah dulu ya, kamu istirahat ya, bye Mika". Klik. Panggilan terputus. Aku belum sempat membalas salamnya.

Aku tertegun. Kenapa justru Mas Doni yang berani menyampaikan perasaannya, padahal kita tak pernah dekat. Kenapa Boy, yang ku harapkan dapat menyembuhkan lukaku akibat Rio, malah berbalik dan berpaling pada Dian. Aku seperti terbius pesona Mas Doni dari dekat. Aku lupa bahwa aku memiliki sahabat yang seharusnya dapat ku hubungi dan meminta saran. Setengah jam aku melamun. Berpindah dari sudut kasur ke tepian kasur. Teman-teman Mama Papa sudah pulang, rumah kembali sepi.

PUKUL 21.10

Mama Papa mungkin terlalu lelah. Biasanya jam segini kami serumah bersama menonton film di salah satu channel TV. Mama Papa rupanya langsung tertidur. Adikku pun demikian. Sedangkan masih terlalu sore bagiku jika aku tidur.

Aku berdiri menatap kaca rias di kamarku. Ku mainkan rambut ikalku. Apakah aku ini cantik? Apakah yang menarik dari diriku? Apakah karena badanku tinggi, dan kakiku jenjang?

Kenapa Rio menggantung hubungan kami? Kenapa Rio marah ketika aku memutuskan hubungan kami? Apa yang menarik dari diriku, hingga Rio tetap ingin mempertahankan aku sebagai pacarnya?

Lalu Boy. Kenapa dia selalu menggodaku? Badanku tidak sexy. Aku kurus tinggi, biasa saja. Kenapa Boy justru menarik hatiku? Kenapa Boy menganggapku teman spesial? Memangnya, apa yang spesial dari diriku?

Masih ku mainkan rambutku di depan kaca. Ku linting-linting helai demi helai rambut hitamku dengan tangan kiriku, sembari tangan kananku meraih HP yang ku letakkan di kasur. Aku menekan shortcut icon Message pada ponselku. Jari ku dengan cepat mengetik huruf demi huruf merangkai kata, menjadi sebuah kalimat. Kalimat yang tak panjang, tapi bisa saja berdampak panjang di kehidupanku selanjutnya.

"MAS DONI, MIKA MAU KOK JADI PACARMU"

-Message Sent-

Tanganku gemetar. Aku tak tahu ini benar atau salah, karena aku tak pernah memiliki perasaan lebih terhadap Mas Doni. Semoga aku tak mempermainkan hatinya di kemudian hari.

Tak lama,

1 Message Received

"Terima kasih, Mika Sayang

Boleh ya aku panggil Sayang, sekarang?"

Hatiku meronta, antara kegirangan dan kecemasan. Aku punya pacar baru, tapi nanti di sekolah, aku harus bagaimana ya. Hal-hal yang tak perlu ku pikirkan, melintas semuanya dalam anganku. Aku pun ketiduran, dengan tanganku masih memegang ponsel seusai ku ketik nama kontak baru, MY DONI.

***

ps: visualiasasi Mika & Doni, bisa cek di kolom komentar.