Hari demi hari berlalu. Satu persatu teman-temanku akhirnya mengetahui bahwa antara aku dan Mas Doni sedang menjalani hubungan dan secara resmi kami bisa disebut pacaran. Status mengikat kami satu sama lain. Kian hari, kami semakin sering menghabiskan waktu bersama. Aku jujur mengutarakannya pada para sahabatku beberapa hari setelah kami resmi berpacaran.
"Gak nyangka aja, Mik. Tapi ini bukan karena paksaan ya kan?" tanya Al padaku, dia mendengarkan ceritaku dengan posisi jongkok di hadapanku dan tangannya menggenggam tanganku. Yohan berada di sebelah kiriku, turut berkomentar, "Selama bisa menjadi motivasi supaya kamu semakin rajin belajar, its OK, Mik." Sedangkan June, hanya diam mendengarkan.
"Aku juga gak tau, kenapa langsung ku-iyakan. Tapi aku gak bohong, kalo dia tuh anaknya baik. Gak berandalan. Gak kurang ajar seperti yang kalian duga." kataku sambil sedikit melirik ke arah June, dengan maksud menyindir dia.
"Waktu nembak aku, dia datang ke rumah, pakaiannya rapi. Sopan banget dia tuh. Trus waktu kemarin dia antar aku pulang, kan rumahku kosong, itupun dia gak mau masuk. Malah langsung pulang,"
"Ya jujur aku belum tau dia lebih jauh, tapi aku yakin kalo dia gak nakal. Kalo sampe dia nakal trus ngajak aku ikutan nakal, pasti aku langsung putusin dia, percaya deh sama aku."
"Biar sekarang ngalir dulu. Kita jalani dulu. Seenggaknya, ini membuktikan aku udah lupain Rio kan, come on guys! Hahaha..."
***
Jam istirahat aku lebih sering menghabiskan waktu duduk di bangku panjang di dekat parkiran motor bersama Mas Doni dan genk Roxette. Sebelumnya, hari-hari yang kemarin, June menoleh dan hanya melihat segerombolan kakak kelas yang rebel duduk disitu, maka kini June juga ikut menyaksikan aku berada disana. Aku sadar, aku sering mengasingkan ketiga sahabatku. Maka aku harus pintar membagi waktuku, untuk Mas Doni, juga untuk sahabatku.
"Mas Don, kamu tahu gak, seandainya antara kamu dan June tenggelam, aku pasti akan tolong... ,"
"June dulu, kan?" sahut Mas Doni cepat.
Aku mengangguk. "Iya betul."
"Gak papa, dia sahabatmu, kalian kenal lebih lama." ucap Mas Doni acuh. Saat itu, kami berbincang sambil berdiri di balkon depan kelasku. Menatap ke arah lapangan basket. Aku seperti samar melihat Rio bertanding saat Smasa Cup beberapa bulan lalu. Aku hanyut dalam lamunanku sendiri tanpa peduli apa yang Mas Doni katakan.
"Mika suka warna apa?" tanya Mas Doni.
Aku masih melamunkan Rio. Tanganku berpangku pada tepian balkon.
"Mika suka main game gak?"
"Oiya Mika, ulang tahunmu tanggal berapa?"
"Mika.."
"Halo"
"Hei aku disini."
Mas Doni melambaikan tangannya persis ke depan mataku. Dia menggoyangkan bahuku,
"Mika! Hei!"
Aku spontan terkejut dengan suaranya yang tiba-tiba terdengar lantang di telingaku.
"Haha.. maaf ngelamun, apa, Mas ngomong apa?" tanyaku tergagap, menatapnya sejenak, lalu kembali melihat ke arah lapangan basket.
"Kamu pernah punya pacar berapa Mik, sebelum sama aku?"
"Ha? Mantan maksudmu, Mas?" Aku kembali menoleh dengan kaget.
"Iya, aku boleh tau siapa aja mantanmu?"
"Tapi kasi tau aku juga, siapa aja mantan Mas Doni, hehe, gimana?"
"Boyeh, siapa atut, Mika duluan!" serunya manja lalu tangannya menopang dagu, seolah siap menyimakku dengan serius.
Dalam hati, aku tidak yakin akan memberitahukan siapa mantanku. Tapi sekali lagi, aku tak bisa mendiamkannya terlalu lama. Mas Doni, dengan penampilannya yang apa adanya, nyatanya telah menyita perhatianku. Bahkan aku tak mampu menguasai lidahku sendiri.
"Satu aja kok, Mas. Sekarang, anak SMAK." ucapku datar namun sambil membayangkan Rio tentu saja. "Kalo Mas? Banyak banget ya? Haha..."
"Haha, ya banyakan aku berarti ya. Aku pernah sama si Sari, waktu SMP. Terus putus sama Sari, aku sama Vivi. Gak lama putus, balik lagi sama Sari. Terus deket sama Linda temenmu kelas sebelah tuh, teruuss.. adalagi.. ,"
"Bentar, bentar.. Sari siapa? Vivi siapa?" tanyaku memotong perkataannya.
"Sari ini adik kelasku waktu SMP sih, kayaknya kamu gak kenal juga sama dia, kan beda sekolah. Kalo Vivi, itu temennya Radit satu kelas. Jadiannya waktu kelas 1 SMA, bentaran doang. Abis tu kan balik lagi aku sama Sari."
"Terus sama Linda? Jadian atau crush aja?"
"Dia aja yang suka sama aku. Obsesi berlebihan. Dia nembak aku, tapi jadinya aku malah ilang feeling sama dia."
"Haha.. sumpah, emang Linda itu kecentilan, kita aja males kalo jam olahraga bareng sama kelas dia, Mas."
"Kalo Mika, mantanmu emang beda... ya? Anak SMAK katamu, kan?"
"Iya bener mas, kita beda keyakinan. Tapi selama aku sama dia mulai SMP, kita gak pernah masalahin itu." Aku tersenyum, namun hatiku menangis membayangkan Rio.
"Kalo boleh tau, putusnya kenapa?"
"Gak, gak.. Mas Doni gak perlu tau," aku tertunduk menjawab pertanyaan Mas Doni. Aku tahu, cepat atau lambat pastilah Mas Doni menanyakan hal tersebut.
"Sekali lagi aku ingin melupakan Rio. So please, siapapun, jangan buat aku mengingatnya lagi." Aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri.
Sesaat aku menoleh, Mas Doni menorehkan sesuatu di dinding terluar balkon, yang tertutup daun dan sekilas tak akan terbaca oleh siapapun. Doni Mika, dan ada lambang hati di tengahnya.
"Aku sudah lama suka sama kamu, Mik." Ujar Mas Doni singkat sambil terus mengulangi tulisan itu hingga tampak tebal bila terbaca.
"Aku pun tahu, kamu suka sama Boy, kan?"
Aku betul-betul tak pernah menyangka atas apa yang dikatakan Mas Doni. Tampaknya dia tipe cowok pendiam, namun dia memperhatikan segala sesuatunya dengan detil. Dia pun tahu, hari itu terhitung 3 hari aku menggunakan kaos kaki yang sama, kaos kaki putih bergambar kumbang kecil berwarna merah di ujung atasnya.
"Gak bau kah kaoskaki mu? Haha.." Dia berkata dengan tertawa lepas. Lalu disenggolnya sepatuku dengan sepatunya. Aku salah tingkah dibuatnya karena memang itu kaos kaki kesukaanku.
"Haha.. coba aja cium, aromanya gimana," aku mencoba mengangkat kaki ku sedikit ke arahnya. Lalu dengan tampang konyolnya, dia merunduk sedikit meraih ujung sepatuku,
"Bau aroma surga, Mik, hehe," ucapnya dengan menyengir menahan bau.
"Haha.. ngawur, aroma surga katamu. Bau banget ya?"
"Enggak, bau aroma surga, beneran," Raut mukanya yang mulai geli tetap ditahan agar nampak serius di hadapanku.
"Surga kan di telapak kaki ibu, dan ini bau surga di telapak kakimu sebagai.. ," Mas Doni berusaha melanjutkan perkataannya, namun tiba-tiba..
[DUAAKKK !!!]
Suara yang keras disertai hantaman yang keras.
Bola basket melayang menimpa kepalaku.
Begitu keras, kepalaku seperti kejatuhan batu yang begitu berat. Aku bahkan tak mampu merasakan badanku. Pandanganku berputar. Aku seperti terjatuh dalam jurang yang dalam, berusaha menarik siapapun agar aku tak jatuh terlalu jauh.
Tanganku mengulur, meraih apapun di hadapanku. Napasku terasa berhenti. Aku tak bisa merasakan oksigen. Kaki ku tak lagi menapak lantai. Angin berhembus seolah siap menerbangkanku. Ringan seperti bulu. Yang kurasakan hanya hampa, tak ada panas tak ada dingin. Mas Doni yang ku lihat badannya besar dan tinggi, kini tampak kecil dan semakin jauh.
Gelap seketika.
Sayup aku mendengar suara, Mika.. Mika..
Ramai sekali yang meneriaki memanggil namaku. Namun aku tak tahu siapa, dan kenapa aku hanya melihat kegelapan.
Aku merasa badanku bergerak menuju suatu tempat, tapi bukan kakiku yang berjalan. Aku merasa ada sedikit hembusan angin menerpa wajahku, tapi kenapa aku tetap tak bisa melihat apapun.
***
Perlahan aku melihat cahaya melalui mataku. Berapa lama aku pingsan, tanyaku pada diriku sendiri. Apa aku masih hidup. Apa aku masih berada di dunia. Batinku.
Tanganku mulai terasa hangat. Seorang Mas Doni menggenggam tanganku dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memijit perlahan ibu jari kakiku. Hal pertama yang aku lakukan adalah terbangun dan tersentak kaget. Aku hempaskan tangan Mas Doni seketika aku menyadarinya. Lalu aku berpaling, dan aku sadar bahwa tak hanya Mas Doni, namun ada Bu Sari dan Bu Vemi turut menjagaku di ruang UKS.
"Kamu gak papa, Mika. Tadi kamu pingsan kena bola basket," kata Bu Vemi penuh kecemasan. Mas Doni tetap duduk di sampingku, meraih segelas air teh hangat, "Minum dulu."
Aku meneguk sedikit teh hangat itu. Rasanya begitu tawar, dan nyaris pahit. Dan ada lagi, rasanya kepalaku begitu pening. Ngilu yang tak bisa ku sebutkan. "Aduh, sakit, kenapa ya." Aku menyentuh sekitar pelipis kananku, ada plester yang melekat dan sedikit darah tampak mengering pada permukaannya.
"Kamu tadi kena timpa bola basket, Mika. Terus pingsan. Sekarang apa yang kamu rasakan? Apa perlu ke rumah sakit, biar Doni yang antar gak papa." Bu Vemi berusaha menjelaskan apa yang terjadi. "Kamu pucat sekali, Mika. Apa ke rumah sakit saja?" seru Bu Sari menimpali.
Sekali lagi Mas Doni menggenggam tanganku, namun seketika aku lepaskan saat itu juga. Aku merasa malu karena tidak seharusnya Mas Doni memegang tanganku di hadapan kedua guru kami. "Saya baik-baik saja bu, bentaran pusingnya mungkin hilang. Masih perih aja disini." Aku memegang pelipisku sembari berusaha untuk duduk tegak. Meski dalam hati aku pun mencemaskan diriku sendiri karena aku tak tahu seberapa parah cedera yang ku alami.
"Jagain dulu aja, Don. Kalo bel masuk, dia masih ingin disini ya sudah gak papa. Yang penting kamu tetap masuk kelas. Ingat, sudah kelas 3, gak boleh sering bolos ya." ujar Bu Vemi pada Mas Doni seraya beranjak menuju pintu UKS.
"Doni gak boleh macem-macem loh ya. Ini kalian pacaran bukan sih? Ga boleh ngapa-ngapain di sekolah. Ngerti Doni!" seru Bu Sari menambahkan pernyataan Bu Vemi, dan ikut serta hendak keluar UKS.
Aku diam tak menyahut, menikmati rasa perih dan ngilu di kepalaku. "Siapa yang lempar bola sih tadi, Mas?" tanyaku. "Titok." jawabnya singkat.
"Mas balik aja ke kelas. Aku mau tiduran. Gak enak kalo diliatin temen-temen dari kaca, kan."
Mas Doni beranjak dari tempatnya duduk, di sebelahku. Tanpa berucap sepatah katapun, dia berjalan menuju pintu UKS. Membuka pintu dengan perlahan dan mulai melangkah keluar.
"Mas, sebentar," panggilku. "Siapa yang bawa aku kesini?"
Sejenak langkah Mas Doni terhenti. Lalu menoleh padaku, "Aku yang gendong kamu tadi." Lalu dia menutup pintu UKS dari luar dan berjalan menuju kelasnya disertai dering suara bel berbunyi.