Chereads / Mengapa Kita Harus Dipertemukan? / Chapter 21 - Kehidupan baru

Chapter 21 - Kehidupan baru

Suara adzan dilantunkan di sana-sini, membangunkan mereka untuk segera melaksanakan ibadah. Subuh yang menenangkan. Tua maupun muda berombongan-rombong menuju masjid. Begitu juga dengan Satria , bersama dengan Dewa pergi ke masjid untuk sholat subuh berjamaah.

Seseorang masuk kedalam sebuah kamar bernuansa warna merah jambu. Derap langkah seseorang terdengar menuju ke arah ranjang. Tepukkan lembut di bahu membuatnya terbangun. " Bangun, fi! Mandi terus ambil air wudhu. Kakak akan menyiapkan semua keperluan mu.!" suara Emma berhasil menyadarkan Hafi dari lamunan nya.

Hafi menganggukan kepalanya. Hafi segera pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri, ia mengenakan mukena dan melaksanakan kewajibannya.

" Pagi! " sapa Hafi sambil memeluk Emma dari belakang. Emma yang tengah menyiapkan sarapan tersentak kaget dengan kejutan dari Hafi barusan.

Emma mencubit kedua pipi Hafi. Agak sedikit kesulitan karena tinggi badan Hafi. " Apa suami ku sudah pulang?." tanya Emma kepada Hafi.

Asal kalian tahu. Emma dan Satria sudah resmi menjadi suami-istri. Emma tinggal bersama dengan Dewa dan Hafi sudah tiga tahun lebih dan memiliki dua anak kembar yang imut dan menggemaskan.

Hari ini Hafi akan berangkat untuk menjalankan masa Akmilnya. Cita-cita nya ingin menjadi abdi negara kini akan ia capai.

Orang yang di cari akhirnya muncul juga. Satria dan Dewa duduk di kursi menunggu sarapan mereka yang tengah disiapkan oleh Emma. Satria sudah siap mengenakan seragam loreng nya. Dia akan mengantar adik kesayangannya menuju tempat dimana adiknya akan mulai mempelajari ilmu baru sebagai calon abdi negara.

"Sayang, tolong bangunkan Alan dan Alana. Mereka harus dibiasakan untuk bangun pagi." Kata Emma.

Satria mencium kening Emma. "Baiklah, sayang" jawab Satria. Melangkahkan kakinya menuju lantai dua, dimana Alan dan Alana masih tertidur dengan lelap di kamar.

Wajah Emma tersipu malu mendapatkan ciuman cinta dari suaminya. Dewa dan Hafi berdecak kesal melihat tingkah Emma yang masih seperti anak remaja. "Sudah sering dapat ciuman, masih aja malu-malu." Kata Dewa.

Emma mendelik kesal kearah Dewa. "Dari pada ngomel, lebih baik cepat-cepat nikah." seru Emma.

"Pfftt... " Hafi menahan tawanya saat melihat raut wajah kesal Dewa terhadap Emma. "..Aku masih ingin menikmati masa muda ku!." seru Dewa.

" Ckckckck.., umur 32 tahun kau sebut masa muda?."

Hal yang paling menarik adalah melihat Dewa dan Emma yang tengah bertengkar hebat saat ini. Anggap saja Hafi ini anak yang menikmati sesuatu yang menurutnya menarik untuk dilihat.

Kaki mungil berdiri dipangkuannya. Hafi mendongak saat melihat keponakkan nya tengah tersenyum ceria kearah nya. Rupanya Satria yang membawa Alan menuju pangkuannya. "Uh!masih bau ini." goda Hafi sambil mencium kedua pipi Alan. Alan yang merasa geli meresponnya dengan senyuman cerianya. Suara ketawa khas anak balita dapat di dengar jelas oleh Hafi.

Alana yang berada dalam gendongan Satria merasa cemburu dengan kedekatan Alan dan Hafi. Dia memberontak dalam gendongan nya sambil menangis meminta Hafi untuk membawanya dalam pelukkannya.

" Duh,kenapa keponakkan ku ini menangis?." Kata Dewa menenangkan Alana. Membawa Alana kedekapannya. "Alan dan Alana benar-benar dekat dengan Hafi." Kata Satria.

Emma duduk disamping Satria setelah menaruh makanan di atas meja makan. "Kalau sampai mereka berdua tahu jika hari ini Hafi akan pergi, pasti mereka akan menangis kencang." seru Emma.

Dewa menyerahkan Alana kepada Hafi sehingga Alana dan Alan berada dalam pangkuan Hafi. "Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh agar cepat menyelesaikan akmil ku dengan baik..." tangannya sibuk menikmati roti isi."...aku tidak sanggup meninggalkan kedua keponakkan kesayangan ku ini~" sambil memeluk Alan dan Alana.

"Pasti Alan dan Alana sudah tumbuh besar setelah kau pulang kerumah..." seru Emma.

***

Zea Adrian. Siapa yang tak kenal dengan pianis terkenal ini ? Saat usianya 17 tahun, Zea sudah memenangkan berbagai kejuaraan di posisi pertama.

Kehadiran Zea di depan pintu rumah keluarga Prayoga tentu menjadi tanda tanya besar. Kenapa seorang pianis terkenal itu datang berkunjung?.

Zea memperlihatkan senyuman ramahnya di hadapan Hafi. " Maaf mengganggu waktunya..." seru Zea. Hafi merespon perkataan Zea dengan gelengan kepalanya.

Sebuah amplop diserahkan kepada Hafi. Amplop yang diyakini oleh Hafi berisikan sebuah surat. Anehnya, tidak ada nama pengirim surat tersebut. Apakah Zea yang menulis surat untuknya?.

" Itu, surat dari Elina..."

Satria mencengkram pergelangan tangan Zea begitu kuat. Mendengar nama Elina entah mengapa membuat Satria menjadi marah. "Apa dia ingin mengancam adikku?" kata-kata nya penuh nada amarah.

Zea sempat terkejut mendapatkan respon kurang menyenangkan tersebut. Tapi, ia berhasil mengendalikan ekpresinya seperti biasa. "Saya terkejut saat tahu jika Elina salah satu anggota teroris. Tapi, surat itu memang dari Elina. Dia sendiri yang menyerahkannya kepada ku saat berusaha menyelamatkan ku."

"Elina menyelamatkan mu?." kata Hafi yang tidak percaya dengan perkataan Zea barusan. Zea menganggukan kepalanya. "Mungkin dia memang orang jahat. Tapi, dia juga orang biasa seperti kita...". Pemikiran Zea sama seperti dengan Hafi waktu dipertemukan dengan Elina ditaman.

Satria melepaskan cengkraman nya."Ha~,terserah kau saja." kata Satria yang sudah dapat mengendalikan emosinya.

"Mampirlah, akan ku siapkan minuman untuk mu." kata Dewa.

Zea menggelengkan kepalanya. "Saya ada jadwal pertunjukkan pagi ini, dan saya baru ingat tentang surat itu. Sebab itulah saya segera kesini untuk menyerahkannya." kata Zea.

"Terima kasih, ka Zea. Aku akan membaca surat ini dalam perjalanan ku." jawab Hafi ditambah dengan senyuman menawan nya.

"Sepertinya kau akan melanjutkan pendidikan mu. Semoga sukses." Zea mengulurkan tangannya kepada Hafi. Hafi membalas uluran tangan Zea. Mereka bersalaman. "Ka Zea juga." kata Hafi.

Zea melambaikan tangannya setelah berpamitan dengan keluar Prayoga. Menutup mobil sedan hitamnya dan menyuruh sang supir untuk melajukan mobil menuju alamat yang akan dituju.

***

Gunthur Admiral Nathan menatap gundukkan tanah di depannya. Tanah nya penuh dengan karangan bunga. Ia berjongkok, menaburkan kembali bunga di atas gundukkan tanah itu.

"Sudah tiga tahun berlalu. Apa kau baik-baik saja, Abbiyya?." kata Nathan pada nisan dihadapannya.

"Kita bertemu saat menatap laut.." tangannya bergetar. "...Kau pasti bahagia bisa bertemu dengan kedua orangtua mu disana." tangannya yang gemetar kini membersihkan beberapa rumput yang tumbuh disekitar gundukkan tanah itu.

Langit begitu cerah pagi ini. Angin pagi bertiup dengan lembut. Udara pagi nan dingin cukup menusuk pori-pori kulit nya. Walau dingin, Nathan masih berada di tempat. Enggan untuk beranjak dan pergi.

Sepenggal memori kenangan yang dilaluinya dengan Abbiyya masih melekat dipikirannya. Setelah sekian lama, Nathan berdiri. Memutuskan untuk beranjak pergi dari pemakaman umum. Langkah kakinya terasa berat, enggan meninggalkan Abbiyya.

Nathan kembali menoleh ke arah makam. Tersenyum kecil kearah makam tersebut. "Aku akan mengunjungimu lagi jika ada waktu luang." gumamnya. Berjalan sendiri keluar makam. Sebuah mobil sedan berhenti tepat dihadapan Nathan. Alvar keluar dari dalam mobil dan segera memberi hormat kepada Nathan.

Nathan kini sudah naik jabatan menjadi Letnan Kolonel. Setelah menjalankan berbagai tugas yang sulit. Akhirnya usaha nya bersama regunya membuahkan hasil. Kini mereka naik jabatan.

Nathan membalas hormat."Kita segera pergi." perintah Nathan tegas. Segera ia dan Alvar pergi meninggalkan pemakaman umum.

Waktu begitu cepat berlalu. Masa lalu biarlah berlalu. Nathan sudah melepaskan kepergian Abbiyya, karena kenangan yang mereka ukir akan menjadi memori yang akan ia ingat. Memori tentang Abbiyya pernah menemaninya, menyemangatinya. Navy Abbiyya, sahabat baiknya.Selamanya.