"Kenapa status jomblo selalu dikaitkan dengan kengenesan?" Tanya Riv setelah menghabiskan satu mangkok mie ayam.
Pra mengangkat bahunya lalu berkata,"Maybe kalau lo jomblo, lo bakal ngelakuin apa-apa sendirian."
"Gak make sense banget si kalau alasannya cuma karena itu," jawab Riv lalu mulai berpikir.
Benar-benar alasan yang tidak masuk akal, apa setiap jomblo selalu dikaitkan dengan kata 'ngenes'? Padahal terkadang kita juga butuh waktu sendiri tanpa adanya orang lain bahkan pacar sekalipun. Lagipula Riv juga tidak pernah merasa ngenes dengan hidupnya. Selama ada keluarga, sahabat, dan makanan Riv tidak masalah jika harus jomblo.
"Emang kalau lo melihat ke-uwuan orang lain lo nggak merasa pengin?" Tanya Pra lalu mengajak Riv meninggalkan warung mie ayam. Tentu setelah membayar makanan mereka.
"Ya pengin, tapi kan bukan dengan nyudutin orang yang jomblo. Gue bahagia kok jomblo," ucap Riv dengan bangga.
"Halah, siapa yang sering curhat kalau lihat yang lain uwu-uwu?" Sialan memang Pra membuka aibnya.
"Yaaa gak gitu juga kali Pra. Tapi gue seneng kok jomblo. Dan kasih gue satu aja alasan kenapa punya pacar itu perlu?" Tantang Riv.
"No! Bukan cuma satu alasan tapi banyak banget alasannya. Dan sebelum lo ngomel lagi, emang banyak alasan lo perlu punya pacar dan ada gak kalah banyak alasan gak perlu pacaran. So, let it flow Riv," jawab Pra dengan bijak seraya mengacak-acak rambut Riv.
"Gue sih maunya langsung nikah aja gitu. Gak usah ada pacar-pacaran," kata Riv membetulkan tatanan rambutnya yang acak-acakan akibat ulah Pra.
"Beneran? Ati-ati kemakan omongan sendiri," ucap Pra menaik-turunkan alisnya menggoda.
"Aamiinin kek! Ini niat yang baik," kesal Riv menggeplak tangan Pra yang lagi-lagi malah dia yang harus merasa kesakitan.
"Ya tapi jangan sampai lah kemakan omongan sendiri, tau-tau beberapa minggu or bulan ke depan lo udah pacar-pacaran lagi," ucap Pra sambil tertawa karena berhasil menggoda Riv.
"Gak tau ah bingung gue!" Kesal Riv lalu meninggalkan Pra menuju sepedanya yang terpakir rapi di depan cafe.
"Let it flow. Itu pesen gue," ucap Pra seraya mengelus kepala Riv lembut dan langsung masuk ke cafe.
Pra memang bisa membuatnya kesal dan baper di waktu yang bersamaan. Eh tapi kalau pacarnya modelan seperti Pra begitu Riv tidak akan menolak.
***
Hobbinya menulis dan memasak namun malah masuk keperawatan, itulah Riv. Sebenarnya itu keinginan kedua orangtuanya, sebagai anak Riv bisa apa? Rida orang tua itu sangat penting.
Masuk prodi keperawatan di sebuah universitas negeri bergengsi merupakan sebuah anugerah terindah untuk Riv, maka dari itu walaupun tidak sesuai passionnya Riv menjalani dengan sepenuh hati.
Susah memang awalnya, namun lama-kelamaan Riv mulai mencintai setiap ilmu yang diberikan dosennya. Riv masih sesekali menulis untuk menambah uang jajannya, sesekali juga membuat beraneka macam makanan yang kemudian dibagi-bagikan kepada teman-temannya.
Riv juga memiliki kedua orang tua yang sangat pengertian, juga para sahabat yang selalu mendukungnya. Yah paling-paling yang menyebalkan itu statusnya sebagai jomblo.
Riv bahagia dengan statusnya, tentu saja namun terkadang omongan orang-orang disekitarnya membuat Riv berpikir beberapa hal terkait status jomblo dan perlunya seorang pacar.
Riv tidak tahu, ada saja hal yang menghalanginya untuk berhubungan dengan pria. Entah kenapa ada rasa bersalah jika harus berhubungan dengan pria — Pra adalah pengecualian— Riv tidak tahu mengapa, ia merasa seolah jomblonya ini sudah benar tanpa ada seorang pria pun sebagai gebetan atau apalah itu.
Riv menghela napasnya keras, tidak ada yang bisa dilakukannya setelah pulang kuliah. Para sahabatnya sudah bisa ditebak pasti sedang berkencan dengan kekasih tercinta padal ini bukan malam minggu.
"Jaman sekarang tuh malam apa aja sama," Riv ingat ucapan Bila waktu itu saat Riv bertanya kenapa tidak berkencan saat malam minggu.
Riv memandang tanaman-tanaman yang ditanam Papa Riv dikala senggang. Tanaman-tanaman itu menari-nari terkena angin seolah mereka menertawakan Riv dengan tariannya. Huh, bahkan Riv sampai berpikir yang tidak-tidak saat ini.
"Dasar jomblo. Sana cari pacar, Mama lihat Dan cocok buat kamu," sindir Mama Riv saat melihat putri bungsunya hanya terdiam melamun di gazebo.
"Alah, Mama aja gak pernah setuju aku pacaran tapi sok-sok an nyuruh cari pacar. Apa tadi? Sama Dan? Mama rela anaknya jadi yang kedua?" Tanya Riv berturut-turut seolah menemukan sesuatu yang cocok untuk sasaran kemarahannya.
Maafkan anakmu Ma. Pusing,, masih ditambahin lagi.
"Ck dasar. Nih, kasihin makanan buat Dan. Anak itu pasti gak makan," ucap Mama Riv seraya menyerahkan rantang tiga tahap tingkat.
Wait, wait, wait apa Riv tidak salah dengar? Mamanya seperti sedang mengkhawatirkan Dan! Riv saja yang anaknya tidak pernah dikhawatirkan seperti itu.
"Gak mau Ma! Riv kemarin habis kesana masa sekarang kesana lagi?" Tentu saja Riv menolak perintah dari sang Mama. Ingatlah Riv jika bertemu Dan itu hal yang paling Riv hindari sebisa mungkin.
"Riv, kamu gak kasihan? Dia tuh susah banget makannya," ujar sang Mama.
"Mah, dia kan bisa makan sendiri. Masa punya anak gak dikasih makan si?" Tanya Riv bingung. Apa Bintang belum dikasih makan? Ini sudah siang tentu saja mereka sudah makan tapi kenapa mamanya repot-repot seperti ini sih Riv juga ikut repot.
"Walaupun Bintang udah makan ya Bintang aja yang makan. Dan kalau gak terpaksa gak makan. Nih suruh bawa ke kantornya," jawab Mama Riv.
"Yakali gak makan Mah. Bisa is dead duluan dong. Lagian kemarin aku buatin muffin habis banyak kok," Riv tentu ingat saat muffinnya hampir dimakan Dan sendirian.
"Alah, udah sana jangan banyak cingcong!" Usir Mama Riv seraya menyeret tangan anaknya agar segera mengantarkan makanan.
Riv hanya bisa pasrah dan sesekali menggerutu sebal. Bisa-bisanya sang mama malah menomorsatukan orang lain sedangkan Riv disuruh-suruh padahal kan Riv juga baru makan sekali.
"Assalamualaikum," salam Riv sambil mengetuk pintu rumah Dan.
Baru saja Riv akan mengucapkan salam kembali, pintu rumah sudah terbuka menampakkan Dan yang sudah rapi memakai jasnya. Duh ganteng sekali suami orang, batin Riv.
"Kenapa?" Tanya Dan datar. Apa tidak ada ekspresi atau intonasi lain dalam diri Dan? Tentu tidak, hanya ada datar dan dingin yang membuat Riv eneg sendiri.
"Mama ngasih makanan katanya suruh bawa ke kantor," jawab Riv menyerahkan rantang kepada Dan. Dan mengambil rantang tersebut lalu berjalan melewati Riv begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih.
"Yah, Om ati-ati. Itu yang masak aku, kalau aku gak rida nanti Om yang sakit. Bilang makasih kek apa kek, gak rida beneran malah Om yang kena," ucap Riv. Riv tidak berbohong, itu masakan percobaannya namun rasanya sangat mantap.
Dan berhenti sejenak namun tidak menjawab. Setelah sampai di mobil tanpa kata Dan mulai memasuki mobil dan meninggalkan rumah meninggalkan Riv yang kian memupuk kesebalan kepada Dan.
TBC