Telinganya berdenging sedangkan pandangannya mengabur. Riv meruntuki dirinya yang sok pahlawan, bukannya menyelamatkan malah dirinya yang terkena.
Sungguh malang sekali nasibnya kini. Pandangannya mulai hitam namun dia bisa merasakan ada yang mengangkat kepalanya pelan lalu wajah Dan terlihat samar.
Ada ekspresi sedih, khawatir, kecewa dan banyak lagi yang bisa Riv lihat walau samar. Mata Dan tampak lain, tampak berkaca-kaca? Tapi untuk apa?
"Rivera hei bangun. Jangan begini," suara Dan terdengar seperti dongeng penghantar tidur untuk Riv lalu semuanya benar-benar hitam.
Riv pingsan karena tonjokan Dan yang meleset.
***
Riv membuka matanya perlahan. Bau rumah sakit, bau yang tidak Riv sukai sejak enam bulan yang lalu. Bau yang mengingatkan Riv tentang sesuatu, sesuatu yang menyakitkan.
Riv melenguh pelan namun membangunkan seseorang yang tertidur sambil duduk di sebelahnya. Riv sadar jika seseorang itu tak lain tak bukan ialah Dan.
"Mau minum?" Tanya Dan sedikit lembut mungkin karena rasa bersalahnya? Ah, Riv tidak ambil pusing soal itu karena kepalanya benar-benar terasa sakit hingga menyebabkannya meringis.
"Kenapa? sakit?" Tanya Dan lagi sambil mengelus dahi Riv sebentar.
"Ya Om pikir dong gimana sakitnya kena tonjokan Om yang berbadan super itu?" Tanya Riv kesal setelah sakit kepalanya lumayan reda.
"Makanya jangan ikut campur urusan orang," jawaban Dan sungguh membuat Riv ingin menonjok wajah Dan, sebagai balasan untuk Dan.
"Gimana gak ikut campur? Kalau orang itu meninggal gimana?" Ujar Riv lalu mengerucutkan bibirnya.
"Biar."
Riv kontan langsung menolehkan kepalanya kearah Dan. Sayang, gerakan refleks nya tersebut malah membuat kepalanya mendadak sangat sakit lagi.
"Ah," ringis Riv lalu memejamkan matanya guna menetralkan rasa sakit kepalanya.
"Jangan banyak bergerak!" Perintah Dan lalu memijat super lembut kepala Riv.
"Om."
"..."
"Om."
"..."
"Ih aku mau tanya!" Sebal Riv. Untung saja Dan langsung menolehkan wajahnya, kalau tidak sudah Riv tendang dari sini.
"Kenapa?"
"Mama, Papa sama Kak Sam mana?" Tanya Riv karena tidak melihat keberadaan keluarganya.
"Saya suruh pulang," jawab Dan enteng.
What? Bagaimana bisa kedua orang tua dan kakaknya meninggal Riv sendirian dengan Dan yang notabene orang asing ini? Riv rasanya pusing memikirkan kedekatan keluarganya dengan Dan.
"Om, aku nggak gegar otak kan?"
"Gak."
"Nggak kenapa-napa kan kepalaku?
"Gak."
"Gak amnesia kan?"
"..." Dan tidak menjawab yang membuat Riv melanjutkan kalimatnya dalam gumaman sambil menunduk.
"Untung aja enggak amnesia. Bisa gila gue kalau gitu. Ih, nggak banget deh ngelupain orang-orang yang penting di hidup gue," gumam Riv pelan.
"Jadi orang yang tidak penting dilupakan?" Riv terkejut karena ternyata Dan mendengar suaranya.
Riv mendongakkan kepalanya dan mendapati Dan tersenyum tipis namun dengan wajah sangat sangat datar dan dingin.
Tanpa mengatakan apapun, Dan pergi dari kamar perawatan Riv sembari menutup pintu lumayan kencang.
"Gila ya tuh orang? Pasti gue tadi cuma halusinasi aja. Dia khawatir? Impossible!" Kata Riv lalu membaringkan dirinya melanjutkan tidur.
Baru sekitar satu jam Riv sudah bangun kembali saat merasakan perutnya keroncongan minta diisi. Seingatnya ia hanya hanya sarapan sedikit dan makan martabak manis lalu setelah kejadian itu ia belum makan sama sekali pantas saja perutnya keroncongan.
Kamar rawat sepi. Dan tidak ada di sini. Riv memutuskan untuk turun dari ranjang namun baru sadar tidak terpasang infus di tangannya. Padahal tidak perlu dibawa ke rumah sakit juga bisa, kenapa harus sampai rumah sakit sedangkan keluarganya tidak ada yang menunggui?
Riv membuka pintu dengan pelan, alangkah terkejutnya dirinya saat mendapati Dan duduk melamun di kursi depan kamarnya.
"Om!" Panggil Riv dengan berbisik.
"Om!" Panggil Riv kembali saat Dan tidak juga sadar dengan panggilannya.
Aha! Riv punya ide brilian!
Riv mendekatkan dirinya kearah telinga Dan, lalu berbisik sensual tepat di telinga Dan, "Om Dan!"
Dan langsung menolehkan wajahnya namun nahas bagi Riv yang masih pada posisinya. Hidung mereka saling bersentuhan sedangkan bibir mereka pun bergesekan.
Riv membulatkan matanya lalu buru-buru menjauh dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa namun dalam hati meruntuki kejadian memalukan tersebut. Bagaimana bisa dia berciuman dengan laki-laki berstatus suami orang? Riv tidak ingin dicap sebagai pelakor! Sangat No!
"Aku laper," kata Riv seolah tidak terjadi apa-apa.
Dan bangkit dari duduknya lalu memberikan kode agar Riv masuk ke dalam kamarnya lagi. Riv menurut lalu Dan pergi entah kemana.
Setelah menunggu lima belas menit Dan datang membawa bubur ayam. Riv tidak masalah asalkan tidak makanan rumah sakit yang sejauh ini pernah Riv makan hanya memiliki satu rasa.
"Habiskan!" Perintah Dan lalu duduk di sofa.
Riv menghabiskan bubur ayam itu selama sepuluh menit. Biasanya ia tidak selama itu makannya, namun setelah ciuman tidak sengaja tadi membuat setiap kali Riv memasukkan makanan kedalam mulutnya dengan sendok pasti mengingat kejadian tadi.
Riv melirik Dan yang hanya diam saja. Riv akui jika Dan memiliki pengendalian diri yang baik. Tidak ada ekspresi apapun di wajah Dan.
Riv ingat sesuatu namun enggan menanyakannya ke Dan karena takut disembur kemarahan Dan.
"Bintang saya titipkan Mama kamu," jelas Dan tanpa diminta yang kemudian diangguki oleh Riv.
Sebenarnya Riv lebih penasaran dengan istri Dan yang tidak pernah tampak batang hidungnya itu. Apakah istri Dan tidak marah jika suaminya malah menunggui perempuan lain?
"Besok kamu boleh pulang," ujar Dan lagi yang kembali hanya mendapatkan anggukan tidak bermakna dari Riv.
Tentu saja besok sudah boleh pulang. Dirinya saja merasa sehat setelah tidur walaupun kadang sakit kepalanya menghampiri namun masih dalam batas wajar daripada saat pertama kali mendapat bogeman tidak terduga itu.
Soal ekspresi Dan tadi sudah benar-benar hilang di mata Riv. Mungkin saking pusing kepalanya membuat Riv berhalusinasi Dan sedang mengkhawatirkannya.
Lihat saja sekarang ini, bahkan setelah membuat Riv pingsan dan masuk rumah sakit saja Dan tidak mengucapkan kata maaf padanya.
Setidaknya Dan minta maaf bukan hanya bertanggung jawab seperti ini. Dengan Dan minta maaf Riv jadi tau kalau sebenarnya Dan itu punya hati. Tapi sampai sekarang saja Dan tidak meminta maaf.
Dan malah duduk tenang di sofa seolah merasa ini bukan kesalahannya padahal jelas-jelas ini kesalahan Dan.
Bukannya Riv gila maaf. Kalian jangan berpikir jika Riv itu ribet, bukan seperti itu. Riv tidak bisa menjelaskannya.
"Riv," Riv menoleh saat Dan memanggilnya.
"Kenapa?" Tanya Riv lalu mengalihkan pandangannya dari Dan dan menatap lurus ke depan. Asalkan tidak melihat wajah Dan yang datar itu.
"Saya—" Riv tidak bisa begini. Maka dengan penasaran Riv mengalihkan pandangannya kembali ke arah Dan.
"Saya minta maaf," ucap Dan memandang Riv lurus-lurus.
Ternyata..... Dan masih punya hati.
***