...
Beberapa hari telah berlalu, Farah telah menyiapkan berbagai kebutuhannya untuk tes nanti. Tinggal menunggu harinya tiba, maka saat itu pula genderang pertempuran pun berbunyi.
Saat ini Farah tengah duduk santai pada sofa kayu di ruang tamunya. Kenapa Farah tidak belajar? Ohoho jangan salah, Farah sudah belajar sedari dulu. Dia bukan tipe orang yang belajar sehari semalam alias SKS (Sistem Kebut Semalam). Maka dari itu, ia tidak perlu khawatir akan materi-materinya kelak, karena dia sudah mempersiapkannya jauh sebelum harinya tiba nanti. Mungkin sesekali dia akan belajar untuk mengulangi kembali materi yang cukup sulit dikuasainya agar ketika tes nanti dia benar-benar sudah hafal.
...
Saat ini jam telah menunjukkan pukul 7 malam lebih beberapa menit, setelah selesai shalat Farah, Abah dan Emak pun makan bersama di ruang makan yang masih satu ruang dengan ruang tamu namun diberi pembatas atau sekat berupa sebuah lemari besar tempat menyimpan televisi dan barang-barang lainnya.
Seperti biasanya setelah makan mereka akan mengobrol seputar urusan keluarga dan lainnya, terlihat harmonis? Jelas. Obrolan akan membuat hubungan keluarga lebih dekat dan harmonis, keterbukaan membuat semuanya terasa lebih hidup rukun.
Di ruang tamu
"Mak, Zein dimana?", Tanya Abah.
Emak yang tengah melipat baju bersama Farah di sofa kayu panjang otomatis menghentikan sejenak aktivitasnya tersebut.
"Zein tadi izin pergi belajar Abah, katanya sih abis shalat berjamaah di masjid, dia mau langsung ke rumahnya Kyungkyung bareng si Romi", jelas Emak, kemudian melanjutkan aktivitas melipat baju.
"Kyunghoon Mak", ujar Farah.
"Iya itu"
"Oh... Bule Korea itu Mak?", Tanya Abah.
"Hm", Emak hanya bergumam kemudian obrolan mengalir begitu saja, membahas berbagai macam hal. Mulai dari sekolahnya Zein, masalalu Abah sama Emak, sampai ke gosip terhangat di kampung.
"Oh iya, Tuan dan Nyonya Udin nanti mau kesini. Katanya sih mau lamar kamu Rah, buat si Jamal", sela Emak tiba-tiba.
"Apa? Nggak Mak, Farah gak mau. Mak kan tahu Farah tuh pengennya kul..."
"Kuliah?", Sela Emak.
"Iya toh? Kamu pengennya kuliah? Percuma Farah... Kamu gak usah punya pendidikan tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya juga nanti kamu pasti ke dapur, sumur, ngurus suami, ngurus anak. Udahlah, kamu nikah aja tuh sama si Jamal"
Seketika suasana pun berubah, semuanya tegang. Farah bersikukuh ingin melanjutkan pendidikan, Emak ngotot ingin Farah untuk menerima pinangan dari Tuan dan Nyonya Udin, sedangkan Abah sendiri bingung, beliau juga baru tahu akan berita lamaran ini.
"Tapi Mak, pendidikan juga penting. Namanya ngajar sama ngurus anak juga harus berilmu, ada kalanya kelak anak-anak ku nanti pasti bertanya berbagai hal mulai dari pertanyaan-pertanyaan aktifnya di usia balita hingga pertanyaan mengenai pembelajarannya di sekolah. Mak tahu sendiri tanggungjawab istri itu urus suami sama anak, dan anak pasti akan lebih sering dengan ibunya. Ketika ayahnya kerja ibunya di rumah. Saat itulah pembelajaran dan tugas seorang ibu berlangsung. Mak tahu sendiri, Abah juga kalo urus anak gak sebesar waktu Mak denganku dan Zein, terkadang seorang suami lebih fokus untuk mencari nafkah Mak. Karena emang tugas utama istri itu urus rumah, suami, dan anak"
"Gak usah ceramah deh kamu. Mak lebih dulu lahir daripada kamu. Mak sudah bilang bukan? Percuma kamu kuliah tinggi-tinggi, punya gelar panjang merentet kayak kereta juga percuma. Jadi istri gak perlu gelar Rah. Kuliah tinggi, gelar banyak. Lagian nanti kamu gak perlu kerja, karena apa? Seperti yang kamu bilang. Nafkah itu fokusnya seorang suami, bukan istri. Paham?"
"Tetep aja Mak, pendidikan juga penting. Farah juga punya cita-cita Mak. Farah ingin gapai cita-cita Farah dulu. Kalau Farah udah merasa cukup, dan kelak Farah menikah. Farah juga akan berhenti kok buat kerjanya"
"Denger ya Rah, kamu nikah sama Jamal hidup kamu terjamin. Bukan cuma kamu. Emak, Abah, Zein, seeeeeemua keluarga kamu juga akan terangkat derajatnya. Kita gak perlu jadi bahan olok-olokan warga lagi"
"Mak kalau masalah derajat, insyaallah Farah bisa angkat derajat kita sekeluarga. Farah akan berusaha"
"Dengan apa hah? Kuliah? Gak usah muluk-muluk deh Rah, udah kamu terima apa yang ada aja. Kamu gak perlu capek-capek keluarin biaya, tenaga, dan... dan... dan lain-lain lah pokoknya. Kamu cuma tinggal jadi istri berbakti aja kamu bakal bahagia. Percaya sama Emak"
"Enggak Mak, pokoknya Farah mau sekolah lagi. Emak inget dulu Farah punya tugas sekolah susah, Emak gak bisa bantu. Mak bilang tanya ke Abah. Farah tanya ke Abah, Abah malah balik nyuruh tanya ke Mak. Farah gak mau anak Farah nanti ngalamin kayak gitu Mak. Bukan maksud Farah menyinggung Emak atau Abah, ya... Tapi emang pendidikan itu penting"
"Kamunya aja yang bodoh Rah... Rah... Nih ya, sekarang zaman modern, anakmu nanti tanya ini kek, itu kek. Tinggal cari di hpmu. Cari di sugel"
"Google Mak", sahut Abah.
"Ya iya, maksud Mak tuh itu", jawab Emak sambil nyolot bin melotot.
"Tapi Farah udah daftar kuliah Mak, bentar lagi juga Farah ada tes. Masalah biaya, Mak sama Abah tenang aja. Farah ambil jalur beasiswa"
Akhirnya, setelah sekian lama, Farah pun buka mulut mengenai rencananya tersebut.
"Lancang kamu Farah!", Emak pun naik pitam.
"Berani kamu melakukan itu tanpa persetujuan Emak?"
"Tapi Farah berusaha Mak, Farah juga akan usahain agar Farah gak nyusahin Mak sama Abah kok nanti"
"Gak...gak...gak.. Emak gak setuju. Pokoknya nanti kamu terima lamaran dari Jamal. Titik", jelas Emak dengan bersikukuh.
"Tapi Mak, Farah gak cinta sama Jamal"
"Yang namanya cinta, nanti juga bisa Farah... Cinta bisa belakangan. Saat ini kamu pikir aja, hidup itu harus realistis da.."
"Tapi jangan materialis juga atuh Mak..."
"Jangan potong pembicaraan Emak", sentaknya.
"Sampai mana tadi? Bah, Abah. Tadi Mak ngomong sampai mana?"
"Realistis da...", Jawab Abah.
"Kok gitu? Gak lengkap?"
"Kan emang belum selesai Emak bicaranya, keburu di sela sama si Eneng", jelas Abah dengan sabar.
"Oh iya. Bener. Hidup itu harus realistis dan juga nih ya, kamu pikir aja. Emang nikah cukup modal cinta? Modal pendidikan? Gelar? Enggak Farah.. percuma punya itu semua tapi tidak mapan dan menjamin kelangsungan hidup kamu. Kamu itu manusia, punya perut punya anus yang harus di isi gak cuma buang-buang hajat aja"
"Ih, si Mak mah joooorok"
"Lah, emang iya. Tanya sama Abah, iya kan bah?"
Abah hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Tapi Mak..."
"Udah, gak perlu ada tapi-tapian lagi. Percaya sama Mak, kamu bisa hidup bahagia. Orangtua pasti ingin yang terbaik buat anaknya, mereka pasti tahu pula apa yang terbaik buat anaknya, dan ini... Ini adalah yang terbaik buat kamu. Anak Emak. Gapapa Rah kamu hidup materialis juga, asal kamu tahu tempat dan ukuran. Kamu cukup materialis secukupnya, seperlunya."
Farah hanya bisa menundukkan kepalanya, air mata sudah di pelupuk matanya. Tak kuat menahan tangisnya. Bahunya pun mulai bergetar, lambat laun suara isak tangis pun mulai terdengar.
"Mak... Fa..Farah mohon... Janganlah kayak... Ka..kayak gini Mak... Farah juga... Farah.. ingin gapai cita-cita Farah"
"Gak bisa Rah, Emak sudah yakin. Emak juga sudah terima maksud dari Tuan dan Nyonya Udin, Emak suruh agar mereka merealisasikan maksudnya itu nanti dan datang ke rumah kita", jawab Emak dengan tegas.
Farah melirik Abah untuk meminta tolong agar mau membujuk Emak. Namun saat Abah akan buka bicara pada Emak dan bertatapan dengan Emak, Abah tidak bisa bantah. Emak sudah melotot ganas. Tipikal suami takut istri sekali.
"Farah kecewa sama Emak", ucapnya dengan lirih dan pergi meninggalkan mereka di ruang tamu.
...
Di kamarnya, Farah tengah duduk dengan memeluk kedua lututnya. Isak tangis masih mengiringi kesedihannya. Farah kalut, dia sangat bingung. Apa yang harus dia perbuat. Di satu sisi dia sangat ingin kuliah lagi. Tapi, disisi lain Farah juga tidak mau mengecewakan Abah sama Emak. Apalagi kalau sampai mempermalukan Abah dan Emak. Farah tahu, kalau nanti Farah tidak terima lamaran itu. Maka keluarganya akan mendapatkan cemoohan dari keluarganya Jamal. Tahu sendiri Nyonya Udin bigosnya minta ampun.
"Aku harus bagaimana?", Lirihnya kemudian menundukkan kepala, menelungkup.
...