Chereads / To Be I (diot) / Chapter 5 - 4. Mulai menggila

Chapter 5 - 4. Mulai menggila

...

Beberapa hari ini Farah cukup sibuk mengurus segala berkas kelulusannya. Mulai dari jadwal tandatangan SKHUN, Ijazah, Buku besar, laporan akhir tahun setiap perangkat kelas, sidik jari, dan jangan lupa yang paling penting...

Membereskan biaya sekolah, alias SPP. Tentu itu tidak akan pernah terlewatkan.

...

Di jalan

Saat ini Farah sedang melamun. Sengaja dia pulang dengan jalan kaki. Toh hari masih siang, dia tidak akan pulang terlalu larut.

Biarlah kali ini dia ingin menghancurkan sendi-sendi tulang kakinya, biar dia merasa pegal. Farah sangat bingung. Mau bagaimana lagi? Berbagai cara sudah Farah lakukan agar Emak membatalkan acara perjodohannya itu. Tapi mau apa di kata? Semua itu terasa sia-sia.

Farah jadi ingat kejadian 3 hari yang lalu.

...

_3 Hari yang lalu_

Farah berjalan dengan lesu. Sungguh, dia kapok untuk menjabat sebagai bendahara. Laporannya uuuuh...

Tentu sekolahnya berbeda dari yang lain, disaat yang lain sibuk mengurus segala sesuatu untuk masuk PTN. Farah justru masih memberikan laporan keuangan kelasnya agar tidak ada "penggelapan dana" istilahnya.

Tapi Farah bersyukur. Ternyata kesabarannya membuahkan hasil. Berjam-jam dia meditasi dengan merumus, menghitung duit orang-orang yang membuatnya pusing tujuh keliling akhirnya menghasilkan kepuasan tersendiri baginya.

Laporannya sesuai.

Sebenarnya agak melenceng. Ternyata pas di hitung, uang kas kelas Farah lebih 500 perak, entah uang siapa itu tidak ada catatannya. Farah sendiri tidak pernah merasa menyimpan uang dalam dompet uang kas, karena memang ia sengaja menyiapkan dompet khusus. Dompet uang kas dan dompet pribadinya jadi lain, berbeda.

Haaah... Yasudahlah, biarkan. Cuma uang 500 perak ini. Tapi justru kesalnya disana, Farah harus bolak balik menghitung pemasukan dan pengeluaran berkali-kali karena uang itu lah. Nasib... Nasib...

.

.

.

Tidak terasa sekarang Farah telah sampai di depan rumah mungilnya. Ketika Farah akan membukakan pintu, justru Farah dikejutkan dengan suatu hal.

"Ya mau gimana lagi, aku juga gak mau lah Mak. Orang aku susah-susah ngurus tuh anak gak ada timbal baliknya", ucap Emak yang tengah menelpon seseorang yang Farah yakini itu adalah neneknya.

'Tentu saja. Dengar nih, kamu harus benar-benar hidup senang. Aku bahkan rela menikahkan kamu dengan bapaknya itu bocah bukan semata-mata karena kamu cinta sama dia. Tapi justru untuk kebahagiaanmu juga'

"Maka dari itu, aku juga memanfaatkan kecantikannya si Farah. Tidak sia-sia aku merawatnya dengan penuh kasih sayang, mengeluarkan keringat, dan uang yang banyak akhirnya? Dia bisa menggaet anak orang kaya"

'Bagus, kamu memang pintar. Tidak salah mamak mendidikmu dahulu, hahaha... Ingat, jika kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau jangan sampai lupakan mamak'

"Iya Mak, tenang aja. Beres pokoknya mah lah. Serahkeun ka abdi. Asal Mak tahu aja, aku juga sudah cukup muak hidup dengan Kang Asep ngan saukur modal cinta. Jiaaah, eta mah bareto atuh, da ayeuna mah aku teh sudah bisa berpikir jernih"

'Bagus, bagus. Ya sudah kalau begitu, Mamak mau ke dapur dulu, abahmu baru pulang dari kebun. Assalamu'alaikum'

"Wa'alaikumsalam", jawab Emak yang kemudian mematikan ponsel jadulnya itu.

Sementara itu diluar, Farah hanya bisa melamun. Sungguh, Farah sangat terkejut. Bertahun-tahun tinggal bersama, ternyata inilah wajah asli ibu tirinya itu. Jadi selama ini dia sengaja berlagak layaknya ibu yang sangat perhatian pada anaknya. Namun pada kenyataannya.

Kenyataan ini benar-benar membuat Farah syok, hatinya sakit, pikirannya terhempas entah kemana, perasaannya pun tidak bisa ia jabarkan begitu saja.

Kenapa?

Kenapa ini harus terjadi padanya?

Padahal selama ini Farah merasa semuanya baik-baik saja. Tapi kenapa?

Kenapa dan kenapa, semua pertanyaan terus menggumpal dalam kepala mungilnya itu.

"Hiks... Hiks...", Isak tangisnya pun terdengar, bahkan tanpa dia sangka, air matanya pun menetes dengan derasnya. Farah hanya bisa menangis tertahan.

Sambil membekap mulutnya, Farah pun berlalu pergi dan menjauhi rumah. Ia memutuskan untuk menenangkan dirinya relebih dahulu.

...

Now

Saat ini Farah merasa bingung, setelah apa yang terjadi, apa yang harus di perbuatnya. Kenyataan yang baru diketahuinya itu membuatnya selalu merasa canggung ketika berdekatan dengan Emaknya itu.

Farah mendongakkan kepalanya, kemudian menghela nafas.

"Awan berarak mengikuti sang angin. Dia tak pernah bisa menolak untuk tidak mengikuti. Kenapa kau tidak pernah melawan? Apakah kau tidak merasa terkekang awan? Hidupmu diatur sedemikian rupa. Tidakkah kau pernah mengeluh?"

Farah menundukkan kepalanya. Ketika sampai di jembatan antar desa, Farah memilih untuk mendinginkan isi kepalanya itu. Ia butuh ketenangan agar pikirannya kembali jernih.

Sambil duduk senang menangkup kedua lututnya dengan menggunakan tangan kiri, tangan kanannya ia gunakan untuk mengais-ngais tanah, mencari batu kerikil yang kemudian akan ia lemparkan kedalam sungai.

Plung...

Byur...

Plung...

Byur...

"Aku baru sadar...", Lirihnya.

"Hidupku tak beda jauh seperti awan"

"Hanya bisa menerima, tanpa bisa membuat apa yang ku inginkan kenyataan"

Setelahnya Farah melepaskan tas gendongnya kemudian melemparkannya ke sisi kirinya.

Bruk..

Biarlah, tidak ada apa-apa di dalamnya. Toh didalamnya Farah hanya membawa buku dan beberapa alat tulis saja.

Bruk...

Farah pun memilih untuk berbaring di rerumputan hijau itu. Beruntung sekali, di tempatnya sekarang tidak kotor dan terdapat rumput rambat yang akan menjadi alas tidurnya juga pembatas antara Farah dengan tanah.

"Hey awan... Kau begitu baik", bisiknya. "Kau membuatku merasa nyaman, kau membuat tempat ini terasa teduh dan sejuk"

"Hehehe", kekehnya kemudian.

"Bagaimana jika kita berteman. Mari kita berkenalan. Hai... Namaku Farah? Namamu?"

Hening...

"Bagaimana jika aku memanggilmu dengan panggilan... Mega? Ya Mega. Terdengar bagus"

"Baiklah... Kita berteman"

'Sepertinya masalah ini benar-benar membuatku gila'

.

.

.

"Tak ku sangka, gadis cantik sepertinya ternyata mengalami gangguan jiwa", gumam seseorang.

Sontak saja Farah terbangun dari acara "mari menggila bersama Farah dan Mega".

Ketika berbalik kearah belakang dia melihat seorang cowok berpakaian putih-putih dan memakai topi hitam polos. Jangan lupakan jika di tangan kanannya ia tengah menenteng plastik kresek hitam sedangkan tangan kirinya memegang payung.

Alis Farah menukik tajam, matanya menyipit dan dengusan pun keluar dari lubang hidung mungilnya itu.

"Apa-apa lihat-lihat? Baru lihat gadis cantik setres ya?", Sewotnya.

Si cowok cuma bisa buang muka sambil merollingkan matanya, "Astaghfirullah, sabar Mi sabar"

"Kalo di tanya tuh jawab, jangan bisanya komentar aja. Bilang ini itu tapi sendirinya gak lebih baik dari orang yang di komentari"

Deg

'Astagfirullah, aku lupa ya Allah'

"Maaf nona, saya tidak sengaja. Kalau begitu saya permisi"

Farah pun beranjak bangun dan mencegah kepergian cowok tadi, dengan sisa kekuatannya iya berlari kecil menghampirinya, dan meraih tangan si cowok.

Grep...

"Berhenti gak Lo...!"

Cowok itu pun menoleh kearah Farah