Chapter 2 - Cerita

Jika Far dikarunai oleh Dewa Kebahagiaan, maka aku telah dikutuk oleh dewa kesialaan atau mungkin Lucifer yang sial. Puluhan mata yang tajam terbayang di belakang punggungku. Di dalam kelasku, semua orang tengah mengawasi tindak tandukku yang didatangi oleh seorang perempuan dengan bau minyak kayu putih yang tajam.

"ada yang bisa kubantu?"

"aku hendak mengembalikan minyak ini kepadamu. Apakah aku mengganggumu?" dan selalu ceria.

"kenapa dia datang mencari Iran? Apa hubungan mereka berdua? Tidak mungkin, apakah mereka pacaran? Sialan kau, Iran! Kubunuh kau, Iran!"

"uwah..." Aku hanya bisa mengeluh panjang, melihat bahuku. "tidak masalah kok, kau bisa menyimpannya untukmu. Hei, ada apa?"

Saat aku kembali kepadanya, ia dengan penasaran menatap suara – suara yang berbisik dibalik bahuku. "Jadi, namamu Iran, Yah?" ia tersenyum kecut. Ada angin positif menerjang dirinya atau mungkin bau minyak kayu putih.

"apa? Jadi mereka baru kenal, yah? sebenarnya apa yang terjadi? Dimana mereka kenalan? Sialan kau, Iran! Kubunuh kau, Iran!" dua suara terakhir adalah konsistensi yang menakutkan.

"hei, kemari!"

"apa yang kau—hei!"

Far menarik tanganku, berlari. Suara – suara dari dalam kelasku semakin menjadi.

"He!" teriak mereka yang setengah histeris. "sialan kau, Iran! Kubunuh kau, Iran!"

waktu itu adalah waktu isomah. Semua siswa yang masih berada di depan kelasnya, melihat kami berdua. Lebih tepatnya, mereka melihat Far yang sedang menarik tanganku. Berlari entah kemana. Mungkin besok atau hari ini, berita tentang hubungan kami berdua, akan tersebar luas.

Jadi, apa reaksi pertamamu ketika, melihat salah satu perempuan paling populer di sekolahmu sedang menggandeng tangan pria paling buruk di sekolahmu? Tapi Well, Far hanya tertawa riang. Seolah bodo amat akan reaksi orang lain ataupun gosip tentangnya. Aku sendiripun, seperti mayat hidup yang ditariknya dengan pasrah. Ia dengan rambut pendek cepol yang terjuntai – juntai, terus berlari melewati celah kelas – kelas, melewati mata guru sejarah yang memandangi kami, lalu menuju ke belakang gedung OSIS hingga kami berhenti pada sebuah bangku kantin yang kosong pengunjung. Kami duduk berhadapan sedang Far terus tertawa, lalu dirinya berkeringat hebat.

"wah, sangat menyenangkan bukan?"

"well, jika maksudmu adalah kita yang diancam oleh guru BK, maka mungkin dapat disimpulkan seperti itu." kataku bernada satir.

Namun, ia hanya tertawa lepas. "Mba, tolong baksonya dua mangkuk yah!"

"aku tidak lapar." Priuttt... bunyi perut yang keroncongan. "sekarang aku lapar."

"hahahaha.... Baiklah." Suara tawanya seperti meledak di udara. Menggaung pada sudut – sudut kantin.

Apakah minyak kayu putih memiliki kekuatan gaib atau semacamnya? Kemarin, tangannya sedingin es balok yang berusia jutaan tahun. Lalu sekarang, hanya suhu tangan yang normal atau mungkin lebih hangat. Sepertinya Dewa sedang bersekongkol dengan iblis!

Aku yang memerhatikannya, mulai membuka suara.

"akhir – akhir ini, apa terjadi sesuatu hal yang spesial di hidupmu?"

Ia seperti terkejut. "tidak, kenapa kau bertanya?"

"e-entahlah," aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tanda gelisah. "aku hanya berpikir seperti, uwah... perempuan ini terus saja ceria. Berbeda denganku yang selalu dijuluki mayat hidup..."

"benarkah itu?" dia tertawa garing. "tapi kau harus tetap mensyukuri hidupmu. Bagaimanapun keadaannya kau harus menjalaninya dengan tetap positif dan jangan lupa..." aku menatap telunjuknya yang menunjuk sejengkal ke wajahku. "jangan lupa tersenyum hari ini, oke?" kemudian kulihat dia yang sedang tersenyum disinari cahaya yang hangat di hari siang. Wajah itu mengingatkanku pada sebuah lukisan yang membuatku jatuh cinta.

Lalu wajahku terasa panas. aku menjadi salah tingkah sendiri. "o—oke..." jawabku yang malu – malu.

Dan Far hanya tersenyum. Matanya menghilang di dalam senyuman yang lebar.

Tak berapa lama, kedua mangkuk bergambar ayam jantan, telah tersaji bersama dua gelas es teh manis dengan sedotan di atas meja kami. Aku memerhatikan isi dari mangkuk yang sangat mewah itu. kuah yang transparan dan berminyak. Mi dan laksa tenggelam di dalamnya. Beberapa pentolan yang setengah mengapung. Lalu satu pentolan besar yang menonjol. Mirip seperti kotoran kumbang berwarna silver. Dan semua itu disempurnakan dengan taburan seledri cacah dan bawang goreng. Untuk perut yang sejak daritadi keroncongan, ini adalah sesuatu yang mewah.

"ada apa? Makanlah..."

"ba—baiklah."

"hehe."

Tetapi tak ingin kuangkat garpu dan sendok karena aku tengah memerhatikan wajah di depanku. Kuperhatikan gerak - gerik Far yang lincah. Menaburi sedikit garam, lalu micin, kemudian perasan jeruk nipis yang telah ada lebih dulu di samping kotak tisu. Tangannya seperti bergerak otomatis dan ia seperti hafal betul apa yang kurang dari makanan yang hendak ia santap itu. Lalu mataku seperti tercongkel keluar, ketika kulihat gundukan saus botolan yang menggunung di mangkuknya. Lalu gundukan saus itu diaduknya, hingga warna dari kuah dan mi itu berubah, memerah terang.

Tak cukup dengan itu, diambilnya lagi sambal ulekan dari tempat khusus di samping kotak tisu. Sesendok, hingga kulihat hampir habis sambal itu! dituangkan ke dalam mangkuk yang telah memerah. Namun gerakan tangannya berhenti, menatap malu – malu kepada orang yang memerhatikan.

"ada apa? Apa aku terlihat aneh dengan ini?" dan ia hendak meletakkan tempat sambal itu. di ikuti mata yang malu – malu meminta jawaban.

"ti—tidak. Aku hanya berpikir, jika aku yang memakannya, maka mungkin malaikat kematian akan datang memberiku pelukan hangat. Maksudku sungguh, untuk aku yang seorang pria, benar – benar tidak tahan memakan makanan pedas. Bahkan aku bisa meronta – ronta, menangis karena tidak sengaja mengunyah cabai muda saat memakan gorengan!"

Tangan Far begemetar, membuat ulekan sambal itu tumpah perlahan di sisi mangkuknya. Iapun kembali tertawa lepas. Ditaruhnya kembali tempat itu di atas meja. ia mencoba menyendok mi ke mulutnya, tetapi tertahan oleh tawanya kembali.

"tidak sengaja memakan cabe... apa dia pikir itu remah – remah gorengan atau semacamnya? Hahaha..." Katanya yang seolah berbisik dengan diri sendiri. Aku memerhatikan, turut senang. Paling tidak ada yang ingin tertawa tulus untuk lelucon segaring itu.

Tak berapa lama, kamipun asik dengan makanan masing – masing.

...

Aku menghisap es teh manis dari sedotan. Memberi jeda makanku. Lalu kuperhatikan Far yang berkeringat, wajah memerah. Tersenyum – senyum sendiri. Seolah sedang bahagia dalam sengsara memakan makanan neraka itu. "tapi sungguh, untuk tingkat pedas seperti itu, aku rasa memang tidak normal bagi manusia." kataku dengan retoris sembari memegang sendok dan garpu.

Tetapi ia bereaksi. "hm?" matanya berkedip cepat dengan polos. Bulu mata yang lentik terkatup – katup berkali – kali. Lalu terdapat beberapa untaian mi di mulutnya yang hendak ia makan. "imutnya..." kataku dalam hati. Ia kembali tertawa sembari menahan nafas, ia menyelesaikan dahulu apa yang ada di mulutnya, lalu menatapku dengan sipit dengan tangan menutupi mulut.

Ia menghisap pelan es teh manis dari sedotan. Meraih kembali sendok dan menatap mangkuknya. "well, orang sering menegurku tentang selera makanku. Aku pikir, aku terlihat aneh di mata orang – orang."

'well, jika kau adalah juara satu pada lomba makan makanan pedas, maka mungkin orang akan mengatakan "hebat" kepadamu."

"benar juga yah? kau tahu, aku selalu ingin ikut lomba seperti itu." ia melanjutkan makan.

"sungguh?" dan aku juga.

"tapi ayahku tidak mengizinkannya. Baginya, itu sangat konyol!"

"mungkin jika kau memperlihatkan medali juara satu dari lomba itu, maka ia akan mengizinkanmu ikut lomba. Malahan, ia akan menyewakan pelatih terbaik di kota ini untukmu!"

"akan aku coba!" dan ia tertawa sejenak. Kemudian sibuk dengan baksonya.

Untuk perempuan yang terlihat rapuh dan lemah seperti dirinya, maka seharusnya orang melihatnya memakan makanan dengan cabai yang banyak akan berkata, "kau dalam bahaya!" jemari kurusnya yang seolah transparan, memperlihatkan urat berwarna hijau tua. Dari kantung mata itu yang menghitam dan mengembung, kau bisa tahu betapa banyak cobaan yang ia derita sebelum ia tidur.

Ia mungkin terlihat seperti lidi dengan dua bola mata. Tetapi mantel keceriaan, membuatnya terasa besar. Bagiku, ini sudah kelewatan besar!

...

Dan kami telah selesai makan. Mba Sri datang membereskan makanan kami. Lalu ia pamit, hendak mencuci piring yang menumpuk di belakang katanya. Aku tidak peduli. Namun hal itu, membuat kami hanya tinggal berdua di tempat itu.

"terima kasih ya, karena ternyata makan bersamamu, sungguh menyenangkan!"

"tidak, aku yang harus berterima kasih karena makanannya. Bahkan lebih banyak terima kasih, karena kau adalah perempuan pertama yang makan bersamaku satu meja. bahkan manusia pertama!"

"benarkah itu? hei, Iran. Maaf menanyakan ini, tetapi apakah kau memang kurang akrab dengan teman kelasmu?"

"tentu saja aku akrab! Kau dengar bukan, saat mereka tadi hendak membunuhku? Itu adalah bentuk cinta mereka yang tersembunyi." Aku kemudian bergimik seperti orang genit. "uh... Dasar mereka itu, benar – benar seperti kucing!" lalu aku memaksakan tertawa. Dan Far hanya menatap dengan senyuman yang dingin.

"aku sepertinya salah menilaimu Iran. kau nyatanya pria yang sangat kuat, yah?"

"tentu saja! karena kita tidak boleh lari dari setiap masalah yang ada di depan kita! Walaupun itu badai ataupun penolakan sosial, kau harus menjalaninya walau memasang muka yang membenci semua orang!" aku mengatakan itu dengan pose yang berlebihan.

Mata Far tenggelam di dalam senyuman. "kau bersikap positif dengan cara aneh!" ia tertawa.

"ah, benarkah?" nadaku polos. "hm.... Kau benar, tidak biasanya aku besikap positif seperti ini. Biasanya aku akan menyerapah mereka dan menggerutu. Apakah ini karena tertular sikap positifmu?"

"itu benar." nadanya berubah cempreng. Mencoba menirukan suara anak kecil. "jika Falhah ada didekat Ilan, Ilan tidak boleh menangis. Ilan halus celalu pocitif. Halus celalu celiah. Kalo Ilan belsedih telus, nanti Falhah akan malah... nanti Falhah akan membenci Ilan! Hmph!" dan ia membuang muka. Sungguh gimik yang sangat imut.

Aku menggaruk pelan kepalaku yang tidak gatal. "hehe... iya deh, dedek Far... tapi sebelumnya, kakak harus minta maaf...." Dudukku menjadi tegak dan kutatap permukaan meja. "Well, karena awalnya kupikir, kau mentraktirku makan untuk menyogokku agar tidak membuka mulut tentang kejadian kemarin sore. Nyatanya ini memang sebagai tanda terima kasih, yah?" dan kutatap tajam wajah yang terkaget itu.

"eh? Itu sebenarnya—"

"oh, jadi keduanya yah?" aku memotong.

"eh tidak, maksudku..." dan ia membisu dengan senyuman gemetar.

"well! Semua orang punya rahasia bukan? Tapi bukankah kau memang sering sakit – sakitan, iya kan, Far? apakah penyakit ini berbeda dari penyakitmu yang biasanya?"

"itu..." namun ia tetap tidak ingin meneruskan. Ia mengigit bibir bawahnya sembari tersenyum. ia nampak gelisah. Jadi dimana Dewa Keceriaan berada sekarang? Harusnya kau tidak perlu menyembunyikannya bukan? Mari bawa kesini dan kuajak bertarung dengan malaikat yang diusir dari surga!

"well! Orang bilang, cepat atau lambat bangkai rusapun akan tercium juga. Tetapi jika kau tidak mau diketahui orang, paling tidak siapkanlah payung sebelum hujan. Paling tidak siapkanlah satu lagi botol minyak kayu putih sebagai cadangan agar kau tidak kesusahan saat botol minyak kayu putihmu, dipinjam oleh teman sekelasmu dan lupa ia kembalikan. Sama seperti sore itu."

Aku menatap tajam kepada lawan bicara. Kulihat ekspresinya terkejut dan seolah mengatakan, "bagaimana kau tahu?" membuatku tersenyum kemenangan.

"maafkan jika aku merusak pestamu nona, tapi aku ingin bertanya, sore itu, ketika aku menemukanmu tergeletak, menggigil hampir mati, kau sedang bercerita dengan seseorang tetapi bukan aku. Kau bilang itu adalah anak kecil... "

Lalu kulihat ia yang berkeringat dan seolah ingin menghentikan aku untuk melanjutkan. Namun tetap kulanjutkan. Aku seperti menatap licik.

"apakah itu mirip dengan Hendri si musang bajak laut yang gemar mendaki gunung, melewati lembah bersama teman bertualang?" tanyaku.

"hah? maksudmu?" ekspresinya seolah ingin tertawa mendengar hal konyol.

"maksudku adalah anak kecil yang kau temui sore itu merupakan teman khayalanmu. Dan orang yang kusebutkan tadi adalah nama dari teman khayalanku. Kau tahukan, setiap orang yang tidak punya teman, pasti memiliki semacam teman khayalannya masing – masing."

"ah, benar juga! Teman khayalan yah?" iapun tertawa dengan lepas. Suara tawanya kembali menggaung di penjuru ruangan kantin. Begitu juga bau minyak kayu putih yang tidak kusadari kembali tercium. Mungkin karena hawa dari bakso dan orang yang kelaparan. "mungkin kita bisa saling memperkenalkan teman khayalan kita masing – masing. maka dengan itu, kita juga harus berteman!"

"tentu saja. aku rasa itu akan sangat mengasikkan." Kami berduapun larut dalam tawa. "hahaha... well, aku minta maaf sebelumnya tetapi, orang – orang disekitarmu mungkin terlalu palsu. Mungkin mereka hanya takut dengan pengaruh Ayahmu dan takut jika terjadi sesuatu terhadapmu. Maka dari itulah kau menyembunyikan penyakitmu itu, dan kau sendiri ternyata merasa kesepian.

"Kau ingin memberi tahu mereka agar tidak usah khawatir dengan kondisimu ataupun Ayahmu tetapi kau tidak bisa. Karena kau sebenarnya pengidap kanker otak.

Maka dari itulah kau harus tetap ceria karena jika tidak, itu sama saja membuang waktumu dengan penyesalan karena hidupmu sendiri sudah sangat singkat oleh kanker otak.

Well, mari kita menikmati hidup, iya kan, Far?"

Kulihat wajah Far yang tersenyum dengan pipi yang mengedut cepat. Ia membisu dalam gelisah yang sukar karena ingin mengutarakan sesuatu. Namun kucegat dengan kembali berbicara dengan polos,

"Wah, jika aku ayahmu maka mungkin telah kusewakan seorang teman untuk ngobrol kepadamu. Jadi kau bisa tetap di rumah dengan Home Schooling. Hei,

apa ibumu tidak merasa khawatir dengan kondisimu? Ibu macam apa dia itu? jika aku ibumu, maka mungkin aku akan membuatkanmu miniatur sekolah di rumah. Jadinya kau bisa Home Schooling dengan suasana sekolah. Well, jika kau memang suka dengan suasana sekolah..."

Jika saja ada garpu di dekat kami, maka mungkin mataku telah tertancap dengan garpu. Aku kadang takut dengan kemampuanku sendiri. Namun kupikir kali ini ia akan meledak atau semacamnya. Tetapi ia menatapku dengan ekspresi yang datar tanpa keceriaan. "ibuku telah pergi sejak aku kecil."

"mustahil!" refleks. Aku menutup mulut karena merasa keceplosan.

Namun Far hanya tersenyum. "tidak, sebenarnya kedua orangtuaku telah lama pergi saat aku kecil."

"ja—jadi maksudmu, ayahmu yang sekarang..."

"benar, aku adalah adopsi." Tiba – tiba angin hangat datang entah dari mana. Lalu suara azdan dari mushollah membuatku melompat terkejut. namun Far tidak bergeming. Ia lanjut bercerita, "aku adalah anak yang tidak tahu diri! tidak tahu malu! Dan tidak pernah bersyukur memiliki orang tua."

Aku diam menyimak. Sedangkan Lucifer di dalam tubuhku, tertawa terbahak – bahak. Aku berhasil memancingnya untuk terbuka.

"aku sebenarnya bukan berasal dari kota ini. Lalu Ayahku yang sekarang bukanlah Ayah kandungku. Aku berasal dari suatu desa yang sangat jauh. Dan dari desa itulah, aku terlahir dari keluarga yang sangat miskin. Dikarenakan satu – satunya penghasilan dari keluargaku ialah berasal dari ayah kandungku yang seorang tukang becak. Maka apa yang kami makan setiap harinya, tergantung dari berapa penumpang yang diangkut oleh ayahku. Kadang, kami sekeluarga bahkan tidak makan seharian. Tapi aku bahagia!" lalu berhenti berbicara. Seolah ingat akan sesuatu yang penting, ia terkejut. dan meminum es teh manis miliknya melalui sedotan.

Lama aku menunggu dan kupikir ia tidak akan melanjutkan ceritanya yang "gantung" itu. Maka akupun yang melanjutkan cerita tersebut dengan spekulasi. "lalu sebuah meteor datang menimpa desamu dan membinasakan seluruh warga desa. Tetapi hanya kau seoranglah yang selamat. Maka itulah kau merasa sangat bersalah karena kenapa hanya kau seorang saja yang selamat. Lalu, seseorang yang dermawan dari kota telah mendengar kisahmu dan tersentuh sehingga datang dan mengadopsimu. Tetapi hal yang tidak kau ketahui adalah meteor tersebut memiliki efek buruk berupa radiasi yang membuat selmu bermutasi sehingga setiap kali kau tidak mengoleskan minyak kayu putih ke tubuhmu maka kau akan menjadi sangat kedinginan atau hipotermia berat. Dan untuk meringankan hari – harimu yang penuh siksaan itu, kaupun menciptakan teman khayalan, sesosok anak kecil yang kau beri nama Mustofah. Begitukah?"

Far tersedak es teh manis. Ia terburu – buru mengambil tisu dan menutupi mulutnya. Tertawa dengan keras. Tawanya bergaung di sepanjang ruangan kantin atau mungkin bau minyak kayu putih yang tajam. "kau sungguh lucu!" katanya.

"lalu bagaimana ceritanya?"

"kenapa kau ingin tahu?"

"karena kau harus menyelesaikan apa yang telah kau mulai!"

Sekali lagi ia tersedak es teh manis. "Hah?"

"k—kau tahu, pria sangat tidak suka digantung. Itu seperti ketika mereka coli namun tidak mencapai titik klimaks. Itu menyebalkan!"

"apa kau yakin mengatakan itu semua di depan seorang gadis?"

"maka itulah aku dikatakan sebagai yang terburuk."

"kau pria yang menyedihkan!" dengan nada bercanda. "tetapi, kuharap kau mengerti. Ini sangat personal."

Sangat personal. Seperti yang dikatakan orang pada umumnya. Sangat personal. Artinya hal yang pribadi atau "...hanya aku yang boleh tahu." Tetapi aku tidak mendengar adanya penolakan pada ucapannya. Konotasinya seperti ketika seorang perempuan mengatakan, "terserah..." saat ditanya, mau makan apa oleh pacarnya. Dan kau harus memastikannya sendiri.

Pada tahap tertentu, seseorang akan menjadi sangat terbuka dengan orang lain atau bahkan tidak. Dan keterbukaan tersebut, berasal dari rasa percaya. Lalu kepercayaan terhadap orang lain, dilandasi oleh perasaan nyaman. Well, ini hanyalah sebuah asumsi. Tetapi, apa yang membuat seseorang dapat menari – nari sembari bertelanjang bulat di kamarnya? Atau bisakah kau jelaskan, hal yang membuatmu menyanyi sekeras mungkin saat kau mandi di pagi hari?

Jawabannya adalah rasa nyaman. Saat kau nyaman, kau menjadi sibuk dengan duniamu dan tidak memerhatikan sekitarmu, bahkan dirimu sendiri. Kau tidak sadar menggaruk selangkanganmu saat tengah asik mengobrol dengan orang lain. Mengupil. Atau bahkan keceplosan menceritakan aibmu kepada orang lain karena terbawa susasana nyaman yang diciptakan baik itu oleh situasi, dari orang itu sendiri atau rasa percaya bahwa orang tersebut, tidak akan memberitahukan aibmu kepada orang lain.

Well, seperti itulah kenapa aib bisa bocor dan diketahui banyak orang. "hanya kau yang kuceritakan, ceritaku ini. Jangan beritahukan ke orang lain." Dan dia jawab, "yah, oke." Lalu situasi nyaman itu terjadi, maka orang yang kau percayai aib tersebut, "keceplosan" menceritakannya kepada orang lain. Maka sekali lagi ia akan berkata, "aku sebenarnya dilarang untuk menceritakan hal ini kepada orang lain. Tapi hanya kaulah yang kuceritakan. Kumohon jangan beritahukan kepada orang lain!" Seperti itulah seterusnya hingga aib tersebut telah tersebar kepada seribu orang lebih!

Kadang seseorang menceritakan aib temannya bukan berarti mereka jahat. Kadang mereka hanya terlalu nyaman dan tidak sadar dengan keadaan. Sama seperti orang mabuk.

Mungkin itulah alasan kenapa Far, tidak ingin terbuka kepada orang lain. Meskipun terkenal asik, tetapi "dia adalah perempuan yang tidak dapat mabuk." Well, mari kita coba metode yang lebih memaksa lagi. Seperti, "kuceritakan aibku, maka kau harus menceritakan aibmu juga!"

Aku mengangkat tangan kananku ke udara lalu tangan kiriku menempel di dada. Lalu memejamkan mata seolah menghayati sesuatu dan berkata, "Aku Iran Agus, putra dari Siti Badriah dan Wak Haedir. Aku bersumpah atas nama tuhan yang Maha Esa lagi Maha Penyayang. tidak akan memberitahukan sedikitpun, cerita milik Farhah Ayunisa R. ini, kepada orang lain! Jika aku melanggar sumpahku, maka aku menerima nasib sial seperti cacat seumur hidup atau menerima fakta bahwa istriku kelak adalah seorang laki – laki, yang membuat aku malu sehingga aku harus bunuh diri bersama istriku yang nyatanya laki – laki dan kedua anakku yang keluar entah darimana. Kemudian mayatku tidak akan diterima tanah, tidak akan hangus oleh api. Sehingga keluargaku terpaksa menguburku di tebing gua. Lalu aku harus menerima nasib, kalau jasadku ternyata dipamerkan sebagai mayat yang sial pada tradisi Ma'Nene di toraja."

Far terbelalak kagum dan sedikit menahan tawanya, mendengar sumpahku yang meyakinkan tadi. Matanya menghilang, tenggelam ke dalam senyuman yang lebar. Ekspresinya seperti seorang pemancing yang kelaparan, mendapat secercah harapan dari kail yang ditarik oleh ikan. Sialnya, saat ia mengangkat pancingan itu, yang ia dapati hanyalah sebuah sepatu bot tua, bukannya seekor ikan. Well, Far hanyalah seorang gadis yang diberkati oleh dewa kebahagiaan bukannya dewa keberuntungan. Dia sial, bertemu dengan Lucifer yang jatuh dari surga.

...

Lama tawanya meledak, iapun telah tenang. "baiklah, jika seperti itu." dan dia telah tertangkap di jala. "Tapi tolong, jangan beritahukan ini ke orang lain. Kau mengerti?" wajah manisnya mendekat. Telunjuknya sejengkal, menunjuk ke arahku.

"Ye—yah, oke."

Far menegakkan badannya. Merapikan uraian rambutnya yang tidak termakan ikatan rambut. Kemudian berkata, "awalnya aku bahagia. Hidup sederhana dan rasanya sudah terbiasa. Namun, saat aku telah semakin besar. Aku mulai malu karena ketika bahkan orangtuaku sendiri tak dapat membelikan aku seragam sekolah baru. Semua berasal dari orang lain. Atau sepatuku yang terus saja dijahit, walau sudah tak layak pakai. Hingga pada suatu hari, aku mulai merasa muak dengan keadaanku."

Dia kembali goyah, matanya kosong dan senyumannya merendah. "hari itu, aku meminta untuk dibelikan HP karena teman – temanku telah memilikinya. Namun orangtuaku tidak mau mengerti bagaimana perasaanku. Mereka hanya terus berkata, "sabarlah nak..." dan itu menyebalkan. Membuatku ingin muntah! Lalu, karena sudah tak tahan dengan hidup yang melarat, akupun mengutarakan semua keluh kesahku dengan serapah,

Kalian yang terburuk! Tuhan sangat jahat melahirkan aku di keluarga miskin seperti kalian! Aku harap kalian semua menghilang dari dunia!

Dan untuk mewujudkannya, akupun pergi ke dukun."

"kau pergi ke dukun bahkan sebelum kau menginjak SMP?"

"well, semua orang yang telah dibutakan oleh hasrat, akan rela melakukan segalanya. Tetapi memang si dukun sendiri tertawa dengan aku yang ada pada saat itu. maka iapun memberi saran untuk melakukan penawaran dengan tuyul."

"tuyul? Maksudmu hantu yang menyerupai bocah dan hanya mengenakan kolor?"

"benar hantu itu." ia sejenak tertawa. Lalu kembali bercerita. "aku sebenarnya bisa melakukan pesugihan. Namun karena kutahu itu berdosa, akupun hanya meminta agar keinginanku terwujud."

"kau menghilangkan kedua orangtuamu, melalui bantuan tuyul?" aku menatap heran.

"aku juga tidak percaya akan hal itu! tetapi karena bayaran yang diminta oleh si tuyul adalah sesuatu yang sepele, ia meminta tiga buah permen sebagai imbalan. Kenapa tidak dicoba saja? dan setelah itu, akupun pulang menyelinap masuk karena telah larut malam. Aku tertidur dengan lelah di kamarku.

...Hingga tak berapa lama setelah perjanjian itu, mereka benar – benar menghilang dari pandanganku. Mereka pergi dan meninggalkan aku sebatang kara. Mereka tak muncul, bahkan berhari – hari berlalu. Akupun memutuskan minggat ke kota, hidup bergelandangan disini. Lalu seorang pria yang kaya raya yang tidak memiliki keturunan, menemukanku. Ia memungutku dari jalanan dan mengangkatku sebagai anaknya.

Berkat koneksi dari Ayah angkatku, aku dapat bersekolah di salah satu SMP elit di kota ini. Hari – hari SMP-kupun, kujalani dengan riang gembira. Aku sangat senang. Harusnya, inilah alasan aku untuk bersyukur. Dibesarkan dari kalangan keluarga yang kaya raya. Dan ayahku yang sekarang, tidak akan mengatakan, "sabarlah nak..." kepadaku. Tidak, ia akan membelikan semua yang kumau! Seperti itulah seharusnya orangtua! Tidak, mereka tidak boleh mengatakan tidak mampu membeli, mereka harus membelikan sepatu baru kepada anaknya, tidak, mereka tidak boleh miskin! Mereka harus melakukan apapun demi anaknya, meskipun mereka terpaksa menjual jiwa mereka sendiri. Apapun harus dilakukan demi kebahagiaan anaknya!"

Aku merinding melihat ia bercerita seperti itu. dia yang tanpa kesedihan, seolah tak menyesal dan hanya tersenyum menakutkan!

"luka apa yang telah kau sembunyikan?" tanyaku yang berkeringat dingin.

"luka? Ah, maksudmu penyakitku? Ini terjadi ketika menginjak kelas dua SMP. Tiba – tiba tubuhku begitu lemah dan sakit – sakitan. Ayahku menyediakan ruang inap pribadi untukku di rumah sakit... dan seperti itulah, Hari – hariku selalu dihiasi dengan ruangan putih ber-AC, dan bau obat – obatan, serta suntik infus.

Pada waktu itu, malamku selalu terasa lebih dingin. Cahaya bulan yang indah tidak pernah berhasil meringankan beban. Dan di waktu – waktu yang menyiksa itu, teringatlah aku akan ayah dan ibuku. Jantungku seperti mau meledak karena ingatan amarah pada waktu itu. lalu kesedihan itu, memperburuk kondisiku. Aku benar – benar menyesal! Tetapi kenapa aku harus menyesal? Apakah aku salah, jika kubuat mereka menghilang? Tidak, kesedihan dan amarah ini hanya memperlambat segalanya! Aku harus bersyukur walau kondisiku seperti ini dan aku harus menerimanya. Mungkin inilah karma bagi seorang gadis yang meminta hidup yang enak dan meminta kedua orangtua kandungnya yang miskin untuk menghilang! Tetapi ingatan kesedihan dan amarah ini, hanya mengacaukan aku untuk bersyukur.

Hingga pada suatu malam, dari hiliran angin yang datang melalui jendela ruangan. Dia datang. Si tuyul dengan senyuman yang lebar menatapku dari sudut gelap ruangan. Aku yang menatap kosong merasa sangat iri. Maksudku. Uwah... enak yah, kau bisa tersenyum sedang aku tidak. Aku juga ingin selamanya ceria! Tidak ingin menangis ataupun marah! Ambillah emosi ini bersamamu!

Dan tuyul itupun mendekat. Menutup penglihatanku dengan tangannya dan akupun tertidur. Besoknya, keajaiban terjadi! Aku tidak pernah lagi merasakan sedih atau marah. Aku terlahir kembali! Perempuan dengan aura ceria yang memberantas kesedihan! Meskipun hal itu, tidak mengubah fakta bahwa aku tetap lemah dan sakit – sakitan. Tetapi paling tidak, ini telah mengurangi bebanku."

"lalu karena kau yang kehilangan api emosimu, memunculkan satu masalah baru lagi. Kau kehilangan kehangatan dan itu membuatmu terus mengigil setiap saat. Satu – satunya hal yang membuatmu hangat hanyalah dengan mengolesi dirimu dengan minyak kayu putih. Seperti itukah, Far?"

"bagaimana kau tahu?" ia seolah terkejut. "apakah kau seorang cenayang?"

Namun tidak kujawab dan kembali bertanya, "tapi kenapa minyak kayu putih, Far?"

"karena dulu ibuku mengoleskannya ketika aku masuk angin. Lalu kucoba juga saat aku menggigil pertama kali dan itu berhasil. Aku kembali merasa hangat."

"maka itulah kau tidak bisa lepas dengan bau minyak kayu putih? Hei Far, bukankah itu memuakkan?"

Namun Far hanya menunduk, tersenyum pasrah. "aku sudah bilang kan, ini adalah karmaku." Ia menatapku dengan senyuman masam yang lembut, disinari cahaya siang yang hangat.

Tetapi jawabannya membuat emosiku tersulut. "karma?". Prak! Kuhentakkan tanganku di atas meja dengan keras. Lalu kukepalkan dengan kuat sembari menahan emosi. "jangan bercanda! Apa kau pikir bahwa apa yang menimpamu saat ini adalah karma? Jadi kau yang tersiksa seperti ini adalah keinginan Tuhan? Berhentilah lari! Kau telah mencobanya dan kau gagal. Kau telah mencoba lari namun kaupun gagal! Bukan karena nasibmu. Tetapi karena kau memilih metode yang salah! bahkan sejak awal, kau melakukan kontrak dengan tuyul adalah tindakan yang salah!"

"sebab akibat, itukah maksudmu? Maka inilah dampak dari yang telah kulakukan. Dan akan kutempuh jalan yang telah kupilih ini."

"tidak, Far. kau tidak pernah memilih, kau adalah korban disini. Kau bukan penjahat ataupun orang yang tengah menjahati. Kasusmu bukanlah kasus seorang bengis durhaka kepada orangtuanya. Jika kau menggunakan logika dan memberitahuku setiap picisan yang tak kau jelaskan. Maka kasusmu ini adalah kasus kemanusiaan!

Lalu kau adalah korban dari siapa? Aku rasa kau tahu jawabannya. itulah alasan kenapa sore itu, kau menolak penawaran yang ditawarkan si tuyul. Biar kutebak, hari itu ia datang menawarkan solusi untuk kau yang terbebas dari semua penyakitmu. Hipotermia aneh, lalu lemah fisikmu. Tetapi karena syarat yang ia minta, tidak dapat kau penuhi. Katakan padaku Far, apa yang ia minta sore itu?"

Namun Far hanya tersenyum bergemetar. Ia takut atau gelisah, aku tidak pandai menebak.

"kalau begitu biar kujelaskan untukmu. Sore itu, ia minta penawaran tersebut ditukarkan dengan nyawa dari orang yang kau sayangi. Bebanmu yang sudah terlalu besar. Membuatmu seperti kaca yang begitu rapuh. Maka si tuyupun merasa pertukarannya harus sesuatu yang besar pula. Benar, nyawa! Nyawa dari seseorang yang kau sayangi. Nyawa dari ayah angkatmu. Orang yang telah menyelamatkanmu dari jalanan yang kotor itu."

Namun Far sejenak tersenyum. lalu tertawa dengan keras. Ia begitu lepas. Seperti tawa yang begitu bersedih. Tawa dari seseorang yang kesepian. Tawa dari seseorang yang menanggung penderitaan. Ia memukul – mukul meja dan suara tawa itu seolah tergaung hingga ke koridor kelas. aku yang memerhatikannya merasa takut, bagaimana jika guru BK datang dan mendapati kami yang tidak pergi sholat? Aku tidak ingin dihukum lagi!

...

Setelah ia cukup tenang, ia menghapus air mata dari pipinya. "maafkan aku. Tapi ini baru pertama kalinya aku tertawa seperti ini."

"dan ini akan jadi terakhir kalinya kau tertawa seperti ini. Paling tidak, ketika kau sembuh nanti, kau akan tertawa lebih tulus lagi."

"apa maksudmu aku bisa sembuh?"

"kau bisa sembuh aku yakin itu. cukup percaya padaku. Karena seperti yang kau katakan tadi, aku memang adalah seorang cenayang."

"eh, jadi kau benar – benar seorang cenayang yah, Iran?" katanya yang mencoba merapikan rambut. Dan menatapku dengan senyuman sinis.

"hei, apa maksud dari senyumanmu itu?" aku mengepalkan tangan di udara."kau tidak percaya kalau aku adalah cenayang? Maka lihatlah koin ini!" aku memegang koin 500 perak di tangan itu. "saat kugenggam, koin ini akan menghilang! Jangan kedipkan matamu. Siap yah, satu... dua... tiga!" dan koin itu menghilang,

TING! Sebuah bunyi koin logam yang terjatuh, terdengar di bawah kolong meja. Far bertepuk tangan, bergimik seolah antusias, "wow, luarbiasa sekali." Suaranya datar. Senyumannya kosong.

"tapi aku serius! aku bangkit dari tempat dudukku. Menatap keluar, pintu kantin. "terlepas dari aku adalah cenayang atau bukan, aku pasti akan menyembuhkanmu. Karena itu merupakan salah satu pekerjaan dari klub kami. Lalu saat kau sembuh nanti, kau pasti akan mendapatkan kehangatanmu kembali. Lalu tubuh yang sehat. Serta, senyuman yang tulus." Lalu aku kembali menoleh kepada Far.

Wajah Far sejenak memerah, ia berpaling dan gerakannya seperti salah tingkah. "w-well, jika kau yakin bisa."

"apa? Jadi kau bersedia?"

"apa salahnya dicoba bukan?" iapun menatapku, tersenyum lembut hingga keluar air matanya disinari cahaya siang yang hangat. Dan itulah yang kunamakan sebuah lukisan!

"ka—kalau begitu, setelah jam pulang sekolah, tolong temui aku di ruang klubku. Letaknya di—"

"aku tahu kok, lagipula klubmu itu sangat terkenal."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"baiklah, aku akan kesana setelah jam pelajaran terakhir." Far lalu memanggil Mba Sri, hendak membayar semua makanan. Meskipun telah kupaksa untuk kubayar sendiri milikku. Namun ia menolak dan berkata bahwa ini adalah tanda terima kasih.

...

Tetapi untaian terakhir dari benang merah ini, telah menampakkan diri. Saat kami hendak meninggalkan kantin,

"maafkan aku, Iran. Sepertinya aku tidak akan datang ke klubmu sore ini."

Tapi tidak sempat kutanyakan kenapa, Far telah tumbang. aku menahan tubuhnya. Ia begitu kesakitan, mencengkram dadanya. penyakitnya, kumat.

Mba Sri yang panik, berteriak meminta pertolongan. Untung saja pada waktu itu, Pak Anjas tengah berpatroli, mencari siswa yang tidak ke mushollah. Ia yang mendengar Suara minta tolong dari Mba Sri, berlari melihat keadaan kami. Maka dengan cepat, ia mencari kelas terdekat, meminta bantuan kepada siswi – siswi yang berhalangan ke mushollah. Mengangkat Far menuju ke UKS. Kabar terakhir yang kudengar, ia dilarikan ke rumah sakit.

...

Saat Far jatuh, aku sempat berbisik kepadanya, "aku akan datang ke tempatmu malam ini." Lalu ketika suasana menjadi panik. Semua siswa – siswi berkerumun, entah keluar darimana. Dari keramaian itulah, aku mencari celah meloloskan diri, sebelum pada akhirnya, kemudian, aku dipanggil ke ruang BK untuk disidang.

Dibalik ramainya punggung yang melihat pertunjukan. Dibalik bayangan gedung kelas itu, aku melihat Far yang digotong menuju UKS. Sepertinya, pertaruhan ini berada di pihak kami. Aku mengambil HP dari saku celana. Mengirimkan pesan kepada seseorang.

"dadunya menunjuk ke angka genap."

Typing...

"bagus! Mari kita kerja malam ini!"

Typing...

"oke, bosku!"

...