Dono mengeluarkan seutas benang wol merah dan sebuah pisau lipat dari saku gamisnya. Lalu memberikan kedua benda itu kepada Far sembari berkata, "sebelum kita mulai, aku ingin kau mengikat benang ini ke telunjuk kirimu. Lalu saat kuperintahkan nanti, aku ingin kau meneteskan sedikit darah milikmu di atas pisang ambon itu."
Tanpa banyak bertanya, Far mengambil kedua benda tersebut. ia lalu melilitkan benang merah itu ke telunjuk kirinya dan tangan kanannya memegang pisau lipat. "benang merah itu melambangkan cerita yang sebenarnya." Kata Dono menatap serius. "Artinya, jika nanti kau berbohong, maka benang merah itu akan membakar telunjukmu dan memberikan sensasi panas di sekujur tubuhmu."
"tapi sekali lagi kutanyakan kepadamu, Far. apakah kau siap?"
Far mengangguk dengan ragu, walaupun setelah itu ia berkata, "baiklah, aku siap." dengan tersenyum.
"kalau begitu, bersiaplah! Kau juga Iran. pastikan kau tetap waspada!" dan akupun mengangguk. Kadang jika Dono benar – benar serius, ia akan memancarkan aura yang menakutkan.
Dono berdiri di samping lingkaran, lalu berhadapan dengan Far dan sesajen sebagai perantara mereka berdua. Aku sendiri berdiri agak dekat dengan Far. menyaksikan ritual itu berlangsung. Suara hening dari kami bertiga, membuat angin seenaknya bersuara. Melalui bantuan cahaya bulan purnama, aku melihat ekspresi Dono yang tidak berubah.
"bismillahirrahmanirrahim." Dono seolah berbisik. "sebelum kita mulai, marilah kita berdoa kepada Allah Swt untuk meminta perlindungan dan kelancaran. Agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan nantinya. Al – Fatihah..."
Dan kami semua menunduk...
"Amin... baiklah Far, tolong kau beri sedikit darahmu di atas sesajen itu! darah itu adalah tumbal yang harus dibayar untuk ritual ini."
Far memaksa dirinya yang bergemetar. Lalu diirisnya telunjuk kanannya. Maka dengan cepat, darah yang berkilau merah, mengalir keluar. Far menjulurkan telunjuknya di atas pisang, sehingga darah dari telunjuk tersebut, menetes turun dan mengenai pisang ambon muda itu.
Seketika udara menjadi berat. Suara – suara menjerit dan aneh mulai merasuki telinga. Di sekeliling kami sepertinya, sedang terjadi reaksi atas darah itu.
Suasana di sekitar kami benar – benar riuh, aku mendengar suara kaca yang dipukul berkali – kali. Kemudian mataku berputar melihat cahaya putih yang bekerlip dengan cepat dimana – dimana. Kerlip cahaya itu terjadi karena penghalang yang dibuat oleh Dono, hendak dihancurkan oleh makhluk tak kasat mata.
"wah!" kata Dono. "lihat mereka ini! Seketika darah itu diteteskan dan mereka telah menggila." Lalu ia tertawa. Tawanya yang sombong.
GUBRAK! GUBRAK!
Terdengar seperti seseorang yang mencoba mendobrak pintu. Suara itu sangat keras. Lalu bersama dengan suara kaca yang dipukul, mereka membuat simfoni yang mengerikan. Menakutkan. Membuatku berkeringat dingin.
Kami seperti berada di dalam sebuah shelter. Lalu di luar shelter tersebut, ratusan zombie tengah mengepung kami. Mereka mendobrak, mencoba menghancurkan shelter dan hendak masuk. lalu memakan otak kami!
"apa itu tidak masalah, Don?" aku yang panik.
Namun Dono hanya terdiam. Kulihat lingkaran di sampingnya, nampak Si tuyul belum muncul juga. Lalu mataku menuju ke arah Far. Kulihat ia yang tengah membeku tanpa ekspresi, sembari terus meremas jarinya yang berdarah.
"baiklah, mari kita tenangkan diri kita." Kata Dono yang dingin, merogoh HP dari sakunya. "tarik nafas yang dalam... lalu hembuskan." Aku juga ikut melakukannya. "sekarang Far, pejamkan matamu!"
Saat Far memejamkan matanya, tangan kanan Dono terangkat di udara dan seketika suara – suara disekitar kami menghilang. Membisu. Hening total! Bahkan anginpun tak bersuara, lalu detak jantungku seperti terdengar dengan jelas. Setelah itu, iapun kembali kepada HP-nya dan berkata dengan nada dingin,
"jawab pertanyaanku, siapa namamu?"
"Farhah Ayunisa Ramli"
"apa hobimu?"
"aku tidak tahu..."
"apa yang kau suka?"
"aku... tidak tahu."
"berapa tanggal lahirmu?"
"18 April."
"dimana kau bersekolah?"
"SMA Darmawinata."
"dari mana asalmu?"
"dari desa... yang jauh dari kota ini."
"siapa yang membawamu kemari?"
"ayahku—Akh!"
Far merasa kesakitan ketika benang merah yang melilit telunkjuknya, menyala terang. Itu adalah reaksi dari benang merah yang mendeteksi kebohongan.
"jangan berbohong! Siapa yang membawamu kemari?"
"ayah angkatku!" dan benang itu berhenti menyala. Far bernafas lega.
"dimana kalian bertemu?"
"dia memungutku dari jalanan—Akh!" dan benang itu kembali bereaksi ."Tidak! Dia menjemputku dari rumahku."
"kenapa?"
"dia hendak mengadopsiku. Lebih tepatnya, menyelamatkanku karena aku yang telah sebatang kara."
"dimana kedua orangtuamu?"
"mereka mati... aku yang membunuh mereka—Eh!" dan benang itu kembali bereaksi.
"jawab dengan jujur Farhah, siapa yang membunuh mereka!"
Namun Far hanya merintih. Ia bergemetar, menunduk dan meneteskan air mata.
"benang itu tidak akan berhenti membakarmu, sebelum kau menjawab pertanyaanku."
Tetapi lutut Far, jatuh dan membentur lantai. Ia sangat tersiksa oleh sensasi terbakar disekujur tubuhnya atau mungkin tidak. Tetapi ia berteriak histeris. Ia sedang menangis.
"Far?" aku mencoba mendekat.
"hentikan Iran!" tetapi Dono berteriak, mencegatku."selama ini, dia terus membohongi dirinya dan menjadi pecundang. Dari dulu, dia terus saja bergantung kepada tuyul dan jika kau menolongnya, maka sekali ia akan bergantung kepada orang lain. Tidak, dia tidak boleh lari. Dia harus menghadapinya sendiri!"
"tetapi..." dan aku tidak tega melihat Far yang menderita. Maka kubulatkan tekadku.
"kalalu begitu biar aku yang menj—"
"oi, Iran!" namun Dono memotong dan melototiku dengan amarah. "apa kau berencana mengorbankan dirimu lagi?" kepalan tangannya, hendak memukulku. "hentikan akting pahlawanmu itu! sudah cukup kau tersiksa dengan iblis di dalam dirimu itu..." dan aku menunduk, meski perkataan dari Dono, tetap tak membuatku berubah pikiran.
"tuyul yang membunuh mereka!" namun akhirnya Far bersuara. Kami berdua terkejut dan kembali kepadanya.
Dono menghembuskan nafas lega. Lalu dengan datar, ia kembali bertanya,"kenapa ia membunuhnya?"
"karena aku menyuruhnya membunuh dukun."
"kenapa?"
"kenapa?" ia bangkit dan hendak menatap Dono. "itu karena—"
"Falll!"
Tetapi teriakan itu, membuat Far kembali terjatuh. Ia dengan histeris, menutupi wajahnya, menghindari untuk menatap sesosok yang ada dihadapannya.
Sebuah api yang menyala – nyala di dalam lingkaran itu. aku dan Dono menjadi siaga. Api itu meledak dan suara ledakannya mirip ledakan bambu yang terbakar. Namun ledakan dari api itu, tertabrak oleh penghalang dari lingkaran. Kemudian api itu sejenak berputar layaknya tornado, seolah mencari celah untuk keluar dari lingkaran. Dan seketika menghilang. Lenyap dengan bintik – bintik yang tersisa secara dramatis. Dari pusaran api yang menghilang itu, muncullah sesosok yang dinanti.
Sesosok tubuh kurus yang setinggi anak kecil itu, memiliki kulit yang keperakan dan seolah bersinar dihantam cahaya rembulan. Ia seperti pria yang mengalami kebotakan yang parah. ia memiliki ubun – ubun yang seolah berjamur. Menjijikan! Telinga yang mirip Hobbit ataupun Elf. Matanya yang memerah. Gigi yang runcing dan buruk, seburuk wajahnya. ia dengan kuku tangannya yang runcing, mencoba meraih Far yang beberapa meter di hadapannya.
"Fal!" teriak si tuyul memanggil nama Far dengan tidak imut! Ia seolah mengemis.
Namun Far hanya menunduk. Tidak ingin melihat wajah si tuyul. Berkali – kali namanya dipanggil, membuatnya menutup telinga, menggeleng dan menangis.
"sepertinya ada yang sedang dicampakan disini!" Aku dengan tertawa, meledek. Donopun ikut tertawa.
Hal itu membuat si tuyul merasa geram. Ia menatap kami dengan benci. Ia memukul – mukul tembok yang tak terlihat sehingga berbunyi seperti yang kaca dipukul dengan keras berkali – kali. Untuk tubuh sekecil itu, ia memiliki kekuatan yang besar. Suara dari pukulannya seperti bergetar di udara. Dan tak berapa lama,
KRAK!
Kudengar seperti bunyi kaca yang retak.
Hal itu membuat Dono menjadi keringat dingin. gerakan tangan kanan Dono seperti meraih lingkaran yang beberapa jengkal dari dirinya. ia mencoba menahan agar pengahalang dari lingkaran itu, tidak dijebol oleh si tuyul. Tetapi suara dari retakan tersebut semakin besar.
"sial!" Dono kemudian melempar HP-nya ke arahku. Dia mencoba menahan penghalang itu dengan kedua tangannya. "lanjutkan, Iran!" serunya yang susah payah.
"Cerita itu harus dilanjutkan!" Seperti itulah pesan dari tatapan mata Dono. Sebuah kilas balik yang cepat menyambar kepalaku, mengingatkanku ketika kami masih di ruangan klub untuk menyiapkan perlengkapan ritual. Dono menjelaskan tentang cara kerja dari kontrak itu. Ia berkata bahwa untuk melepaskan kontrak sejenis tuyul, maka seorang pemilik kontrak harus melepaskan semua beban yang ada di hatinya. Caranya? Dengan menceritakan semua alasan yang membuatnya membuat kontrak. Sehingga belengguh yang ada di hatinya terlepas. Dan hal itu membuat si tuyulpun sedikit melemah. Lalu untuk melepaskan tali keterikatan dengan tuyul, maka si pemilik kontrak harus...
Maka dengan cepat kulihat Far yang masih menunduk, gemetar. "Far!" teriakku. "bangunlah!"
Namun Far tetap disana dengan ketakutannya.
"Akh!" teriak Dono yang kesusah payahan. Aku telah kehabisan waktu.
"angkat wajahmu dasar cengeng! Jika kau memang begitu takut, lalu kenapa kau membuat perjanjian itu?" dan pundak Far terangkat, dan ia seolah membeku. "kenapa? Ceritakan saja! tak peduli apapun yang akan tuyul brengsek itu hendak lakukan, aku berjanji akan melindungimu! Pasti! Makanya, katakan padaku alasan kenapa kau membunuh si dukun!"
Dan Farpun mengangkat wajahnya, duduk dengan posisi iftirasi, namun menunduk, bergemetar menatap lantai. "ia seorang pemerkosa!"
"kenapa dia melakukannya?"
"itu adalah perjanjiannya dengan..." dia kembali terdiam.
"Farhah!"
"dengan ayah ibuku! Kedua orangtuaku... terlilit hutang ... Ayahku adalah seorang pemabuk... penjudi... lalu tunggakan kontrakan rumah kami, semakin memperkeruh keadaan. Mereka terus saja berkelahi setiap malam. Menyiksaku... secara fisik, melalui mental...
Lalu ketika ibuku yang sudah tak tahan lagi dengan hidup kami, iapun pergi bersama ayahku untuk menemui dukun. Saat pulang, mereka kembali bertengkar. Mereka berbicara tentang tuyul, aku dan perjanjian dengan si dukun di malam jumat kliwon."
"lalu dukun itu datang kepadamu dan melecehkanmu?" Far hanya mengangguk. "apa dia berhasil?"
"tidak, aku melawan dan memukul wajahnya dengan gesper, berkali –kali. Hingga ia berdarah..."
"dan kau selamat?"
"iya, tapi ibu ayahku sangat marah."
"kenapa?"
"dukun itu tidak terima, ia merasa dihina. Ia tidak ingin lagi membantu masalah kami."
"hanya itu?"
"tidak, kedua orangtuaku melampiaskan amarah mereka kepadaku. Aku dipukul hingga sekarat dan akupun harus tidur dalam keadaan meringis kesakitan. Dan saat itulah..."
"tuyul itu datang kepadamu dan hendak membantumu membunuh si dukun?"
"ia mengatakan akan mengambil jantung si dukun. Tetapi kupikir, imbalannya adalah jantungku sendiri."
"namun bukan? Dia mengambil jantung yang lain? jantung dari kedua orang kau sayangi walaupun sikap buruk mereka terhadapmu?"
"aku tahu mereka hanyalah sedang kesusahan... dan kupikir tindakanku itu, nyatanya salah! amarahku saat kesakitan dan pelecehan yang kualami yang ingin kulampiaskan kepada si dukun. Aku ingin membunuhnya! Aku ingin ia menghilang! Namun, nyatanya itu tindakan yang salah! itu membuat mereka berdua menghilang juga!" dan Far menangis sejadi – jadinya.
Aku dan Dono hanya bisa terdiam menatap kasihan nasib perempuan yang malang. "paling tidak, hidupmu yang sekarang..." aku mencoba menguatkan, tetapi kurasa tak bisa.
"hei, Farhah... apa kau menyayangi ayahmu yang sekarang?"
Far hanya mengangguk. "tak pernah aku mendapat kehangatan seperti itu... meski dia sibuk sekalipun, dia selalu berusaha ada untukku. Aku ingat ketika seharusnya ia sedang ada pertemuan penting dengan investor Cina, ia malah membatalkannya. Ia memilih datang dan merawatku. Mengolesiku dengan minyak kayu putih. Tangannya yang lembut... dia menganggapku seperti anaknya sendiri."
"lalu kenapa kau kehilangan emosimu?"
"aku pikir itu cukup. tidak! Aku harus pikir itu cukup! Tetapi mereka yang mati... karena kebodohanku... aku jatuh sakit... terus menerus mengingat mereka... dan aku tak bisa seperti itu terus... aku tak ingin ayahku terus tersiksa olehku... maka akupun..."
"kau meminta tuyul menghilangkan emosimu agar kau tidak terus mengingat masa lalumu yang membuatmu jatuh sakit karena perasaan bersalahmu yang mendalam? Kau menjadi ceriah... periang... ayah angkatmu tak khawatir lagi denganmu... namun itu hanya sementara, lalu hipotermia... dan minyak kayu putih tentang ingatan seorang ayah... dan sore itu, apa benar penawaran terakhir si brengsek ini seperti yang kukatakan tadi siang?"
"iya, dan aku tidak ingin lagi hal itu terjadi. Jangan ayahku! jangan semua orang... namun, konyolnya aku..." Ia tersenyum pasrah dan menatap langit yang berbintang jarang. "aku pikir telah cukup kuat, namun nyatanya aku hanyalah perempuan yang lemah!"
"tidak, itu berarti kau perempuan yang baik."
"eh?" dan tetesan air mata yang mengalir itu menatapku.
"jika ayah angkatmu yang sekarang tidak cukup menguatkan hatimu, maka masukkan aku. Biarkan aku yang berbagi penderitaan itu bersamamu. Apapun yang terjadi. Mari kita sama – sama menderita!" Karena seperti itulah seharusnya seorang teman. "maka dari itu... lepaskan ikatanmu dengan tuyul ini. Jangan lari lagi! Kau harus memikul beban itu sendiri, seberapapun beratnya!" aku menatapnya dengan senyuman tulus. Mungkin. "kali ini ada aku. Jangan takut lagi..."
Bibir Far bergemetar. Matanya melebar. Namun tidak sempat ia berucap, tanggul telah jebol.
"blengsek kau!" teriak si tuyul yang cadel dengan penuh dendam. Dono kembali waspada. Namun saat si tuyul itu melompat dan membentur penghalang dengan sangat keras, nyatanya Dono tak dapat menahannya lagi. Dono terlempar agak jauh. Sedangkan si tuyul itu keluar dari lingkaran yang mengurungnya.
"blengsek kau!" ia sangat marah. ia merangkak. Otot – ototnya mengembang. ia bertumbuh menjadi besar seketika. Kuku – kukunya tertancap di lantai beton dan seperti mengambil ancang – ancang untuk melompat.
Namun saat aku belum siap, ia telah menggigit leherku . "Akhhhhhhhhh!" aku kesakitan. Ia seperti memotong ruang dan waktu saat melompat. Kukunya menancap di dadaku. Akupun tersungkur jatuh.
"sialan kau tuyul mesum!" aku mencoba melawan.
"Iran!" teriak Far.
"bertahanlah Iran. bissimillahirrahmanirrahim!" Dono melemparkan pisau yang tak terlihat ke punggung musuh yang menggigitku.
"Akhhh!" tetapi gigi – giginya malah semakin menancap. dan pandanganku telah menghitam.
"sial, ia masih terlalu kuat! aku akan menolongmu Iran! makhluk ini masih terikat dengan Far. kita harus memusnahkannya bagaimanapun caranya." Namun bukannya merapalkan mantra atau menghimpun tenaga dalam, Dono malah datang dan mencekik leher si tuyul menggunakan sikunya.
"apa yang kau lakukan dasar bodoh!"
"matamu ditusuk yah? aku sedang menarik makhluk ini darimu!"
"adadada... gi—giginya masih tertancam di leherku, kalau kau memaksa menariknya, leherku akan sobek, dasar bod—doh!"
"bacot! Kalau begitu akan kucekik dia sampai mati!" dia mencoba membunuh tuyul dengan mencekiknya.
"ble—blengsek kauuu..." dan sepertinya Dono berhasil.
"ada apa, he? kau sepertinya melemah he! mari kita lihat kau atau Iran yang mati duluan!"
"brengsek kau, Don!" dan kenapa aku seperti didoakan untuk mati?
"blengs—"
"Akh!" dan cakar dari si Tuyul, merobek dadaku. Lalu menusuk pinggang sebelah kiri Dono. "Bangsat ka—wah! Aku terpleset!"
"Akhhhhh" dan Dono yang gendut jatuh. Menimpa kami berdua. Membuat cakar si tuyul, semakin menusuk ke dalam dadaku. Deritaku menjadi dua kali lipat! Dan penglihatanku benar – benar menghilang. Teriakan Dono, si tuyul, udara yang mencekam. Samar – samar semua itu lalu menghilang. Aku melihat jari jemari malaikat kematian hendak menjamah wajahku.
"hentikan!" namun tak sempat jari itu menyentuhku, sebuah suara yang bak malaikat datang dan menggetarkan hatiku. Suara itu menarikku kembali ke dunia nyata. Pada malam dimana leherku digigit oleh tuyul dan ditimpah oleh temanku yang gendut.
"aku bilang hentikan! Sudah cukup! Aku tak ingin lagi berhubungan denganmu!" gigitan dari si tuyul terlepas dan kepalanya yang menjijikan, melihat ke sumber suara.
Suara itu berasal dari Far, yang tengah berdiri dengan lutut yang bergemetar. "tak bisa lagi, apapun itu... aku sudah bisa melakukannya... karena sekarang aku punya... maka dari itu, jangan datang lagi! Ikatan kita telah berakhir!"
"uwah! Aku seperti mendengar pertengkaran kekasih. Apa ini acara "katakan putus" atau semcamnya?" Dono yang mengejek dan masih menimpa kami berdua.
Tetapi tidak kusangka, tuyul itu menangis dengan sejadi - jadinya. Ia seperti anak kecil yang kehilangan permen lolipopnya. Telingaku berdengung karenanya. Wajahnya yang buruk rupa, semakin buruk rupa. Kemudian ia menyusut menjadi kecil kembali. Ia telah melemah. Maka dengan cepat, Dono membanting tuyul tersebut hingga ia terlempar menghatam dinding penghalang. Akupun bisa bangkit walau bingung harus memegang leher atau dadaku yang sakit.
"Iran!" Far melompat, memelukku. Kurasakan sisi gelap dari manusia maksudku, kurasakan ia yang masih ketakutan. Terutama karena emosinya telah kembali. "maafkan aku Iran! Karena aku... kau... aku terlalu ketakutan!" dan ia tetap menangis.
"kau berhasil, Far." mengelus kepalanya dengan susah payah. mencoba menenangkannya.
"heihei, hei..." Disisi lain, Dono telah berhasil menangkap si tuyul. Ia mengurungnya dengan kendi labu yang terbuat dari kaca, milik "si tuan tanah". Kulihat tuyul yang terkurung di dalam kendi tersebut, telah berubah wujud, mirip seperti janin di dalam rahim.
"kau berhasil, Don!"
"kita berhasil." Lalu ia tersenyum.
Akupun ikut tersenyum. akupun batuk dan nafasku seperti habis. "sam—paikan! maafku kepada ibuku, Don."
"eh? Apa maksdmu Iran?"
"te—nanglah, Far... aku... selamat tinggal..."
"eh? Tidak, tidak! akan kupanggilkan perawat kemari. Kau harus hidup! Kau janji untuk bersamaku! Kau... tidak Irannnnn...!!!"
Dan itulah akhir dari kisah pahlawan bernama Iran. Paling tidak, diakhir hayatnya, ia mendapatkan pelukan untuk pertama kalinya dari seorang wanita....
...
"dasar jomblo!"
PAK!
"dah! Kenapa kau menginjak perutku, Don! itu sakit, dasar bangsat!"
"eh? Iran! kau masih... lukamu! Luka di lehermu menghilang! Dadamu juga! Apa yang terjadi?"
"Farhah yang malang. Kau jangan percaya dengan makhluk ini. Dia ini iblis! Tidak, lebih tepatnya di dalam tubuhnya , terdapat iblis!" Dono menatap sinis
"bacot!" dan kami berdua tertawa.
"kenapa kalian... aku merasa khawatir..." Far membenamkan wajahnya di dadaku. Menangis.
"tenanglah Far, aku baik – baik saja kok. Uwah! Kenapa dengan wajahmu itu?"
Cahaya rembulan yang redup, membasahi wajah cemberut itu. aku langsung mengingat karakter anime yang imut. Dia benar – benar perempuan yang imut!
PAK!
Tetapi tenaganya mirip seperti gorilla. dia memukul perutku sehingga berbunyi "bhuk." Dariku.
"uwwah, dia benar – benar mati kali ini!" Kata Dono bernada senang.