Bagaikan tirai yang terbuat dari besi berwarna perak mengkilap, pintu elevator itu terbuka secara perlahan. Dari balik leher pucat dan bahu perempuan itu, aku bisa melihat lampu yang menabrak dua bola mataku dan memperlihatkan suasana sepi di sepanjang koridor. Perempuan yang berpakaian perawat, serba putih itu, berjalan keluar dari lift. Diikuti oleh Dono dengan ransel di punggungnya dan aku yang mengekor di belakang mereka berdua.
Aku hanya bisa menunduk kala kulewati dua pasang mata yang mengawasi dibalik meja resepsionis lantai itu. sedangkan mereka yang ada di depanku, tetap berjalan dengan dingin, melangkah dengan senada, menyusuri koridor yang serba putih dan berbau khas rumah sakit. Tak kuperhatikan jalan yang kami lewati karena mataku hanya tertuju kepada Sneakers dan sepatu berhak tinggi berwarna hitam yang berbenturan dengan ubin mengkilap. Saat dua kaki itu berbelok, akupun ikut berbelok. Ketika langkah mereka terasa lebih cepat, maka akupun mempercepat langkahku.
Kami berjalan pada koridor dengan pencahayaan yang agak redup. Kudengar bunyi dari dua sepatu itu yang semakin keras menyusuri area yang semakin sunyi. Udara dingin datang entah darimana dan memberikan kesan aneh tentang suasana di rumah sakit pada malam hari. Sekali lagi, aku mengecek jam di hpku untuk memastikan bahwa waktu ini memang telah lewat dari jam besuk pasien. Waktu menunjukkan pukul : 23.40, dan hal itu membuat wajahku menjadi masam.
"wah!"
Dengan terburu – buru, aku menyusul pria gempal dengan celana Cargo dan jaket Bomber berwarna biru tua yang ada di depanku. Berjalan beiringan dengannya. Lalu berbisik.
"tidak kusangka jika lobi – lobi Yahudi milikmu, masih belum tumpul Don." Aku bernada satir.
Namun Dono hanya tersenyum bangga. "bukan sesuatu yang luar biasa. Malah, yang luarbiasa disini adalah orang yang telah berhasil membawa kita sejauh ini."
"kau menghinaku yah?"
Namun Dono hanya tertawa kecil. "ah..." Dia lalu memegang bagian belakang kepalanya dengan kedua tangan sembari berkata,"jujur saja, akan lebih mudah jika kita melakukan ini di ruang klub. Namun, kupikir ini tidak buruk juga. Paling tidak, dia dirawat di tempat yang sama sewaktu kelas satu dulu..."
Entah, apakah ini berkat pengaruh dari Ayah Dono yang seorang ketua dari ikatan dokter di kota ini atau ini adalah hak istimewah yang dimiliki oleh seorang anak dari pemilik saham rumah sakit. Yang jelas, fakta bahwa kami dapat menemui seorang pasien di luar jam besuk, memberikan sebuah gambaran di kepalaku tentang betapa menakutkannya kuasa yang dimiliki seseorang dalam mempengaruhi suatu aturan. Bahkan untuk aturan rumah sakit yang terbilang ketat.
"Well, meskipun agak sedikit merepotkan mengemasi ulang perlengkapan dan ada beberapa barang yang tidak dapat kita bawa karena kekurangan tempat."
"hei, mungkin aku tidak akan banyak membantu nantinya..." nadaku merasa bersalah.
Namun Dono hanya tersenyum. lalu menatapku dengan tatapan meledek. "dasar jomblo!"
"bacot!"
"tapi kau tenang saja. jika semuanya lancar, maka ini akan menjadi mudah. Tetapi untuk jaga – jaga, aku telah membawa "oleh – oleh" dari si tuan tanah."
"benarkah? Bagus, dan kali Ini kita akan menangkap buruan yang berguna!" aku dengan antusias.
Setelah berbelok pada persimpangan jalan koridor, suster yang sejak tadi berjalan agak jauh di depan kami, berhenti di depan sebuah ruangan yang tak memiliki plakat penanda di depannya. Suster itu berdiri di depan ruangan dengan posisi simpul, menatap kami yang mendekat. Ia mengenakan masker dengan tatapan datar yang semakin jelas ketika kami telah saling berhadapan di depan pintu ruangan itu.
Seperti seseorang yang memiliki jam kerja yang padat, ia tanpa basa – basi langsung menginstruksikan kami untuk tidak ribut saat di dalam ruangan. Ia juga mengatakan untuk tidak terlalu larut agar pasien tidak kehilangan waktu beristirahat terlalu banyak.
"jangan lupa untuk mencuci tangan anda dan tidak mengenakan alas kaki saat masuk!"
"baik, bu." Jawab Dono bersikap manis.
Setelah itu, iapun izin untuk pamit meninggalkan kami begitu saja. Aneh, meskipun sejak daritadi memang aneh. Tetapi fakta jikalau kau adalah seorang suster yang meninggalkan dua orang pria untuk menjenguk seorang gadis yang sendirian di dalam ruangannya, sudah kelewatan aneh!
Lalu ketika aku menoleh ke belakang, si suster telah menghilang dan hanya terdengar dari koridor dingin nan sunyi, suara hak tinggi yang ia kenakan berbenturan dengan ubin dan kemudian menghilang sepenuhnya. Ia seperti robot perawat model lama atau semacamnya! Ia begitu dingin dan seolah diciptakan berfungsi otomatis.
"apa kau memberi suster itu semacam kalung anjing, Don?"
"bukan aku, tapi Yura."
Dan itulah salah satu alasan kenapa Yura sangat menakutkan!
"baiklah Iran." kata Dono setelah mengintip ke dalam pintu. "jika ini seperti yang dikatakan Yura, maka tidak ada penjagaan menuju atap rumah sakit. Artinya aku bisa menyiapkan semua persiapan disana. Lalu kau yang akan masuk dan mengajak Far menuju atap. Akan kukirimkan pesan jika semuanya telah siap. Kalau begitu sampai jumpa."
"jangan terlalu lama."
Tetapi Dono hanya menatapku dengan mengeluh. "harusnya kau bilang, "tolong buatlah candi di atas sana", Dasar jomblo!"
"bacot!"
Tak berapa lama, suara dari sepatu Dono telah menghilang dari pendengaran. Aku menelan ludah kala kupandang pintu geser di depanku. Pintu yang bertuliskan angka 4556 itu, kubuka dengan perlahan. Pintu itu seperti memiliki peredam suara atau semacamnya. "benar – benar pintu mahal." Kataku dalam hati.
Saat kubuka pintu tersebut, nyatanya satu pintu lagi ada hadapanku. Lalu Hand Sanitizer yang menempel di tembok kiri. Kemudian rak khusus untuk menyimpan sepatu di sebelah kanan. Mirip seperti ruangan perantara dari pintu masuk menuju ruangan utama pada arsitekur rumah di jepang. Suatu prosedur unik yang hanya bisa kau dapatkan untuk perawatan kelas utama!
Aku melakukan semua yang diinstruksikan oleh si perawat. Mencuci tangan lalu menaruh sepatuku di rak itu. kemudian langkahku perlahan menuju pintu. Sempat kucoba intim melalui kaca yang gelap pada pintu, namun mustahil. Dan entah kenapa sebuah aura aneh datang darimana menyerang pikiranku dan sejenak aku bergemetar. Aku menelan ludah kembali dan membulatkan tekad. "permisi..." kataku sembari membuka pintu yang tak bersuara itu.
Sebuah angin yang datang entah darimana seolah menolak wajahku untuk masuk. lalu mataku terpaku oleh sebuah lukisan berikutnya. Melalui jendela yang telah terbuka, seorang gadis berkulit pucat yang berpakaian kimono tipis berwarna biru muda sedang dimandikan oleh cahaya bulan yang kelabu. Far tengah duduk menyandarkan diri di atas ranjang pasien sembari menatap senyum ke arah orang yang menganggu pesta hening.
Satu – satunya penerangan di ruangan itu, hanyalah dari jendela. Sedang prabotan di dalam ruangan, nampak samar, seolah malu – malu menampakan diri kepada pendatang, mereka memilih untuk bersembunyi dibalik bayangan kegelapan.
"masuklah." Kata Far yang memecah bisuku.
"ba—baiklah."
Dengan sedikit gugup aku berjalan mendekat, berdiri kikuk, agak jauh dari tiang infus. Far melebarkan senyumnya melihat tingkahku. Iapun berkata,
"duduklah!"
Kuambil sebuah kursi tanpa sandaran dan berbantal bulu yang ada di dekatku. Seolah ingin menghindari penerangan yang ada, aku duduk diantara bayangan dan cahaya. Kutegakkan badan, lalu kubersihkan tenggorokan. Kemudian menyapa sang pemilik ruangan.
"a—apa kabar?"
"baik."
Setelah itu, tak ada suara sedikitpun. Sebenarnya ada, namun suara dari angin malam. Perempuan yang tadi menjawab pertanyaan, kini berbalik dalam hening menatap keluar jendela. Aku melihat misteri dari raut wajah yang kurus itu. aku melihat derita, dari bentuk senyuman yang simpul itu. Lalu aku melihat misteri sekali lagi, melalui suasana gelap dan hening ruangan ini. Aku melihat TV dinding di depan pasien. Lalu sebuah foto dengan gambar yang agak samar oleh gelap, di atas kepala pasien. Lalu lantai ini seperti dingin kepada pengunjung. Dan perempuan ini, seperti tokoh dalam lukisan perlawanan. Kurus dan tak berjiwa.
"dimana Yura?"
Pertanyaan itu membuatku terbangun dari buaian.
"hanya aku dan Dono yang pergi."
"kalau begitu dimana dia?"
"di atap. Menyiapkan beberapa hal."
"lalu apa yang ia siapkan?"
"entahlah, mungkin mirip seperti pesta pelepasan wisuda."
"jadi benar, malam ini yah?"
"yah."
"..."
"..."
"kau tahu, aku sebenarnya gugup. Sewaktu kau yang di kantin tadi, berkata akan menyelamatkanku. Kemudian aku pingsan. Dan aku seperti setengah senang dan setengah kecewa. Tetapi, ketika kau bilang akan datang kepadaku. Akupun sengaja untuk tidak tidur. Padahal, tak ada hal yang lebih baik saat kau sakit selain tidur."
"tetapi aku datang bukan?"
"benar." Dia tertawa kecil. "katakan padaku, Iran..." dan matanya menuju ke arah wajahku. "kenapa kau ingin menyelamatkanku?"
"bukan aku, tetapi kami. Atau lebih tepatnya, itu adalah pekerjaan dari klub kami. Namun secara pribadi, aku memang ingin membantumu."
"kenapa?"
"karena kau mentraktirku bakso."
"bukankah sudah kubilang, itu untuk terima kasih?"
"memang, dan aku menggunakannya untuk membalas budi."
"hm... mirip seperti Abu Nawas..." Dan Far tertawa. "tapi apa yang akan terjadi jika aku sembuh nanti? Aku sudah kehilangan mereka berdua. Aku telah menjadi pembunuh! Lalu kesembuhanpun, tak ada gunanya! Kupikir begitu. Maksudku, dulu saat aku masih sehat, aku hidup dalam penyesalan. Namun ketika aku kehilangan api emosi, aku menjadi hampa. Lalu apa yang terjadi ketika aku sembuh? Aku akan kembali menyesal dan lingkaran setan itu tak akan pernah terputus. Hidupku telah dikutuk menjadi absurd!"
"bukan hidupmu yang absurd."
"lalu?"
Aku mendorong rambutku ke belakang. Bernafas berat. Melipat kedua tanganku di atas perut."hidup itu memang absurd."
Far memiringkan wajah, tanda tidak paham.
"Kau merasa telah berhasil menyelesaikan masalahmu. Namun, tanpa kau sadari, itu memunculkan sebuah masalah baru, dan masalah – masalah itu terus datang tanpa henti. Dan kaupun mencoba menyelesaikan masalah baru itu, satu – persatu. Dan seperti itulah seterusnya, kau hidup untuk mendorong batu ke puncak bukit dan saat di puncak nanti, batu itu akan menggelinding turun ke bawah. Hidup ini telah dikutuk menjadi absurd! Lalu semua usaha manusiapun, selalu menuju nihil."
"begitu, yah?" dan dia menunduk dengan senyuman gemetar.
"tetapi "dikutuk", bukan berarti dikutuk."
"Maksudmu?"
"dikutuk hanyalah sebuah pandangan. Opini. Ketika seseorang merasa dirinya dikutuk selalu sial, maka ia akan selalu merasa sial. Namun, bagaimana jika ada seseorang yang jatuh miskin dan harta bendanya hanyalah sepasang pakaian lusuh yang ia kenakan. Tetapi ia mengatakan, "hei, aku sedang bahagia!" dan selamanya dia bahagia. Dia memang tidak mengubah keadaan tentang hidupnya yang miskin. Tetapi yang berubah adalah dirinya sendiri. Karena mawar selalu lebih merah di matanya dan langit selalu lebih cerah di hatinya. Maka iapun tidak pernah berpikir bahwa ia sedang dikutuk dan iapun terbebas dari kutukan nihilisme.
Well, mungkin itu terdengar seperti penipuan diri. Tetapi kebahagiaan seperti itu tidak akan menghancurkanmu, meskipun kau sendiri, menjadi hancur secara harfiah." Dan kepalaku seperti Jet Coster karena mendengar ucapanku sendiri.
Tetapi Far hanya tersenyum simpul, berkaca – kaca menatapku. Dan kembali tertawa. Dan itu memuakkan, namun aku rasa, ada yang berbeda. "entah kenapa, matahari terbit lebih awal." Katanya menatap ke luar jendela.
"maksudmu?"
"entahlah, tapi tahu tidak Ilan?" dan dia kembali ke arahku. bergimik imut. "sekalang Far tidak menggunakan minyak kayu pucih lagi, loh!"
"benalkah? Pantas saja aku tidak mencium bau—tunggu sebentar!" aku seketika bangkit dan melompat, mencengkram kedua bahunya. "apa kau berencana untuk bunuh diri?"
Kutatap ia dengan was – was tetapi nyatanya dia hanya terkekeh, "tidak..." lalu kedua bola matanya yang berbinar terpantul sinar bulan, menatap dalam mataku. "entah kenapa... tanpa benda itupun, aku merasa lebih hangat, sekarang..." Dan senyumnya yang pucat, membekukan diriku.
"wah!" aku segera tersadar. entah angin apa itu barusan. Pundaknya tidak terasa dingin. Tetapi malah memberikan sengatan listrik ke kepalaku. Apa perempuan ini telah berevolusi menjadi Pikachu atau semacamnya?
Untung saja aku terlempar ke kursiku. Tetapi tetap terasa sakit. "aduh!" dan aku yang panik tengah menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh dari kursi.
"kau tidak apa – apa?"
"aku tidak apa—wadaw!" PLAK! Punggungku menghantam lantai dan kepalaku seperti tersengat listrik secara harfiah. Aku benar – benar terjatuh kali ini.
"hei Iran, kau baik – baik saja?" teriak Far yang panik.
"b—bukan sesuatu yang parah. tetapi paling tidak, biarkan dirimu sendiri tenang dan duduklah yang manis!"
"apa maksudmu?" .
"..."
" ...Ah!"
Ranjang pasien itu berbunyi seperti seseorang yang merayap di atasnya. Lalu aku yang mendengarnyapun, bangkit dan kembali duduk sembari memegang belakang kepalaku yang kesakitan. Kulihat Far dengan wajah memerah membuang muka, tengah duduk bersimpul, menyandarkan dirinya ke jendela sembari menekan kerah kimono yang ia kenakan.
"a—aku minta maaf!" ia yang panik.
"tidak, itu karena gravitasi sedang tidak baik – baik saja."
Sebelum aku terjatuh, Far dengan panik, mencoba menahanku. Kupikir aku melihat lukisan yang berbeda, tetapi nyatanya, selain tidak menggunakan minyak kayu putih, ia juga tidak menggunakan "itu". Itulah sebabnya saat ia dengan pakaian kimono miliknya, merangkak menuju wajahku, aku secara tidak sengaja melihat sisi gelap dari manusia dan membuatku terjatuh. Bukan karena kaget, tetapi karena gravitasi sedang tidak baik – baik saja!
Kami berdua sedang terdiam. Itu terasa seperti hening kembali di ruangan itu, tetapi itu adalah hening yang berbeda. hening itu terasa seperti.... Canggung.
"pft!" aku hendak bersuara barusan, tetapi inisiatif itu telah diambil oleh si pemilik ruangan. "gravitasi sedang tidak baik – baik saja? Pft!" Far menutupi mulutnya mengunakan lengan kimono yang kepanjangan di tangannya. "konyol!" dan bendungan tawa itu kembali jebol, menggetarkan seluruh isi ruangan.
"dan itulah yang dinamakan konyol secara harfiah!" aku juga ikut tertawa.
...
Setelah itu, aku menerima pesan dari Dono. "persiapannya sudah selesai." katanya. Maka akupun mengajak Far menuju ke atap rumah sakit yang aku sendiri tidak tahu dimana. Lalu pesan berikutnya dari Donopun, datang. Sebuah Link yang ketika aku klik, nyatanya membuka laman GoogleMaps. Apakah rumah sakit ini adalah sebuah kecamatan atau semacamnya?
Aku sedang menunggu di depan pintu ruangan. Mengenakan sepatu dan mengecek kembali pesan lain dari Dono. Pesannya berisi tentang petunjuk jalan menuju atap rumah sakit. "jalanlah menuju utara, lalu setelah 500m, belok kanan! dan..." Typing. "setelah bertemu perempatan, lurus dan jalanlah dengan pelan – pelan, jangan sampai CCTV menganggapmu sebagai ancaman!"
Aku mengikuti semua instruksi dari Dono Assisten. Lalu Far yang menutupi dirinya dengan mantel dan beralaskan sandal ruangan, mengekor di belakangku. Setelah aku membuka pintu yang awalnya kupikir gudang, kami menaiki tangga yang berada di dalam ruangan tersebut. Lalu ketika kubuka pintu yang berada di ujung tangga, tiupan angin malam sekali lagi menyambutku. Lalu bulan yang berpurnama sempurna, nampak sangat jelas dari atas atap itu.
"selamat datang."
Seorang pria bertubuh gempal tengah berdiri tegak, melipat tangan di atas perut buncitnya dan bersikap angkuh. Ia mengenakan gamis berwarna putih yang selaras warnanya dengan sepatu sneakers miliknya. Gaya berpakaiannya mirip orang Indonesia yang kearab – araban. Dan sebagai pelengkap, iapun mengenakan peci bulat putih yang sebulat wajahnya.
"jadi katakan padaku, Don. kau ini apa?"
"aku adalah pangeran minyak."
aku mendekat dan kulihat wajahnya yang nampak konyol. "jika maksudmu adalah wajahmu yang berminyak, maka kau memang pangeran minyak!"
"ah, lama tak bertemu Mul!" sapa Far yang mendekat.
"assalamualaikum, Ukhti!" Dono memberi salam seraya gerak tangannya, merapat di dada. Salam Namaste. Tak lupa diikuti logatnya yang kearab – araban.
Lalu diikuti oleh Far dengan senyuman dan logat yang sama. "waalaikumsalam, Akhi!"
Aku hendak tertawa, namun kupikir itu akan menjadi penistaan agama. Tetapi mereka berdua memang nampak sangat konyol!
"bukankah Mul itu ayahmu, Don?"
"tidak. Hanya perempuan yang boleh memanggilku Mul."
"lalu Yura?"
"dia bukan—ah, sudahlah! Yang lebih penting lagi, nyatanya kau berhasil membuatku kagum sebanyak dua kali." Lalu ia menatap Far yang tengah sibuk memeluk mantel. Nampak kedinginan. "kurasa akan lebih baik jika kita secepatnya melakukan ritual tersebut. Apakah kau telah siap, Far?"
"ritual? Ritual apa?"
"ritual untuk mengembalikan api emosimu. Atau lebih tepatnya, memutuskan kontrakmu dengan si tuyul."
"bagaimana caranya?"
"nanti kau akan tahu sendiri. Yang jelas, aku butuh kesiapanmu saat ini juga. Karena sekali kau melangkah, kau tidak pernah kembali!"
"artinya kau akan berhenti mengolesi tubuhmu dengan minyak kayu putih." Lalu aku tersenyum dan menatap Far untuk meyakinkannya.
Far juga tersenyum, lalu menggangguk. "baiklah." Kata Far kepada Dono.
"bagus, kalau begitu ikuti aku!"
Far dibimbing untuk menuju sebuah lingkaran yang telah digambar oleh Dono menggunakan cat tembok berwarna putih. Lalu ia diminta untuk melepaskan mantel miliknya yang kemudian kutaruh di dekatnya. Di sisi lain lingkaran itu, terdapat lingkaran lainnya dan membuat kedua lingkaran tersebut, saling berhadapan.
Lalu diantara kedua lingkaran itu, terdapat sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat yang mengeluarkan asap dan bau khas kemenyan. Lalu disekitar dupa tersebut, terdapat dua piring yang berisi: kembang kertas dan piring yang lainnya berisi bunga melati. Kemudian sesisir pisang ambon muda yang di taruh di atas piring dan diletakkan di antara kedua bunga itu. Far nampak kebingungan melihatnya.
"ini adalah sesajen." Kata Dono kepada Far. "api dapat memanggil setan dan sebuah sesajen akan membuat mereka menjadi gila. Tetapi kelemahannya adalah kau tidak dapat menganggil makhluk halus secara spesifik. maka itulah aku telah membuat "penghalang" disekitar kita, agar makhluk yang tidak diinginkan masuk, tidak mengganggu kita. Lalu lingkaran itu adalah tempat dimana si tuyul akan muncul nantinya. Kedua lingkaran itu sendiri telah kuberi penghalang. Jadi kita tak perlu khawatir jika si tuyul menjadi anarkis dan hendak mencelakaimu.
Tetapi aku tidak bisa memanggil tuyul itu secara langsung. Hanya kaulah bisa."
"bagaiamana caranya?" tanya Far.
"cukup lakukan apa yang aku perintahkan."
...