Chereads / Sepasang Pena / Chapter 7 - Rute

Chapter 7 - Rute

Satu bulan berlalu tanpa terasa. Kebiasaan baru yang awalnya terasa cukup sulit akhirnya kini menjadi sesuatu yang dibutuhkan, seperti berbicara menggunakan bahasa turki misalnya.

Banyak pengalaman baru yang kini menjadi pengalaman hidup. Beratnya hidup mandiri tanpa ditemani ibu dan bang Gibran kini seolah terasa menjadi hal yang biasa saja. Wajar saja selama 19 tahun aku tak pernah jauh dari ibu.

Teman-teman baru, lingkungan baru, pengalaman baru, keluarga baru, banyak hal menakjubkan yang ku temui tanpa pernah ku duga sebelumnya. Semakin hari, syukurku kian bertambah pada Tuhan. Alangkah baik nya Tuhan padaku.

Awalnya aku mengira akan susah menemukan orang-orang yang sefrekuensi dengan ku, namun lagi-lagi perkiraan ku salah. Bahkan disini aku bisa menemukan keluarga, rasa saling menyayangi, menghargai, toleransi sangat dijunjung tinggi walaupun kami berbeda latar belakang sekali pun.

Satu bulan berlalu, itu artinya ada 30 hari yang sudah terlewati. Banyak sudut-sudut kota istanbul yang sudah aku lewati melalui ekspedisi bersama teman-teman. Banyak pula nama-nama jalan, toko, rumah makan, sekolah yang aku ingat. Selain ku abadikan melalui ingatan, tak lupa kamera ku pun ikut berperan dalam mengabadikannya.

"Ru jadi ga?" tanya Shindy

"Kemana?"

"Belanja, stok sabun udah habis"

"Yaudah nanti jam 9 aja berangkatnya"

"Baiklahhh" jawab Shindy mengalah

"Ajeng mana?" tanya ku

"Paling tu anak lagi jogging"

"Rajin amat"

"Yuk susul"

"Engga ah males"

"Yaelah"

Aku hanya menjawabnya dengan cengiran kuda.

---------------

"Ru laper.. makan yuk" ajak Ajeng

"Sabar ini kan mau pulang, nanti aku masakin di dorm. Sayang bahan makanannya udah dibeli"

Ajeng menghembuskan nafas.

"Yuk pulang" ajak Shindy yang baru selesai membayar belanjaan

"Akhirnya beres juga, yuk buruan pulang udah laper nih" ajak Ajeng tak sabaran

Kami pun menggunakan bus kota, sengaja kami berbelanja di minimarket luar sebab beberapa barang yang dicari stok nya sedang kosong di minimarket dorm.

Selama perjalanan ku lihat beberapa pemandangan yang sangat menarik hati. Baru ku sadari ternyata bus tidak melewati jalur yang biasanya. Bus berputar menggunakan jalur yang sedikit jauh, membuat perut Ajeng semakin tersiksa oleh rasa lapar.

"Yaudah nih makan aja dulu buat ganjel perut" sembari ku sodorkan sebuah makanan padanya.

Tanpa basa-basi Ajeng langsung melahapnya, terlihat sekali jika ia sedang kelaparan. Kasian juga jika memaksanya untuk tetap menahannya, belum lagi menunggu waktu estimasi ketika memasaknya.

-------------

"Assalamu'alaykum bu.."

"Wa'alaykumussalam warahmatullaah"

"Ibu lagi apa?"

"Ibu lagi nonton tv. Aru sudah makan nak?"

"Udah bu, belum lama baru selesai"

"Gimana sekarang lidah nya sudah cocok dengan makanan disana?"

"Alhamdulillaah bu ada peningkatan hehe"

"Syukurlah kalau begitu. Ibu khawatir jika kamu terus-terusan harus makan mie tiap hari"

"Kan mie itu enak bu"

"Tapi kan ga baik juga buat kesehatan"

"Ya maaf bu"

Jika sedang telepon dengan ibu suka tidak sadar akan waktu, banyak sekali hal terus diceritakan. Padahal tiap hari kami selalu memberi kabar, entah aku akan berangkat kuliah, pulang kuliah, jalan-jalan atau apapun yang sedang aku lakukan aku pasti akan mengabari ibu.

Dengan begitu aku tak merasa jauh dari ibu, sebab dengan begitu aku akan terus merasa dekat dengan ibu walaupun hal tersebut merupakan sebuah euforia sesaat. Akan tetapi mampu menjadi sebuah alternatif yang manjur.

"Ru besok ga ada tugas dari pak Erward kan?" tanya Ajeng

"Perasaan sih ga ada, ya kan Shin?"

"Jangan pake perasaan"

"Namanya juga cewe"

"Ada ga Shin?" tanya Ajeng

"Perasaan sih emang ga ada"

"Yaelah katanya tadi jangan pake perasaan"

"Ya emang jangan, takut nya kan baper"

"Yaelah Shin, kamu ini yah"

Kami bertiga tertawa bersama. Sebenarnya kebahagiaan itu bisa kita ciptakan, sekecil apapun harus kita hargai keberadaannya. Sebab ketika ia tidak ada, maka kita akan selalu dibuat kesusahan oleh isi kepala kita yang jelas-jelas belum tentu akan terjadi. Atau hal yang selalu dikhawatirkan oleh hati.

Diri kita sendiri lah memegang kendali atas diri. Kita memang tidak bisa memilih rute yang sesuai dengan kehendak hati kita. Akan tetapi, kita bisa memilih dengan apa kita bisa melewati nya dan itu ada pada diri kita sendiri.

Tentunya rute yang kita lewati akan selalu berbeda-beda sesuai dengan tujuannya. Kita tidak bisa terus-terusan melewati jalur yang selalu mulus. Adakalanya kita perlu melewati jalur bebatuan yang menanjak. Adakalanya kita perlu melewati jalur yang licin, jalanan yang berlubang, jalanan yang berlumpur, jalanan yang gersang tanpa daun sehelai pun. Kita harus tetap melewatinya. Sebab jika kita terus-terusan diberi kemudahan untuk melewati jalur yang mulus dan lurus, kita akn terlena dibuatnya. Jalur yang lurus akan membuat kita terkantuk-kantuk dan akhirnya bisa berujung bencana bagi kita sendiri. Tetapi sebaliknya, jika kita melewati jalur yang penuh rintangan kita akan berjalan dengan penuh kehati-hatian bukan?

Tak usah memaksa semuanya untuk sesuai kehendak. Sebab Tuhan tau apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Kita hanya perlu berusaha dan bersyukur setelahnya. Dan tak lupa untuk berterimakasih pada siapapun, sekecil apapun kebaikan tersebut. Berterimakasih adalah bentuk syukur kita. Dan jangan lupa untuk terus berterimakasih pada diri sendiri