"Günaydın" sapa seseorang yang baru saja memasuki ruangan
"Günaydın" jawab kami serempak
Kami terheran-heran dengan sosok yang baru saja masuk. Hari ini bukan Pak Erward yang ada di hadapan kami, melainkan sosok lain yang belum kami kenal. Kami kebingungan. Saling menatap satu sama lain.
"Perkenalkan nama saya Bagaskara, panggil saja Bagas. Hari ini pak Erward sedang ada kepentingan mendadak, jadi hari ini kelas digantikan oleh saya untuk beberapa hari ke depan"
Para mahasiswi saling bersorak-sorai. Karena bagaimana tidak, pak Bagas ini masih sangat muda mungkin umurnya tidak terlampau jauh berbeda dengan kami. Apalagi dengan setelan maskulinnya yang mampu memikat wanita mana saja yang melihatnya. Aku? Biasa saja melihatnya.
Dalam waktu 5 menit sesi perkenalan pun selesai. Setelahnya pak Bagas memulai pembelajaran kembali.
"Baik. Kali ini saya tidak akan membawakan materi baru. Akan tetapi saya akan mengajak kalian semua untuk mengenal tentang budaya di Turki"
Tak ada yang bersuara diantara kami. Kami memperhatikannya dengan seksama, apalagi para mahasiswa nya menatap dengan sambil senyum-senyum sendiri. Aku bergidik ngeri melihatnya. Aneh, pikirku.
Pak Bagas mulai menjelaskan perihal budaya Turki. Penjelasannya cukup detail. Ia memulainya dari akar. Sangat terlihat jika ia sangat menguasai materi tersebut sebelum disampaikan kepada kami.
Kami enjoy dibuatnya. Seolah-olah kami sedang diajak berpetualang masuk ke dalam cerita yang sedang ia sampaikan. Bahasa yang disampaikannya pun mudah dipahami, tanpa kata-kata yang berbelit.
"Berbicara tentang Turki, sejarah akan selalu menyandingkannya dengan sejarah penaklukan konstatinopel oleh Sultan Mehmed II atau yang sering dikenal dengan sebutan Sultan Muhammad Al Fatih. Walau menguasai Konstantinopel, Sultan Mehmed II tidak lantas menghancurkan sebuah bangunan. Apakah disini ada yang tahu bangunan apa yang tidak dihancurkannya itu?" tanya pak Bagas
Kelas seketika hening, tak ada satu pun suara yang terdengar. Masing-masing dari kami menengok teman di kiri dan kanan nya. Namun entah dorongan dari mana tiba-tiba aku mengangkat tanganku.
"Ya kamu" tunjuk pak Bagas padaku.
Aku masih melongo menatap pak Bagas.
"Siapa nama mu?"
"Aruna"
"Ya Aruna silahkan dijawab. Bangunan apa yang dimaksud?"
"Hagia sophia."
"Apakah ada jawaban lain?" pak Bagas melemparkan pertanyaan pada yang lain, memberi tahu secara halus jika jawaban ku salah.
Aku terhentak kaget. Tapi seingat ku dulu ketika mempelajari kisah penaklukan Konstatinopel, Hagia Sophia lah bangunan geraja yang tak Sultan Muhammad Al Fatih hancurkan. Mengapa hal tersebut istimewa, sebab Sultan Muhammad Al Fatih adalah seorang muslim yang taat.
Tak ada satu pun orang yang mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan dari pak Bagas.
"Sultan Muhammad Al Fatih membiarkan Hagia Sophia sebagai gereja Ortodok untuk tetap berdiri, membiarkan simbol-simbol kristen di dalamnya dan hanya menutup simbol-simbol itu dengan simbol Islam. Gereja yang sudah berumur seribu tahun itu menjadi masjid hingga 1932 sebelum kemudian diubah menjadi museum oleh Presiden Turki Mustafa Kemal Ataturk." aku kembali menjawab untuk menjelaskan jika jawaban pertama ku benar.
Pak Bagas memperhatikan ku sejenak tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Karena Kesultanan Utsmani runtuh pada November 1922 M dan digantikan oleh Republik Sekuler Turki. Presiden pertamanya, Mustafa Kemal Ataturk memerintahkan penutupan Aya Sofya pada 1931 M untuk umum, dan dibuka empat tahun setelahnya pada 1935 M sebagai museum. Karpet untuk ibadah shalat dihilangkan, plester dan cat-cat kaligrafi dikelupas, menampakkan kembali lukisan-lukisan Kristen yang tertutupi selama lima abad. Sejak saat itu, Aya Sofya dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istanbul." Lanjutku.
Seketika pak Bagas bertepuk tangan kemudian tersenyum.
"Good job Aruna"
Aku bernafas lega. Ternyata aku tak keliru ketika mempelajari tentang penaklukan konstatinopel. Ingatan ku masih tajam tentang isi buku yang menceritakan detail setiap kejadiannya.
"Apa kau mempelajari sejarahnya Aruna?"
Aku menjawabnya dengan menganggukan kepala sembari tersenyum.
"Bagus" jawabnya singkat.
Kemudian pak Bagas melanjutkan materinya hingga selesai. Tak terasa dan kelas pun berakhir.
Setelah pak Bagas keluar, semua mahasiswi di kelas sibuk membicarakannya termasuk Shindy dan Ajeng.
"Ganteng banget ya" ucap Shindy
"Iyaa, jodohkuu" sahut Ajeng
"Mana ada? Kali aja udah nikah"
"Belum lah, jelas-jelas ditangannya belum ada cincin berarti emang belum nikah"
"Ya kali aja emang lagi ga pake kan"
"Sebelum janur kuning melengkung, masih bisa buat dimilikin"
"Bangun udah siangg"
"Udah ah kenapa pada jadi ribut gini. Laper kih, ke kantin yuk" ajak ku yang merasa risih dengan obrolan mereka yang memperebutkan pak Bagas.
--------------
"Ternyata ada juga ya dosen dari Indonesia" sela Ajeng di tengah kami sedang makan siang
"Masih muda, pinter, ganteng pula. Siapa sih yang ga suka" celetuk Shindy
"Sama kaya aku. Masih muda, pinter, cantik pula"
"Yaelah ngaca kali Jeng" ledek Shindy
Aku pun tertawa dibuatnya.
"Eh tapi ngomong-ngomong ya pak Bagas jika diliat sekelebat mirip Aru loh" ucap Shindy
"Hmmmm... bisa jadi sih" tambah Ajeng
"Masa iya ah, ga mungkin kali" elak ku
"Mirip tau"
"Ehem kaya adek kakak" Ajeng menambahkan
"Kakak ku kan Bang Gibran ada tuh di Indonesia"
"Atau barangkali jodoh di masa depan Aru ya?" celetuk Shindy
"Mulai nih ngide" tungkasku
"Pak Bagas kan aku jodoh nya Shin" ucap Ajeng dengan percaya diri
Shindy hanya mampu mengerlingkan matanya. Sedangkan aku lagi-lagi dibuatnya tertawa.