Chereads / Greentea Latte / Chapter 31 - -31- Lampu Merah

Chapter 31 - -31- Lampu Merah

Bibir Hevan bergetar,dia menatap tak percaya kepada gadis di sampingnya itu. Mereka tak hanya sekedar kakak kelas dan adik kelas,ada takdir aneh yang terjalin diantara keduanya. Yaitu takdir kematian orang tua mereka.

"Jangan bilang ayah kakak bernama Dricko?" tanya Hevan. Matanya sudah memerah menahan amarah.

Ghirel mengangguk karena memang seperti itu faktanya. Dricko Sutomo adalah nama lengkap ayahnya.

Hevan memukul stir mobilnya hingga memar,dia mengusap wajahnya frustasi. Dengan emosi menggebu-gebu yang berada di dalam dirinya,dia menatap penuh kebencian kepada Ghirel. Tidak ada tatapan hangat dan cinta lagi pada mata tersebut,Ghirel merasakan hal itu.

"Kak,keluar dari mobil ini sekarang!"pinta Hevan.

Ghirel kebingungan,dia sendiri tidak mengerti dengan situasi yang ada. "Kenapa? Ada apa?"

Hevan yang mendengar itu merasa semakin marah,dia mencengkram kuat kedua lengan Ghirel yang hanya tersisa kulit dan tulang. Mendapat perlakuan seperti ini membuat Ghirel mengerang kesakitan. Hevan benar-benar membuat lengannya memerah berbentuk jari-jari Hevan saking kencangnya laki-laki itu mencengkramnya.

"Bokap lo adalah penyebab rusaknya keluarga gue,"jawab Hevan.

Ghirel membelalakkan matanya,nafasnya menjadi tak teratur. Apa yang dimaksud oleh Hevan? Ayahnya melakukan hal apa hingga menyebabkan keluarga Hevan hancur tak tertolong seperti saat ini?

"Maksudnya?"tanya Ghirel yang masih belum mengerti dengan situasi.

"Turun sekarang atau gue seret lo buat turun dari mobil ini!"pinta Hevan dengan suara lantangnya.

Nyali Ghirel menciut,dia segera mengambil barang-barangnya lalu turun dari mobil tersebut. Dia turun tepat di dekat trotoar dekat sebuah perempatan dengan lampu lalu lintas.

"Apa yang terjadi?"Ghirel bertanya-tanya sendiri. Apa maksud dari ayahnya perusak keluarga seseorang?

Ghirel termenung di pinggir jalan,dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Memikirkan maksud dari kata-kata yang dilontarkan oleh Hevan. Sungguh Ghirel tak memahami itu. Gadis itu bahkan tak menyadari bahwa rintik hujan mulai turun perlahan.

***

"Sis,bagi gue es krimnya!"kata Afka.

Mereka sudah pulang dari mall,di sana mereka hanya makan dan berbelanja camilan lalu orang tua Siska menelfon menyuruh untuk pulang karena akan ada keperluan.

Siska menyodorkan es krim coklat yang berada di genggamannya membuat Afka merasa jengah.

"Lo mau kita mati jamaah?"sindir Afka.

Siska menatap Afka dengan mata melotot, "terus gue harus nyuapin lo gitu?"

Melihat Afka mengangguk membuat Siska kesal. Dia tidak kesal karena marah,dia hanya takut perasaan yang ada di hatinya semakin tak terkendali seiring banyaknya kenangan manis yang kembali terjalin diantara keduanya.

"Lo aja Fran yang nyuapin dia!" Siska menyodorkan es krim tersebut kepada Fran yang tengah asik bermain game nya.

Fran menolak langsung, "ogah ah,masalah es krim aja dibikin ribet! Ada lampu merah bentar lagi."

Siska mengangguk-anggukan kepalanya,"nunggu lampu merah aja."

Setelahnya gadis itu kembali menikmati es krim tersebut membuat Afka merasa kesal,hanya masalah es krim saja sampai ribet seperti ini astaga.

"Terus nanti pas lampu merah udah abis gara-gara lo,"sindir Afka. Siska hanya tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya.

Tak beberapa lama,keduanya sampai di lampu lalu lintas yang di maksud oleh Fran. Keberuntungan sedang berada di pihak Afka karena lampu menunjukkan warna merahnya. Setelah mobil benar-benar berhenti,Afka langsung menarik es krim dari tangan Siska dan melahapnya tanpa dosa.

"Es krim gue,"gadis itu meratapi nasibnya.

Fran baru saja menyelesaikan game nya,dia melihat sekitarnya memperhatikan embun di kaca mobil yang semakin banyak. Sepertinya gerimis ini akan menjadi hujan besar. Saat dirinya tengah memperhatikan sekitar,matanya menangkap seorang gadis yang tengah termenung di pinggir jalan. Mata gadis itu kosong tak menyiratkan apapun,seolah-olah gadis itu jati kehilangan dirinya.

"Af,itu Ghirel!"kata Fran sambil menunjuk gadis yang berada tepat di samping Siska.

Siska yang mndengar itu segera menoleh dengan cepat. Dia terkejut bukan main dan langsung menunduk bersembunyi,sekarang pikirannya kalut takut jika Ghirel melihatnya. Sedangkan Afka langsung meletakkan es krim di tangannya dan hampir membuka pintu mobilnya untuk menghampiri kekasihnya.

Tangan Afka dicekal oleh Siska dan Fran yang mencegahnya,"lo gila? Kalau lo turun kita ketauan!"sentak Siska.

Afka dengan santainya hanya menjawab,"ketauan apa?kita gak selingkuh. Kita juga gak berduaan,ada Fran di sini."

Siska hanya bisa pasrah saat Afka turun dari sana dan menghampiri Ghirel. Fran langsung mengambil alih kemudi dan menepikan mobilnya.

***

Hujan semakin derasnya,Ghirel termenung ditengah kerumunan. Bajunya sudah basah kuyup,rambut pendeknya yang mulai memanjang menjadi lepek. Dia teringat kata-kata yang Hevan kirimkan kepadanya. Pesan tiba-tiba yang membuat dia kaku tak bisa aa-apa. Jawaban atas pertanyaan perusak hubungan telah dijawab Hevan dengan fakta menyakitkan.

'Dricko adalah pembunuh'

Kata-kata itu tak bisa enyah dari pikirannya. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri,belanjaan ditangannya jatuh tercecer. Sebuah cuplikan adegan terlintas di dalam pikirannya layaknya spoiler movie. Tubuhnya hampir jatuh jika saja seseorang tak mendekapnya. Suara seorang laki-laki yang dikenalnya menginterupsi terus memanggil namanya.

"Jie! Sadar!"teriak Afka.

Mendengar hal itu,Ghirel terdiam sejenak. Nyeri di kepalanya mulai reda sedikit demi sedikit.

Cuplikan yang dia lihat berupa seorang anak kecil laki-laki dengan tubuh gempalnya yang sedang menangis sembari menggenggam tangan Ghirel. Hatinya terasa menyakitkan saat melihat hal tersebut. Laki-laki itu adalah Fed,teman masa kecilnya. Tetapi,Ghirel rasa dia tak pernah melihat Fed menangis. Ingatan terakhirnya tentang Fed adalah mereka menertawakan badut yang kebetulan melewati gerbang rumahnya sebelum akhirnya Ghirel pindah dari sana.

"Kamu gak papa?"tanya Afka dengan wajah panik.

Ghirel berusaha berdiri,dia mengusap wajahnya yang basah lalu mengangguk perlahan.

"Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?"tanya Afka sambil melepaskan jaketnya.

Tubuh kekasihnya itu sudah basah kuyup,Afka segera memberikan jaket miliknya dan mengambil payung yang sempat jatuh tadi. Payung polkados itu diletakkannya di tangan Ghirel lalu Afka memungut satu persatu belanjaan milik Ghirel yang berserakan.

"Kamu kenapa?"tanya Afka. Laki-laki itu masih berusaha menyadarkan kekasihnya.

"Hevan bilang ayah adalah pembunuh,"gumam Ghirel yang masih terdengar hingga ke telinga Afka.

Afka tertegun,dia menatap tidak percaya kepada apa yang dikatakan oleh kekasihnya. Gadis itu belum saatnya mengetahui semua kejadian kelam di masa lalu yang tutupi mati-matian.

"Jie? Jangan percaya itu,okay?"kata Afka mencoba menenangkan kekasihnya.

Tetapi,diluar dugaannya jawaban Ghirel membuat Afka semakin tak paham terhadap gadis itu. "Kamu bisa cari orang hilang?"

Afka mengernyit heran,"maksud kamu?"

"Tolong cariin Fed,temen kecil aku. Aku yakin dia tau sesuatu tentang apa yang terjadi sama aku!"jawab Ghirel dengan ekspresi gusar.

Afka memutar bola matanya,bibirnya gemetar bukan karena kedinginan melainkan karena gugup. Bagaimana bisa dia mencari dirinya sendiri?