Malam itu Lucas segera berpamitan untuk pulang. Dia sempat diledek oleh Eva, Liony dan Lyora karena tingkah bodohnya yang mengelilingi daerah kafe dan rumah Elish hingga satu jam. Lucas hanya bisa cekikikan mengingat betapa konyolnya perbuatannya itu.
Sepulangnya Lucas, tiga teman Elish langsung kembali ke kamar Elish, meninggalkan sang empunya rumah di ruang keluarga sendirian. Sebelumnya Eva sempat bertanya kenapa Elish tidak langsung ikut ke kamar, dan Elish hanya menjawab belum mengantuk. Sebenarnya Elish tidak sendirian, ia bersama Jovan, tapi tak dapat dilihat oleh teman-teman Elish.
Elish langsung mengunci pintu rumah dan bergerak menuju kamar mandi, diikuti Jovan yang berjalan di belakangnya.
"Masuklah." Ucap Elish dengan suara berbisik saat ia dan Jovan berdiri di depan kamar mandi.
"E-eh?" Jovan terbata.
"Tck!" Decak Elish kemudian menarik Jovan masuk ke kamar mandi.
Klek.
Pintu tertutup.
Elish berdiri menghadap Jovan dengan tangan bersila, "Dari mana saja kau?" tanyanya.
"Aku tadi tertidur di mobil temanmu, haha." Jawab Jovan.
"Di mobil Lucas?" Tanya Elish lagi dan dibalas anggukan oleh Jovan.
"Okay." Ucap Elish kemudian melenggang pergi dari kamar mandi menuju kamar tidurnya.
Jovan kini sendirian di kamar mandi.
"Apa-apaan, dia menarikku ke tempat ini hanya untuk menanyakan itu?" Keluh Jovan sembari melangkah keluar.
***
Cuit! Cuit! Cuit!
Kicauan burung dan sinar matahari yang menyeruak masuk ke dalam kamar Elish berhasil membuat Elish terbangun. Matanya masih terasa berat untuk terbuka sepenuhnya. Gadis itu meraba tempat tidurnya, mencari benda pipih andalannya, ponsel. Setelah meraba ke segala penjuru, ia tak kunjung mendapatkan ponselnya. Ia pututskan untuk menyerah.
"Eunghh.." Lenguh Elish sambil menggeliat di atas kasurnya lalu duduk.
Dilihatnya tiga temannya yang masih tertidur pulas. Ia beralih menatap jam digital yang kini menunjukkan pukul 06.53 am.
Mereka niat kuliah atau tidak sih? - Demikian kalimat yang terbesit di pikirannya.
"Ah, di sana ternyata." Gumam Elish saat matanya menangkap sesosok benda pipih yang ia cari sejak bangun tadi, ponselnya. Benda itu kini berada di atas meja. Benar juga, Elish kemarin menaruh ponselnya di atas meja sebelum merangkak ke atas tempat tidur.
Elish bangkit dan melangkahkan kaki menuju meja dan meraih ponselnya.
***
"Jangan kemana-mana. Kami akan cepat menyelesaikan kelas." Ucap Eva pada Elish yang berbaring dengan santai di salah satu sofa sambil memainkan ponsel.
"Hm." Balas Elish singkat tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.
"Tutup pintunya." Seru Elish saat Eva, Liony dan Lyora melangkah keluar dari rumahnya.
"Akhirnya mereka pergi." Ucap Jovan yang mendadak muncul entah dari mana, "Kau tidak ke kampus?" tanyanya sembari melangkah ke dekat Elish.
"Aku masuk siang." Balas Elish, ia masih sibuk dengan ponselnya.
"Elish."
"Hm?
"Kau sudah memikirkannya?"
"Apanya?"
"Perasaanku."
Diam. Elish diam. Jovan juga diam.
Elish mengunci ponselnya dan duduk, ia mendongak ke atas dan menatap wajah Jovan, "Kenapa kau menyukaiku?" tanyanya.
Jovan berkedip, "Kenapa? Karena..." ia termenung, tak tahu harus bilang apa. Benar juga, ia tak pernah memikirkan alasan menyukai Elish. Yang ia tahu hanyalah ia merasa cemburu kalau Elish dekat dengan pria lain, dan menyimpulkan kalau ia menyukai Elish.
Elish masih menunggu, ia juga penasaran kenapa Jovan yang baru mengenalnya bisa tiba-tiba menyatakan suka padanya.
"Aku juga tak tahu. Aku hanya menyukaimu." Ungkap Jovan.
"Apa-apaan." Ucap Elish datar, kecewa dengan pernyataan Jovan barusan, "Lalu kenapa kau bisa beranggapan kalau kau menyukaiku?"
"Aku.. aku tak suka melihatmu dekat dengan laki-laki lain. Karena itulah aku sadar kalau aku menyukaimu." Jelas Jovan.
"Huh?" Elish masih tak mengerti.
"Aku cemburu." Gumam Jovan pelan, namun masih terdengar jelas oleh Elish.
"Cemburu? Cemburu bagaimana?" Tanya Elish.
Jovan menghela napas, ia mengambil posisi duduk di sisi sofa yang kosong di dekat Elish, "Baiklah, akan kujelaskan. Ini bermula dari.." ia mulai menjelaskan dengan rinci kejadian yang membuatnya 'cemburu'. Mulai dari Lucas yang tidur siang bersama Elish hingga Albert yang menggenggam tangannya. Ia juga sempat ingin memberi tahu kejadian kue jatuh yang menggagalkan rencana pernyataan cinta Albert, tapi ia mengurungkan niatnya menceritakan hal itu.
"Bukankah sebagai seseorang yang menyatakan perasaan, kau terlalu percaya diri?" Tanya Elish bingung.
"Eh?"
"Maksudku, bukankah seharusnya kau gugup?" Tanya Elish lagi.
"Benar juga.." Gumam Jovan, setuju dengan perkataan Elish.
"Itu tidak penting." Pungkas Jovan, "Yang terpenting saat ini adalah jawabanmu. Ya atau ya?" tanyanya dengan penuh kepercayaan diri.
Ya atau ya? Pilihan bodoh macam apa itu? - Batin Elish menggerutu.
"Tidak." Jawab Elish.
"Bagus! Kalau begitu mulai hari ini kita resmi berpa-" Kalimat Jovan terpotong, "Eh? Tadi kau jawab apa?" tanyanya ingin memastikan.
"Tidak. Aku bilang tidak." Jawab Elish tegas.
"Tidak?" Tanya Jovan lagi, ia benar-benar tak bisa percaya dengan jawaban Elish.
Elish mengangguk mantap.
"Aku pasti salah dengar, atau kau yang salah memilih jawaban. Jawaban 'tidak' tak ada di pilihan yang kusebutkan." Ujar Jovan dengan ekspresi wajah yang didramatisir.
"Aku sudah jawab tidak. Jangan memaksa." Balas Elish kemudian bangkit berdiri, "Jangan mengikutiku, aku mau mandi." ucapnya saat Jovan hendak ikut berdiri.
Jovan tak menjawab dan hanya menatap Elish yang melangkah pergi meninggalkannya.
"Elish menolakku.." Lirih pria transparan itu, ia tampak begitu lesu.
***
Deg! Deg! Deg!
Itu jantung Elish. Gadis itu kini sedang berdiri dan bersandar di balik pintu kamar mandi sambil mencoba menenangkan jantungnya yang hampir meledak.
Roh sialan! - Rutuknya dalam hati.
"Bagaimana bisa dia menyatakan perasaan dengan santai seperti itu? Apa dia gila?" Gerutunya.
***
Dua hari kemudian...
"Dah, Elish~" Seru Liony sambil melambaikan tangan. Di samping gadis itu Lyora dan Eva berdiri dan juga melambai pada Elish.
"Dah~" Balas Elish.
Pagi ini tiga teman Elish pulang. Tinggallah Elish dan Jovan berdua di rumah. Keduanya diam dan masuk ke dalam rumah.
Ting!
Ponsel Elish berbunyi.
Elish mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan duduk di atas sofa, sedang Jovan sibuk mengekor Elish duduk. Elish menatap pesan masuk dari Peter, namun ia tak begitu fokus membaca pesan adiknya itu karena Jovan yang terus menatapnya.
"Berhenti menatapku." Ucap Elish jengkel karena merasa risih oleh tatapan Jovan yang tiada hentinya.
Seakan tak mendengar ucapan Elish, Jovan terus menatap gadis itu lekat.
"Ugh, apa maumu?" Tanya Elish.
"Apa kau tidak pernah berdebar saat melihatku?" Jovan balik bertanya.
"Huh?" Elish mengernyitkan dahi, tak mengerti maksud pertanyaan Jovan.
"Maksudku.. apa kau tidak pernah berdebar saat melihatku?" Tanya Jovan lagi.
Elish menatap datar Jovan, "Kau sedang mabuk? Kau menanyakan pertanyaan berulang."
"Kemarin kau bertanya apa alasanku menyukaimu. Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti apa alasanku menyukaimu. Yang 'ku tahu adalah aku menyukaimu, tapi alasannya tidak. Aku penasaran tentang alasanku sebenarnya, jadi aku ingin mencari tahu." Jelas Jovan.
"Selama beberapa hari ini aku coba menerka alasan yang tepat. Aku menetapkan dua poin utama untuk sementara. Yang pertama wajahmu, yang kedua sikapmu. Tapi poin pertama menurutku kurang tepat, aku tidak merasa kalau aku berdebar saat melihat wajahmu. Untuk yang kedua, sikapmu terhadapku juga tidak begitu spesial. Jadi apa sebenarnya alasanku menyukaimu? Apa menurutmu ada alasan yang lebih tepat?" Sambung Jovan, ia menatap Elish serius.
Elish menatap Jovan semakin datar, "Bodoh." umpatnya, "Sekarang kau malah mendiskusikan perasaanmu 'padaku' denganku?" tanya Elish dengan nada yang ditekan saat mengucapkan kata 'padaku'.
Jovan berkedip, "Lalu aku harus berdiskusi dengan siapa?" pria itu bertanya lagi.
"Denganku. Berdiskusilah denganku, aku akan mencarikan alasan yang tepat, setelahnya aku akan membunuhmu." Ujar seseorang dengan suara dan kalimat yang tak asing.
Elish dan Jovan menoleh ke sumber suara.
"Peter?"
"Kau?!"
Elish dan Jovan terpekik melihat kehadiran Peter yang begitu tiba-tiba. Jovan sedikit lebih histeris, ia bahkan melotot kaget. Bagi Jovan, kehadiran Peter benar-benar menciptakan kesan horor. Dan setelah Jovan pikir lagi, Peter selalu muncul tiba-tiba saat ia dan Elish sedang mengobrol berdua. Entah hanya sebuah kebetulann atau ia memang ditakdirkan untuk merasa terancam oleh adik Elish itu.
***