Chapter 41 - Pertemuan Keluarga

"Duduklah." Ucap Elish pada kedua orang tuanya.

Gadis itu tampak begitu bahagia. Ia memang merindukan sosok ayah dan ibunya. Elish ingat pertemuan terakhir mereka adalah pada awal tahun baru kemarin. Sejak saat itu, mereka tidak sempat bertemu karena Nick dan Mytha yang sibuk mengunjungi sang nenek yang tinggal sendirian di desa.

Sebenarnya Mytha sudah beberapa kali mengajak nenek dari anak-anaknya yang adalah ibunya sendiri untuk tinggal bersama mereka di kota. Namun sang nenek menolak dan bersikeras untuk tetap tinggal di desa. Ia beralasan tidak ingin mendiang suaminya kesepian di desa itu. Apa boleh buat, Mytha tidak ingin memaksa ibunya. Ia memilih untuk mengalah dan memutuskan untuk sering mengunjungi desa agar ibunya tidak begitu kesepian.

"Sebenarnya kami tidak bisa terlalu lama, tapi kalau kau memaksa, baiklah." Ujar Mytha kemudian duduk di salah satu sofa, diikuti oleh suaminya Nick.

Peter memberi isyarat pada Lucky untuk duduk di satu sofa yang masih kosong dan dituruti oleh temannya itu.

"Perkataan Ibu seperti orang asing saja. Aku ini anak Ibu~" Rengek Elish sembari duduk di posisi sebelum keluarganya tiba.

Mytha dan Nick tertawa mendengar ucapan anak gadis mereka itu. Elish dan keluarganya melanjutkan percakapan layaknya keluarga harmonis, tak jarang juga Lucky ikut dalam perbincangan mereka.

Di tengah kehangatan yang terjadi di ruang keluarga rumah Elish secara mendadak, terdapat sesosok pria dengan tubuh transparan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jovan diam membeku. Pria itu sibuk bergelut dengan pikirannya. Ia merasa benar-benar asing di tengah kehangatan keluarga Elish. Ia seperti segumpal salju yang terus bertahan di tengah musim semi.

Kapan pertemuan ini selesai? - Gerutu Jovan dalam hati sambil menatap kosong ke meja yang dikelilingi oleh sofa tempat ia, Elish dan empat sosok lain duduk.

"Besok ulang tahunmu, kan?" Tanya Mytha pada Elish.

Elish berkedip, "Benar." ucapnya.

"Kemarin kami menitipkan hadiah Natal pada Peter. Anggap saja itu hadiah untuk ulang tahunmu besok. Ibu akan kirim hadiah Natal bulan Desember nanti." Ujar Mytha dan dibalas anggukan oleh Elish.

"Kalau begitu," Mytha bangkit berdiri, suami dan kedua anaknya, juga Lucky menatapnya, "Ayah dan Ibu pergi ke tempat Nenek dulu." ucapnya.

"Ayo, Sayang." Ajak Mytha sambil menarik tangan suaminya yang kini bangkit berdiri di sisinya.

Mytha memberi pelukan dan ciuman pada pipi kedua anaknya. Elish sempat merengek agar ayah dan ibunya menetap lebih lama, namun tidak dapat dituruti oleh kedua orang tuanya itu karena sang nenek sudah menunggu di desa sendirian.

Pertemuan keluarga dadakan pun berakhir. Tinggallah Elish, Jovan, Peter dan temannya, Lucky. Empat makhluk itu berdiri di depan rumah Elish, menatap kepergian Mytha dan Nick menuju rumah sang nenek.

"Kita perlu bicara." Ucap Peter tiba-tiba saat mobil orang tua mereka sudah tak terlihat oleh mata lagi.

Tiga makhluk lain yang berdiri bersamanya menatapnya kompak.

"Kita? Siapa? Kau dan aku? Kau dan Elish? Atau kita bertiga?" Tanya Lucky.

Dia tidak menyebutku. - Protes Jovan dalam hati, merasa kecewa Lucky tidak menyebut namanya.

"Kau tidak terlalu dibutuhkan dalam pembicaraan ini. Pergilah ke kamar." Ketus Peter sambil menatap temannya itu sinis.

Wajah Lucky berubah cemberut. Anak itu menghentakkan kakinya masuk dan meraih ranselnya. Dia merajuk. Peter, Elish dan Jovan menatap anak laki-laki yang sedang merajuk itu tanpa mengucapkan satu kata pun.

Lucky menatap jengkel Peter, "Kau tidak perlu mengatakan aku tidak dibutuhkan." gerutunya.

Lucky menghela napas, "Baiklah." ia tidak cemberut lagi, bahkan kini ia tersenyum, "Aku akan menunggumu di kamar~" ucapnya kemudian mengedipkan satu matanya dan melemparkan ciuman singkat di udara pada Peter, selayaknya sedang menggoda seorang kekasih. Ia kemudian berjalan meninggalkan ruang keluarga menuju kamar Peter dengan penuh semangat. Sepertinya anak itu lupa ia sedang berada di rumah Elish yang notabene bukanlah rumah yang biasa ia kunjungi untuk menginap.

Peter menatap datar Lucky seakan tidak peduli dengan 'godaan' temannya itu barusan. Di samping Peter terdapat Elish yang terpaku oleh kelakuan teman adiknya, juga Jovan yang menampakkan wajah tak percaya.

Pemandangan menggelikan apa itu barusan?! - Rutuk Jovan dalam hati, tak mampu lagi berkata.

"Ayo. Aku akan membunuhmu." Ungkap Peter dengan tenang sambil menyeret Jovan menuju sofa.

Elish yang seakan terbiasa oleh pemandangan suram antara Jovan dan Peter hanya diam dan pasrah menatap Peter yang tampak siap melayangkan tinjuan pada wajah Jovan. Gadis itu tidak ingin melihat bagaimana tinjuan itu akan mendarat pada wajah Jovan, ia hanya menatap ke luar dan menikmati pemandangan di pagi hari yang indah.

"Jangan pernah berpikir menyukai kakakku!" Bentak Peter, "Dasar tidak tahu diri!" bentaknya lagi kemudian melayangkan tinjuannya tepat di pipi kiri Jovan. Sedang sosok yang dibentak hanya bisa diam dan pasrah menerima pukulan anak laki-laki yang merupakan adik Elish satu-satunya.

***

"Sebenarnya kenapa kau sangat membenci Jovan?" Tanya Elish, gadis itu sudah kembali duduk di ruang keluarga bersama Jovan yang sedang meringis kesakitan dan juga Peter yang terus menatap tajam Jovan.

Sungguh pukulan Peter itu sangat menyakitkan bagi Jovan, namun tak ada luka sedikit pun di tubuhnya yang transparan. Kini ia khawatir dengan tubuhnya yang belum juga berhasil ia temukan, apakah tubuhnya baik-baik saja? Atau mungkin akan terluka oleh pukulan Peter?

"Sederhana saja. Dia pria yang tak jelas asal usulnya dan terus menempel padamu." Ujar Peter sembari beralih menatap Elish.

Elish tertegun, ia tak dapat membantah perkataan Peter. Asal usul Jovan tidak jelas, itu benar. Terus menempel pada Elish, itu juga sangat benar.

"Sebenarnya kau adik atau kakak Elish?" Jovan yang tadinya hanya meringis kesakitan akhirnya berucap.

"Kau ingin mati?" Ancam Peter sambil menatap Jovan dengan penuh kebencian.

"Tentu saja aku tidak ingin mati. Tapi alasanmu itu tidak begitu jelas. Kakakmu Elish bukan anak kecil yang bisa kau kekang seenak hatimu. Kau adalah adiknya, bukan kakaknya atau ayahnya. Kau bahkan sepertinya tidak sadar itu. Lagi pula aku menempel pada Elish, bukan padamu. Elish juga tidak mempermasalahkan hal itu. Kenapa malah kau yang terus mencari ribut denganku?" Jovan mengeluarkan seluruh keluh kesahnya dalam satu napas.

Peter terdiam, Elish juga diam. Jovan ada benarnya juga. Sejak awal alasan Peter selalu ingin memukul Jovan tidak jelas. Elish juga tidak pernah mempermasalahkan Jovan yang menempel padanya. Sebenarnya jika diperhatikan lagi, kedua kakak beradik itu sikapnya aneh. Ya, aneh. Elish, sang kakak yang terlalu terbuka pada sesosok transparan asing yang asalnya belum diketahui. Peter, sang adik yang sangat membenci sesosok roh yang ia tidak kenal sama sekali sejak pertemuan pertama. Akhirnya Jovan sadar, ia berada di tengah keluarga yang cukup aneh.

"Benar juga." Elish akhirnya bersuara, "Kenapa aku membiarkan kau menempel terus padaku? Aku kan hanya berniat membantumu menemukan tubuh." sambungnya, ia menatap Jovan lalu tertegun.

"Aku juga bingung, aku hanya membencimu. Itu saja. Melihatmu rasanya ingin terus memukul. Tidak tahu kenapa." Peter ikut berucap, sadar akan keanehannya setelah berpikir selama beberapa saat. Anak itu juga menatap Jovan.

Jovan yang ditatap oleh sepasang kakak beradik itu celingukan, bingung dengan maksud tatapan kosong yang dilemparkan dua sosok itu.

Peter bangkit berdiri, "Lakukan sesuka kalian." ucapnya kemudian melangkah pergi menuju kamar, menyusul Lucky yang sudah masuk sejak lama tadi.

Elish juga bangkit, "Mulai malam ini, kau tidur di luar saja. Terima kasih sudah menyadarkanku." ujarnya lalu berjalan ke kamar dan mengunci pintu kamarnya.

Jovan berkedip, "Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamnya bingung dengan sikap Elish dan Peter.

"Mereka benar-benar aneh." Ucapnya kemudian menyandarkan punggungnya, "Aku semakin bingung apa alasanku menyukai gadis aneh seperti Elish." sambungnya.

***

Elish berbaring di atas kasur tidur, menatap kosong ke langit-langit kamarnya.

"Sebenarnya kenapa dari awal aku malah membiarkannya tidur di kamar ini? Di kasur yang sama denganku pula. Apa mungkin karena dia tampan?" Gumam Elish.

Elish mencoba mengingat pertemuan pertamanya dengan Jovan. Berawal di mini market, kemudian Jovan mengikuti Elish ke rumah. Saat itu Elish sangat ketakutan. Tapi saat melihat wajah Jovan dalam jarak dekat, rasa takutnya perlahan sirna, bahkan kata yang terlintas di pikiran gadis itu saat melihat wajah Jovan dengan jelas adalah 'tampan'. Selemah itukah Elish pada pria tampan? Tidak, pada hantu tampan. Karena awalnya Elish berpikir kalau Jovan adalah hantu sebelum Jovan memberitahunya bahwa Jovan adalah roh yang lepas dari tubuhnya.

Lalu kenapa Elish membiarkan Jovan menempel padanya? Elish mencoba mengingat lagi. Ia ingat Jovan yang menangis tersedu-sedu saat menjelaskan keadaan pria itu. Jovan tidak ingat apa pun sama sekali karena ia sudah lepas dari tubuhnya selama lebih dari 24 jam. Elish juga ingat saat Elish berusaha menenangkan Jovan dan memeluknya lalu akhirnya tertidur sampai pagi. Setelah itu, mereka terus menghabiskan malam bersama di kamar Elish. Bahkan saat Peter datang pun mereka tetap tidur sekamar dan seranjang. Mereka hanya berpisah karena kemarin tiga teman Elish datang dan menginap hingga beberapa malam. Yah, meski mereka hanya tidur dan tidak melakukan hal apa pun, itu tetaplah aneh.

"Wah... sepertinya aku memang lemah pada hantu tampan." Gumam Elish yang kini menyadari bahwa ia tak punya alasan jelas mengapa ia membiarkan Jovan selalu menempel padanya.

***

"Kau selalu bertengkar dengan makhluk itu." Ucap Lucky, ia duduk di atas kursi sambil menatap Peter yang kini berbaring di atas kasur tidur dengan mata yang menatap kosong ke langit-langit.

Peter menoleh pada Lucky, "Menurutmu kenapa aku sangat membenci makhluk itu?" tanyanya.

"Mana mungkin aku tahu. Kau hanya terus berkata 'sialan' dan 'brengsek' kalau membahasnya." Ujar Lucky.

Lucky beranjak dari kursi dan duduk di sisi Peter di atas kasur, "Kau bilang dia pria, kan?" tanyanya dan dibalas anggukan oleh Peter.

"Mungkin kau cemburu." Ucap Lucky, "Maksudku, kau tidak ingin kakakmu Elish direbut oleh orang lain. Kau tidak ingin kehilangan kakakmu." sambungnya saat Peter mengernyitkan dahi, bingung dengan perkataan Lucky.

"Kau adalah adik dengan tipe posesif." Ucap Lucky yakin sambil menyunggingkan senyum puas di wajahnya.

"...Gila." Hanya satu kata yang terucap dari bibir Peter. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan menutup kepalanya dengan bantal.

Dia tidak membantahnya. Berarti itu benar. - Ucap Lucky dalam hati. Anak itu mendengus kecil melihat tingkah Peter yang menurutnya lucu. Temannya itu ternyata adik yang posesif.

***