Chereads / Menikahi Putri Mafia / Chapter 27 - Rasa Diabaikan

Chapter 27 - Rasa Diabaikan

Antony baru saja tiba di bandara ibu kota Sweetbridge. Kali ini dia melepas pakaian resmi mafia dan memakai pakaian kasualnya. Sebuah jaket kulit yang dipadukan dengan kaus hitam berpotongan mock turtleneck dan celana panjang hitam yang membalut kaki jenjangnya. Pria setinggi seratus delapan puluh tujuh sentimeter itu berjalan dengan langkah tegap menuju pintu keluar bandara.

Seorang pria dengan jaket kasualnya menunggu di ruang tunggu kedatangan. Matanya sibuk pada layar ponsel sambil sesekali melihat ke sekeliling. Judy menunggu kedatangan Antony yang menurut jadwal kedatangan akan tiba pukul dua belas siang.

Judy mengangkat wajahnya sebentar. Tampak Antony berjalan dengan setelan hitam sambil menggendong ransel di punggungnya yang tegap. Sejenak pria itu menghentikan langkah saat melihat Judy duduk menatap lurus kepadanya. Antony sedikit membungkuk memberi hormat kepada Judy. Kakak dari Redita itu membalasnya dengan sebuah anggukan dan seulas senyuman.

"Pagi, Tuan Judy," sapa Antony saat ia sudah berdiri menjulang di depan Judy.

"Pagi, An. Bagaimana perjalanan udaranya?" tanya Judy bangkit berdiri seraya memasukkan ponselnya kembali ke dalam jaket.

"Lancar. Tidak ada hambatan sama sekali," jawab Antony lugas.

"Syukurlah. Ayo, kita pergi ke mansion Dokter George. Mereka sedang menunggu kita," ajak Judy merangkul Antony tanpa ragu. Hubungan mereka terlihat sangat akrab jika bertemu muka hanya berdua saja dan memakai pakaian kasual. Seakan tidak ada jarak di antara mereka.

Antony mengangguk patuh. Kedua pria dengan tinggi hampir sama itu pun berjalan ke area parkir bandara. Antony memaksa mengambil alih kemudi saat Judy hendak menyetir mobilnya.

"Biar saya saja, Tuan. Tidak pantas jika Tuan menyupiri anak buah sendiri." Antony beralasan.

"Hei, An. Kita sudah bersama selama tiga puluh tahun dan kau masih saja sungkan padaku," timpal Judy dengan percakapan tidak resminya yang terlontar tiba-tiba.

"Tidak, bukan itu maksud saya. Walau kita adalah teman baik tapi saya tidak boleh melupakan jarak di antara kita." Antony kembali beralasan.

"Ha-ha-ha. Terserah apa katamu saja. Ayah saja sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Masa iya aku menganggapmu sebagai bawahan. Sini, biar aku yang mengemudikan mobilnya. Kau istirahat saja. Perjalanan tadi pasti sangat melelahkan, bukan?"

Antony mengangguk kemudian berkata, "Terima kasih, Tuan."

"Judy. Panggil aku dengan sebutan Judy saja sekarang. Haish! Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan ini. Sejak aku membebaskanmu dari kantor polisi Little Heaven," jelas Judy kemudian menghela napasnya dan berkata, "mulai sekarang, panggil aku Judy," ucap Judy gemas seraya melirik kepada Antony.

"Tidak. Tuan Judy," sahut Antony.

"Haish! Susah sekali memaksamu. Ya sudah, terserah padamu," timpal Judy akhirnya menyerah pada keinginan Antony. Mantan pengawal Redita itu kemudian tertawa kecil.

"Bagaimana keadaan Mama dan Ayah? Lalu Redita? Adik kecilku itu, apa dia baik-baik saja?" tanya Judy tiba-tiba.

Mendengar pertanyaan Judy, pandangan pria itu sontak mengarah kepadanya. Sebuah ekspresi datar diperlihatkan pria itu. "Baik. Semua baik-baik saja. Tuan Merlin dan Nyonya Elena, juga Nona Redita. Keadaan aman terkendali."

"Syukurlah. Aku dengar Martin yang menggantikanmu menjaga adikku," Judy menoleh sejenak ke arah Antony, ingin mendengar jawaban pasti dari mantan pengawal adiknya itu.

"Iya dan aku tidak tahu sampai kapan. Kemarin Tuan Merlin hanya menugaskanku untuk menyusul Tuan Judy dan menyelidiki penyerangan yang terjadi kemarin kepada kalian berdua," jelas Antony. "Kapan Tuan akan kembali dari bulan madu?" Antony mengalihkan pembicaraan.

"Jika tidak ada halangan mungkin beberapa minggu lagi. Venda bilang masih ada tempat yang ingin ia datangi untuk menghabiskan masa bulan madu kami," sahut Judy tersenyum.

"Semoga tidak ada penyerangan lagi setelah ini," harap Antony. "Berkaitan dengan penyerang yang terjadi kemarin, apakah ada yang Tuan curigai sebagai dalang dari penyerangan kemarin?" tanya Antony tiba-tiba serius.

"Yeah. Jika melihat peluru yang digunakan, mereka menggunakan senjata pabrikan dari Mer Corp. Kita bisa menyelidikinya dari sana mengingat pembeli senjata ilegal masih bisa kita ditelusuri," jelas Judy yakin.

Antony mengangguk setuju. Dia mengeluarkan ponsel dari jaket dan menghidupkannya. Beberapa saat kemudian terlihat sepuluh notifikasi panggilan tidak terjawab dari Redita dan beberapa pesan darinya.

Pesan pertama :

"Antony, terima kasih tasnya. Aku sangat menyukainya. Kau ada di mana sekarang?"

Pesan ke dua :

"Hei, mengapa aku tidak bisa menghubungimu?"

Pesan ke tiga :

"Kau sungguh membuatku kesal. Pergi seenaknya tanpa pamit padaku. Sialan!"

Membaca pesan dari Redita membuat pria itu mengernyit lalu tertawa kecil. Menggeleng pelan lalu memasukkan ponselnya lagi ke dalam jaket. Judy yang tidak sengaja melihat reaksi Antony, mengangkat sebelah alisnya seketika.

"Hei An, jarang-jarang melihatmu tertawa kecil seperti itu. Ada apa?" tanya Judy tanpa menolehkan pandangannya.

Antony menghentikan tawa kecilnya, kembali serius dan menjawab, "Tidak apa, Tuan. Teman saya sedang melucu."

"Tidak, tawa itu bukan tawa karena ada yang lucu. Kau terlihat sedang jatuh cinta. Apa Rachel yang menghubungimu?" Judy memang mengetahui tentang Rachel—kekasih Antony.

"Tidak juga. Hanya teman," sahut Antony mengelak kemudian terdiam.

"Oh ...."

Judy tidak banyak bertanya lagi. Begitupun Antony. Mereka sama-sama terdiam. Melihat jalan raya yang lengang, membuat Judy menginjak gas mobilnya lebih dalam. Melesat kencang menuju mansion Dokter George.

Selang beberapa lama ponsel Antony bergetar. Sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel pria itu tapi Antony malah mengabaikan panggilannya. Judy menoleh sebentar, menatap Antony bingung.

"Mengapa tidak kau angkat panggilan itu?"

"Tidak apa. Saya akan menghubunginya kembali nanti," jawab Antony datar.

"Jika itu Rachel, dia akan marah sampai mendiamkanmu berhari-hari dan kau tidak akan mendapat jatah darinya," tukas Judy sambil tergelak renyah.

"Tuan Judy bisa saja." Antony hanya tersenyum menanggapi.

"Ya tentu saja."

***

Redita memandang layar laptop di depannya. Begitu serius memeriksa beberapa laporan keuangan perusahaan yang baru saja dikirimkan oleh direktur keuangan Mer Corp.

Sesekali matanya melirik layar ponsel yang terus gelap karena tidak ada satu pun pesan yang masuk kecuali pesan dari Radit dua jam yang lalu. Dia mengatakan sudah tiba di kantornya dan sedang sarapan pagi dengan seorang klien yang datang untuk meeting di perusahaannya pagi-pagi sekali.

Walaupun mereka menjalin hubungan kekasih, tapi nyatanya Radit jarang sekali menjemput Redita karena pengawal Redita selalu berada di sekitarnya. Redita pun tidak pernah memaksa sang kekasih untuk mengantar jemput dirinya. Kecuali jika ia sangat rindu pada Radit.

Sebuah notifikasi muncul dari ponselnya. Pemberitahuan tentang nomor Antony yang saat ini sudah aktif dan bisa dihubungi. Cepat-cepat wanita itu meraih benda pipih itu dari atas meja dan menghubungi nomor Antony.

Lama suara nada sambung terdengar. Antony tidak juga mengangkat panggilannya. Terdengar suara operator telekomunikasi.

"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan meninggalkan pesan setelah nada berikut. Tut ...."

Redita mematikan panggilannya kemudian mendengkus gemas, "Huft! Baru sehari menjadi mantan pengawal, beraninya dia mengabaikanku!"