Drrt-drrt-drrt!
Getaran ponsel yang terasa di atas meja bundar kecil di luar area Like Fudy Restoran membuat Martin mengalihkan perhatiannya. Dia melirik layar ponselnya. Antony memanggil.
"Halo, An," sapanya
"Martin, sedang apa kau?" tanya Antony.
"Jangan mengejekku. Sudah tahu kalau aku sedang mengawasi pasangan yang sedang kasamaran dan kau malah mengejekku," keluhnya tidak suka.
"Hei, proteslah kepada Tuan Merlin jika kau tak suka." Antony terkekeh.
"Kau sendiri tahu jawabannya, An. Mana bisa menolak tugas!" sahut Martin kesal.
"Aku pikir kau berani, Martin." Antony terkekeh.
"Huh! Bagaimana kabar Dokter George? Ah, aku sangat merindukannya. Apa dia sehat-sehat saja?" Martin mengalihkan pembicaraan.
"Baik. Sangat sehat. Hidup di Sweetbridge sangat damai, tidak ada suara desingan peluru. Semua orang tahu bagaimana Dokter George bekerja untuk kemanusiaan."
"Syukurlah. Sampaikan salamku untuknya."
"Tentu," sahut Antony lalu berkata lagi, "Radit belum mengatakan hal yang mencurigakan, 'kan?"
Martin membenarkan posisi ear piece nya. Dari sana ia bisa mendengar dengan jelas pembicaraan yang mereka bahas. "Yah, sejauh ini belum. Aku heran, di mana kau meletakkan alat penjejak itu, An? Bukankah Merlin sudah melarangmu untuk menggunakan alat itu jika Nona Redita bersama kekasihnya?"
"Menurutmu bagaimana caranya?"
"Aku baru melihat Nona Redita memakai tas berwarna biru itu," sahut Martin sambil menoleh ke arah meja yang letaknya sekitar sepuluh meter dari mejanya.
"You know me so well, Martin. Kemarin aku membeli tas itu sebagai kenang-kenangan untuk Nona. Diam-diam aku memasukkan alat penjejak di dalamnya agar kau bisa mengawasinya lebih baik dari kejauhan karena aku tahu, dia tidak suka didekati jika bersama Radit. Lalu informasi apa yang kau dapatkan?"
"Besok pria itu akan melakukan pertemuan dengan Tuan Besar Merlin untuk membahas kerja sama dalam bidang properti di utara kota Little Heaven dan dia meminta Nona Redita untuk melancarkan tujuannya. Aku rasa dia mengatakan hal itu karena ia tahu kalau Tuan Besar Merlin sangat sulit diajak kerja sama jika bukan dengan orang yang dekat dengannya," jelas Martin.
"Sudah kuduga, dia ada maunya." Suara Antony terdengar pelan.
"Selama kerja sama itu saling menguntungkan, mungkin Tuan Merlin akan setuju," timpal Martin.
"Ah, entahlah. Aku sepertinya tidak menyukai pria itu," sahut Antony lagi.
"Kau sangat aneh belakangan ini. Memakai perasaan dalam pekerjaan, padahal kau sangat profesional sebelumnya," Martin mengernyit bingung.
"TIdak ada apa-apa. Aku hanya sedang banyak pikiran," kilah Antony.
"Hah? Kau pikir aku percaya? Ikan di laut masih banyak. Masa kau tidak bisa move on karena putus dari Rachel?"
"Pasti Aron yang memberitahumu!"
"Siapa lagi?"
"Dasar kalian mafia bigos! Asal kau tahu saja, dia sudah bersuami sekarang."
"Ups … maaf aku tidak tahu." Martin terkekeh.
"Salam untuk Nona Redita. Aku sudah mengirimkan pesan di ponselnya dan dia tidak membalas sama sekali."
"Pesanmu datang di saat yang tidak tepat. Lihat, Radit mengusap puncak kepala No—" Martin tidak meneruskan perkataannya. Terdengar nada putus dari seberang sana. Antony memutus panggilannya sepihak.
"Dasar Antony, sialan!" keluhnya. Martin kemudian menaruh ponselnya kembali di atas meja
Selang beberapa lama kemudian, Redita berjalan keluar bersama Radit. Acara makan siang mereka telah usai. Martin segera bangkit dari duduknya menghampiri Nona Mudanya.
"Sudah selesai, Nona?" tanya Martin seraya setengah membungkuk di depan mereka.
Redita dan Radit sontak menoleh ke arah Martin. Redita kemudian mengalihkan pandangannya kembali kepada kekasihnya.
"Sayang, dia adalah Martin yang menggantikan tugas Antony. Martin, dia Radit kekasihku," Redita memperkenalkan keduanya.
Kedua lelaki itu pun berjabat tangan tidak terlalu lama. Radit menempelkan bibirnya sejenak di dahi Redita. Wanita itu pun tersenyum menerima perlakuan sang kekasih. Martin melengos tidak peduli. Dia melangkah masuk ke pintu kemudi mobil sedan hitam Redita. Wanita itu menoleh sebentar ke arah Martin dan mengalihkannya lagi kepada Radit.
"Aku kembali ke kantor. Kamu hati-hati di jalan." Redita melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam mobil menyusul Martin. Tidak lama kemudian mobil itu berputar keluar halaman restoran Like Fudy.
Di dalam perjalanan, Redita hanya terdiam memandang lurus ke arah jalan. Martin menoleh sebentar Nona Mudanya. "Apa ada yang sedang anda pikirkan, Nona?"
"TIdak, Martin," jawab Redita pelan, padahal ia merasakan ada rasa sedikit kehilangan pada dirinya tapi ia tidak tahu apa itu.
Martin terdiam. Pria itu menginjak dalam gas mobilnya. Laju kendaraan pun bertambah sedikit. Sesekali memperhatikan Redita yang diam saja selama sepuluh menit perjalanan. Tidak lama mobil itu berhenti di persimpangan lampu lalu lintas yang menunjukkan lampu merah menyala.
Tidak lama sebuah motor sport dengan kecepatan tinggi melaju dengan ugal-ugalan mengarah ke mobil sedan hitam Redita. Motor yang dinaiki dua orang lelaki dengan kacamata hitam itu mendadak berhenti sejenak tepat di samping pintu kemudi.
Si penumpang motor mengeluarkan sebuah senjata api dari balik jaketnya. Mengarahkannya langsung kepada Martin yang sedang terdiam menunggu lampu hijau lalu lintas menyala. Redita menoleh kea rah Martin. Tidak sengaja ia melihat oknum tersebut memegang sebuah revolver di atas motor. Redita sontak melebarkan bola matanya, segera memperingatkan Martin untuk menghindar.
"Martin, awas!" teriaknya.
Mendengar teriakan Redita, Martin berkelebat melihat sisi kanannya. Dua orang lelaki dengan seringai senyum siap menarik pelatuk senjatanya.
Dor!
Dor!
Dua buah bunyi tembakan itu terdengar sangat kuat dari luar. Redita menelan ludah. Timah panas hanya bisa mencapai kaca mobil yang menjadi sedikit retak. Ya, mobil yang mereka pakai adalah mobil anti peluru Merlin. Martin sontak melotot marah melihat kedua lelaki yang hanya tersenyum menyeringai kepadanya saat pintu mobil hendak dibuka olehnya.
"Martin, lampu hijau!" pekik Redita.
Martin mengurungkan niatnya, saat melihat lampu hijau menyala. Motor ugal-ugalan itu kembali melaju dengan cepat. "Shit! TIdak akan kubiarkan mereka kabur!"
"Kau akan mengejarnya?!" tanya Redita dengan bola matanya yang melebar.
Martin mengangguk. "Sebentar, Nona! Izinkan saya mengejar mereka!"
Redita terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Injakan pedal gas Martin begitu terasa. Mungkin ia sudah menaikkan kecepatannya hingga di atas rata-rata di jalan yang sepi itu. Redita memegangi sabuk pengamannya. Kecepatan kendaraan itu membuatnya sedikit takut.
Martin memotong jalan masuk ke sebuah jalan sempit yang ditujukan bukan untuk mobil. Dia tidak juga menurunkan kecepatan, melainkan menambahnya terus dan Redita yang merasakannya hanya bisa menderukan napas yang memburu di hidung dan mulutnya mencoba untuk menjadi lebih tenang.
"Sial! Martin, aku belum menikah!" pekiknya dalam hati. Sesekali melihat Martin yang begitu serius melajukan kendaraan itu.
Gubrak!
Akhirnya dengan kepala dan mata mereka sendiri, Martin dan Redita menyaksikan motor sport yang dikendarai dua oknum tidak bertanggung jawab itu terjatuh dengan jarak sekitar sepuluh meter di depan.