Martin terbaring di atas ranjang. Wajahnya sontak menoleh ke arah pintu ruangan yang sengaja dibuka dari luar. Dokter Anne dan pasangan suami istri Darmawan datang membesuknya.
"Tuan, Nyonya ...," panggilnya lalu mengangkat tubuhnya hingga duduk sempurna.
Merlin dan Elena berjalan mendekati Martin. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Merlin.
"Sudah lebih baik. Seharusnya aku kembali dan beristirahat ke mansion anggota mafia, bukan di ruangan rawat ini," kata Martin seraya mendongak melihat sekeliling ruangan.
Dokter Anne mengangkat kedua sudut bibirnya tipis lalu membalas perkataan Martin, "Martin, kau harus mengikuti apa kataku sebagai dokter yang merawat. Lagipula aku harus melakukan observasi kepadamu selama satu kali dua puluh empat jam terlebih dahulu. Sebelum memastikan kau benar-benar sudah sehat dan bisa melakukan rawat jalan setelahnya."
"Ya-ya-ya dokter memang selalu benar." Martin tersenyum menyeringai. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya mengarah kepada Merlin dan Elena kembali yang ikut tersenyum mendengar ucapan Dokter Anne.
"Ya, Martin. Kau bisa beristirahat terlebih dahulu. Aku akan menyuruh mafia lain untuk mengawal anakku. Oh ya, mayat yang kau bawa tadi bukanlah salah satu kelompok dari The Fog Shadow. Aron telah memastikannya. Tato itu temporer. Tato yang sengaja dibuat seseorang untuk mengecoh kita," tutur Merlin serius.
Wajah Martin mengernyit terkejut. Dia telah melakukan kesalahan dengan langsung menebak pria itu adalah anggota dari kelompok mafia The Fog Shadow. Air mukanya sontak berubah menatap penuh penyesalan.
"Tuan, maafkan saya yang telah salah menilai. Lain kali saya tidak akan langsung menebak penjahat kita dari kelompok mana," katanya meminta maaf.
Merlin menyunggingkan senyuman diagonal di hadapan sang mafia senior. "Ya, tapi aku tidak akan memaafkanmu jika hal ini terulang lagi," sahut Merlin serius.
Elena segera menyenggol pinggang Merlin dan memberi jawaban yang lain. "Tidak apa, Martin. Kami harap kau lebih berhati-hati. Pastikan dirimu selamat terlebih dahulu sebelum menyelamatkan Redita," sahut Elena.
"Nyonya .... Nyonya maafkan saya yang tidak bisa melindungi Nona Redita. Sungguh saya sangat menyesal atas luka yang ia alami," ucap Martin memohon. Ia tahu kalau ia akan mempunyai masalah besar jika Redita bisa tersentuh oleh salah satu penjahat.
"Iya, Martin. Kau jangan terlalu berlebihan. Untung saja Redita pun tidak apa-apa." Elena menoleh ke arah suaminya yang terlihat sedikit cuek itu.
"Ya, untung saja anakku tidak apa-apa. Jika tidak, mungkin kau yang akan aku bunuh dengan tanganku sendiri," Merlin memperlihatkan senyum seringainya di hadapan Martin.
Martin menelan ludah, sedikit takut. "Iya, Tuan. Saya sudah tahu semua resiko yang saya hadapi dalam pekerjaan saya," pungkasnya.
Mendengar perkataan Martin, Merlin hanya tersenyum kecil kemudian berkata, "Saya tahu kau adalah aset mafia yang sangat setia dan bertanggung jawab, Martin."
"Terima kasih, Tuan Merlin," sahut Martin setengah menunduk memberi hormat.
***
Suara musik yang menggema kuat di sebuah klub malam di kota Little Heaven makin terdengar hingga masuk ke dalam aliran darah para manusia pemuja kehidupan malam. Suasana ruangan itu remang-remang berhiaskan lampu disko yang berputar di tengah lantai dansa. Sekitar dua puluh orang turun ke lantai dansa. Makin malam, orang-orang yang datang terlihat semakin banyak.
Radit berjoget bersama dengan seorang wanita cantik di lantai dansa. Wanita itu bergaun seksi berwarna biru, rambutnya panjang berwarna coklat, dan kulit putih mulus yang menghiasi seluruh tubuhnya.
Berdiri di dekat mereka, juga ada dua pria lain—teman Radit yaitu Daniel dan Michael berjoget bersama dua wanita bergaun seksi, yang entah berasal dari mana. Mereka ikut berjoget bersama berpasangan mengikuti irama musik yang terdengar dari permainan seorang DJ.
"Kau sangat tampan, Radit," ucap wanita yang masih berjoget di hadapannya. Memandang manik biru Radit sambil tersenyum manis. Radit dalam sekejap sudah berhasil mengalihkan dunianya.
"Kau juga sangat cantik, Ashley," balas Radit tersenyum. Tangannya seketika melingkar pada pinggang ramping milik Ashley.
Ashley menerimanya dengan suka hati. Kedua tangan kekar itu menggamitnya bagai orang yang tidak ingin kehilangan wanitanya dan Ashley bangga akan hal itu. Bagaimana tidak? Pria di hadapannya adalah seorang direktur utama Minestone Corporation. Selain kaya raya, wajahnya juga tampan memesona.
Radit mendekatkan wajahnya dan mulai mencium bibir merah Ashley dengan penuh nafsu kemudian memeluknya dengan erat. Merasakan dua gundukan sintal milik Ashley yang menempel langsung di dekat perutnya hanya berhalang selembar kain tipis gaun wanita itu.
Radit yang tidak tahan kemudian mengajaknya kembali ke sofa panjang, tempat duduknya tadi bersama dengan teman-temannya. "Kita ke sofa, aku ingin minum," ajaknya.
Ashley menurut. Tangan Radit menggenggam erat tangan Ashley. Mereka pun duduk dan meneruskan sejenak aktivitas yang sempat tertunda. Mencium, meraba, dan meremas bagian-bagian tertentu milik Ashley. Sesekali ia meneguk gelas kecil minumannya yang memabukkan
Ponsel Radit tiba-tiba berbunyi. Getarannya begitu terasa di dalam sakunya. Seketika Radit menghentikan aksinya.
"Sebentar, Ash!" katanya dan dijawab anggukkan dari Ashley yang sudah mulai terlena akan buaian pria itu. Radit segera meraih ponselnya. Nama Bella terlihat di layar. Bella memanggil.
Radit berjalan menjauh dari Ashley. Dia mencari tempat sunyi untuk menjawab panggilan itu. Pria itu masuk ke dalam toilet laki-laki dan segera menjawab panggilan adik sepupunya.
"Ya, Bell?"
"Kakak ...." Suara Bella terdengar lirih dan sedih.
"Apa Bell?" Radit mengernyit.
"Ayahku .... Ayahku .... Di-dia meninggal!" ucap Bella sesegukan dan tangisnya mulai terdengar.
"Paman Roland?! Meninggal bagaimana? Jangan bercanda, Bell."
"Ya. Kakak pikir aku memiliki berapa ayah. Sialan!" Tangis gadis itu bercampur dengan umpatan kekesalan terhadap Radit.
"Jadi kamu serius?"
"Tentu saja aku serius, Kak," jawab Bella. "Kakak sedang berada di mana? Jangan bilang Kakak sedang berada di klub malam bersama Daniel dan Michael?" tebak Bella dengan sangat tepat. Dia sangat tahu kebiasaan kakak sepupunya itu.
"You know me so well," sahutnya, kemudian Radit menambahkan kalimatnya, "aku akan segera ke rumahmu, Bell."
"A-aku ... tunggu. Ka-kakak harus datang," sahut Bella masih dengan segukan tangisnya. Dia lalu menyudahi panggilannya.
Radit membalik tubuhnya berjalan menjauh dari toilet. Sebuah senyuman aneh terlihat di wajahnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran Radit. Pria tampan itu kembali ke tempat Ashley menunggunya.
Daniel dan Michael beserta tiga orang wanita termasuk Ashley sedang menikmati segelas bir dari atas meja. Terlihat sangat ceria sambil melontarkan celotehan-celotehan lucu yang keluar dari mulut mereka. Radit segera menghampiri kelima orang itu.
"Hei, aku duluan, ya. Keluarga pamanku terkena musibah. Aku harus segera pulang," pamitnya.
Daniel menoleh ke arah Radit dengan mata membulat. "Sejak kapan kau peduli kepada keluargamu, Radit?"
"Hei, kau jangan meledeknya, bodoh. Sahabat kita berencana berubah menjadi pria baik-baik," timpal Michael terkekeh.
"Haish! Aku tidak percaya!" sahut Daniel dengan suara keras.
"Kau lihat, kekasihnya saja sekarang adalah wanita baik-baik. Tentu, dia akan menyeimbangkan dirinya nanti menjadi orang baik juga." Michael kembali berkomentar. Sementara ketiga wanita di hadapan mereka hanya mendengarkan saja tanpa mengerti arah pembicaraannya ketiga sahabat itu.
"Hei, Daniel. Siapa yang tahu kalau kekasihnya malah nanti yang akan berubah menjadi orang jahat?"
Mendengar ucapan kedua sahabatnya membuat Radit tersenyum diagonal, tidak menghiraukan perkataan keduanya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa isi kepalanya saat ini.