Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 9 - Hari Baru

Chapter 9 - Hari Baru

Ku pandangi langit yang biru dan dihiasi awan putih nan tampak anggun, pikiranku melayang cukup jauh karena merasa beban hidupku menjadi sangat ringan. Tempat apa ini? Tanyaku pada diriku sendiri yang masih sangat penasaran.

"Aku akan mengantar kalian ke asrama, besok pagi kita akan bertemu di arena latihan," Kata si Ketua paSukan hijau yang biasa dipanggil oleh Ge dan Sam sebagai Bang Arlan.

"Arena latihan? Hey apa kalian menculikku? Aku sudah mengatakan kalau aku tidak tertarik sama sekali ! sebaiknya antarkan aku pulang sekarang, orang tuaku akan sangat merindukanku," Kataku sudah tak tahan lagi ingin memberontak.

"Kamu tidak tertarik dan tidak menginginkannya? Tapi aku menginginkannya !" Sahut Bang Arlan dengan nada suaranya yang tinggi dan mantap.

"Kalian pikir kalian dapat mengatur semua manusia sesuai dengan keinginan kalian? Tidak ! berhentilah, aku ingin pulang !" Aku telah bersiap untuk melompat dari mobil tetapi ketua segera menghentikannya. Dia menghentikan mobil yang yang ia kemudikan dan mempersilahkanku turun dengan segera.

"Turunlah, jika kamu menemukan pintunya maka kamu bisa pulang," Ujarnya tanpa ada ekspresi. Ge dan Sam hanya memandangiku dengan wajah datar, mereka tidak mengatakan apapun dan membiarkanku turun begitu saja.

"Itu tidak akan sulit!" kataku dengan sangat yakin. Bang Arlan kembali melaju bersama dengan dua temanku yang mulai berbeda itu, entah kemana tujuan mereka karena tempat ini sangat luas arah pergi mereka tidak dapat ku pastikan apakah ke utara atau selatan.

Aku mulai berjalan menapaki bekas mobil yang membuat rumput tertidur sambil ku pandangi sekeliling yang semuanya tampak sama tidak ada hal apapun yang dapat memberiku bantuan untuk mengenali arah mata angin. Aku berusaha mengingat pohon pertama yang ku lihat saat kami baru keluar dari terowongan, tetapi hal itu tidak berhasil aku bahkan melihat semua pohon yang benar-benar sama.

Ketika aku merasa sedang berada tepat di tengah-tengah tempat itu, aku berhenti dan berdiri berharap arah bayanganku dapat membantuku mendeteksi arah. Ku rasakan angina yang berhembus dari arah yang bergantian dan sangat teratur, bayangan tepat berada di bawah kakiku tetapi cuacanya tidak panas. "apa sekarang tengah hari?" aku bertanya dengan diriku sendiri, aku sangat ingat kalau saat Ge dan Sam menjemput hari sudah sore.

Aku melanjutkan langkah menuju pepohonan yang mengelilingi padang rumput, terlihat dekat tetapi kakiku cukup lelah menujunya. Ku hela napas panjang, ku putuskan untuk duduk dan bersandar di bawah salah satu pohon terdekat. Angin yang sangat sejuk mulai medatangkan rasa kantuk, ku rasakan kepala semakin berat hingga aku terlelap dalam beberapa saat dan kembali terbangun setelah mendengar suara berisik pepohonan yang saling mengobrol. Aku tidak yakin dengan pendengaranku, tetapi itu sangat jelas berasal dari pohon tempatku bersandar dan beberapa pohon di sekitar.

Terdengar sedang membahas hal serius dengan sedikit berbisik, bahasa apa ini? Aku sama sekali tidak dapat memahami pembicaraan itu tetapi terdengar sangat menakutkan dengan sesekali terdengar gelak tawa dengan suara berat.

"No torgo, gkgkgkgk"

"Fo onoro"

Aku tidak yakin, tapi percakapan itu terdengar mengintimidasiku. Terdengar suara langkah kaki yang sangat banyak seperti suara pasukan berkuda yang hendak memburu, segera saja aku memanjat pohon hingga dahan teratas agar tidak terlihat dari siapapun atau apapun yang akan datang.

"Argh," Lenganku tergores ranting yang patah, cukup perih karena aku sudah sangat lama sekali tidak terluka.

Suara langkah pasukan berkuda terdengar semakin jelas dan semakin dekat, ku sumbunyikan tubuhku di balik batang kayu dan dedaunan yang rimbun. Suara itu berhenti tepat di bawahku, terdengar suara perkelahian dan sabetan pedang di sana sini. Jantungku berdetak dengan sangat cepat membuat kakiku mulai lemas. Apa yang harus ku lakukan?

"Arrgghhh !!" Suara teriakan seorang pria sangat nyaring dan memekakan telingaku.

Suara tumbukan benda keras kembali terdengar setelahnya, membuatku penasaran dengan apa yang terjadi hingga ku putuskan untuk mengintip dari celah dedaunan.

Kosong, tidak ada apapun yang tampak di bawah pohon tempatku bersembunyi. Ku kernyitkan dahi mencoba untuk berpikir normal, aku sangat yakin kalau aku sedang tidak bermimpi bahkan lenganku masih mengalirkan darah karena goresan ranting.

Kembali terdengar suara langkah yang banyak itu dengan suara gesekan benda berat seperti sekelompok orang yang sedang menarik karung berisi penuh padi setelah panen. Suara it uterus terdengar hingga beberapa saat dan menghilang beriringan dengan suasana yang tidak lagi mencekam. Angina kembali berhembus dan menyejukkan wajahku. Ku lepaskan tali pada bajuku dan ku gunakan untuk mengikat luka pada lengan yang terus berdarah.

Ku putuskan untuk turun dan kembali mencari terowongan pengap yang sempat menghilang. Sepanjang aku berjalan melalui pepohonan besar, aku masih bisa mendengar suara bisikan percakapan yang tidak ku pahami. Hanya dengan mengabaikannya, aku terus berjalan sesuai insting ku.

Ku rasa tempat ini benar-benar tidak beres, aku sangat yakin kalau aku sudah sangat lama berada di tempat ini tetapi bayanganku masih berada tepat di bawah kakiku dengan angina yang berhembus dari arah yang bergantian. Langit yang sangat cerah dan awan putih yang sangat indah membuatku berfikir mungkin aku sedang berada di dimensi lain, bukan tetapi aku sedang berada di sebuah ruangan teater besar yang semuanya di atur sedemikian rupa. Ku pandangi langit dan awan dengan seksama, sedikit ku sipitkan mataku untuk mengurangi silau, tidak ada apapun yang aneh. Huhh sepertinya aku mulai tidak dapat berpikir jernih.

"Tempat apa ini? Dimana terowongan pengap tadi? apa aku tidak dapat pulang? Apa seharusnya aku pergi bersama mereka tadi?" Ku jatuhkan tubuhku di atas rerumputan dengan menundukkan kepala karena sudah terlalu lelah.

"Aku sudah mengatakannya, kamu tidak akan bisa pulang,"

"Tidak mungkin, selalu ada jalan keluar ketika aku bisa memasukinya," Ujarku, seketika aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa lawan bicaraku barusan. "Bang Arlan?" Gumamku heran.

Pria itu telah berdiri di dekatku dengan mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatku duduk. Bagaimana bisa?

"Darimana…?" Pertanyaanku tertahan dengan logikaku yang tidak sampai untuk memikirkannya.

"Ikutlah, hanya ini satu-satunya cara agar kamu bisa keluar dari tempat ini," Pria itu segera naik ke mobil, masih dengan tanpa ekspresi dia hanya memandangiku untuk beberapa saat. Dia juga memperhatikan lenganku yang berdarah tetapi tidak mengatakan apapun.

Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa, aku hanya mengikuti perintahnya untuk naik ke mobil dan ikut dengannya ke tempat lain yang aku pun tidak tau kemana arahnya.

Kami melewati padang rumput yang cukup luas dan pepohonan lebat hanya dalam hitungan menit, entah logikaku yang terlalu dangkal atau tempat itu memang tidak semenakutkan yang ku bayangkan tetapi aku sama sekali tidak merasakan jarak yang begitu jauh. Kami berhenti di depan sebuah bangunan yang cukup besar, ku rasa itu adalah asrama yang sempat dibicarakan ketika bersama Ge dan Sam.

"Ambil ini ! oleskan itu pada lukamu jika kamu ingin segera pulang," Ujarnya sambil melemparkan sebuah buntelan padaku.

"Apa semua hal disini harus ku lakukan agar bisa pulang?" Tanyaku mulai muak, pria berpakaian serba hijau tidak merespon dan langsung pergi.

Aku membawa buntelan itu masuk ke bangunan yang disebut asrama itu. Belum sempat bertanya kepada penjaga, dia bahkan sudah mengenaliku dan mengajakku ke kamar yang akan ku tempati. Dia tidak menjawab bagaimana dia bisa mengenaliku, dia hanya tersenyum dan kembali bersikap dingin. Mungkin semua orang di tempat ini khususnya para pria tidak pernah belajar menggunakan ekspresi selain dingin dan kejam.

Aku mendapatkan kamar paling ujung dengan ukuran yang cukup luas, pria penjaga yang bernama Seta itu mengatakan kalau aku akan tinggal sendiri sehingga harus menjaga kebersihannya sendiri pula. Asrama ini memang bercampur antara pria dan wanita, dank u rasa aku adalah satu-satunya perempuan sehingga aku hanya tinggal sendirian di kamar.

Ruangannya cukup luas jika aku hanya tinggal sendiri, terdapat sebuah lemari besar berisi banyak pakaian yang lebih terlihat seperti seragam tentara, ah atau mungkin ini memang seragam?

Ku cek ke seluruh ruangan dan sangat kosong, hanya ada satu lukisan besar yang berada di dekat tempat tidur. Lukisan seorang kesatria berkuda yang sedang memandangi bayangannya di danau, tetapi bayangannya hanya berdiri tanpa kuda dan keduanya saling pandang dengan tatapan yang mengerikan. Aku tidak yakin apakah lukisan itu akan menjadi hiasan yang bagus untukku, segera ku lepas dank u simpan ke dalam laci meja paling bawah.

Aku berjalan menuju jendela yang sangat besar, ku lihat beberapa anak-anak sedang bermain di taman belakang yang terdapat banyak ayunan dan jungkat jungkit. Hari yang mulai senja tidak membuat mereka kehilangan keceriaan, semuanya bermain dengan tertawa riang hanya satu anak perempuan yang duduk termenung di sebuah bangku sambil memandangi teman-temannya bermain. Terlihat ada yang berbeda dengan kaki anak itu, ku rasa dia cacat karena kedua kakinya adalah palsu.

Aku menutup gorden dan segera berbalik dan betapa terkejutnya aku ketika ada sosok perempuan yang berada sekitar satu meter di hadapanku, nyaris aku berteriak karena jantungku berdetak kencang dengan spontan.

"Hai perkenalkan aku Fine, aku adalah petugas kedua di asrama ini asisten Bang Seta. Aku membawakanmu selimut karena udara disini cukup dingin," Ujar perempuan itu dengan sangat cepat dan senyum yang dipaksakan agar terlihat ramah.

"Oh hai aku Ami, kamu sangat mengejutkanku," Ujarku sambil mengambil selimut yang siberikan oleh perempuan muda itu.

"Hehe aku senang membuat kejutan," Sahutnya sambil menampakkan deret giginya, "Jika kamu membutuhkan sesuatu temui aku di ruangan penjaga yang berada di tepat di ujung ruangan setelah kamu keluar lalu belok kanan dan belok kiri. Aku permisi," Perempuan itu segera pergi meninggalkan kamarku dengan langkah kakinya yang tampak ringan. Dia masih sangat kekananakan tetapi penampilannya sudah cukup dewasa dengan riasan wajah dan pakaian rapinya.

"Baiklah, aku bukan satu-satunya perempuan di tempat ini," Ujarku, aku kembali melihat kea rah luar tetapi anak-anak sudah tidak ada lagi yang bermain di taman. Hari sudah gelap, wajar saja mereka sudah saatnya untuk kembali ke rumah masing-masing.

***