=Ami POV=
Sing kembali naik ke rumah dan duduk di dekat Kristo yang mulai tertidur dengan lelap dan tenang. Pikirannya tampak sedang memikirkan hal yang sama denganku, hal yang bahkan sempat kulupakan beberapa waktu lalu karena focus dengan misi terakhir.
Sesekali pria itu menatapku, "Apa dia baru memakan sesuatu yang beracun? Kurasa dia mengalami halusinasi," tanyanya masih tentang bang Athan.
Ku perhatikan lagi sekitar, hanya ada dedaunan sisa ramuan, tidak beracun.
Aku mengeleng. Kami merasa bingung dengan sikap ketua tim yan tiba-tiba berubah tidak sabaran dan tidak berhati.
"Apa menurutmu dia sedang menampakkan aslinya? Bukankah begitu?" pertanyaan Sing berhasil membuatku kembali berpikir.
"Tapi kurasa dia hanya sedang berambisi untuk menyelesaikan semuanya. Dia pernah bilang, kalau kita hanya perlu bertahan hingga gerhana bulan dan semuanya dapat membaik," jawabku mengingat kalimat bang Athan saat malam di taman asrama.
"Menurutmu, apa yang akan terjadi pada saat gerhana bulan? Mengapa kita diminta untuk mengumpulkan pedang emas hari itu? Mengapa sangat banyak pertumpahan darah menuju hari itu? Mengapa … Mengapa kita harus membunuh dan menyiksa sesama untuk bertahan hidup, memenangkan misi dan pulang? Tidakah ada cara yang lain yang jauh lebih manusiawi? Maksudku, menang dengan membunuh lawan, itu bukan hal yang bagus. Terlebih mereka memberi iming-iming kalau kita akan dapat segera pulang setelah semua ini selesai. Bagaimana kalau ternyata kita kalah? Bukan, bagaimana kalau tidak ada satu tim pun yang menang? Apa kita akan tetap berada di tempat ini hingga menua?"
Aku menelan ludah saat mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari rekan satu tim ku ini. Semua perkataannya sangat masuk akal, aku bahkan tidak pernah terpikir tentang apa yang akan terjadi jika kami semua gagal menemukan pedang emas.
"Apa mungkin kita akan ditumbalkan?" pertanyaan itu berhasil membuat bulu kudukku meremang. Sama sekali bukan hal yang terpikir olehku.
Pikiranku menerawang jauh, kembali mengingat kegaduhan di Distrik saat ada kabar penculikan anak-anak dibawah umur serta penangkapan warga yang membangkang terhadap pemerintah.
"Apa menurutmu, rumor itu benar?" tanyaku.
"Entah, tetapi hatiku merasa itu memang benar," sahut Sing yang kembali mengompres luka Kristo dengan air hangat. "Dan kita memiliki pilihan untuk tetap hidup …."
"Dengan memenangkan misi ini?" sahutku menimpali kalimat Sing yang terputus.
"Hemm, kurasa begitu." Dia mengangguk, tak kulihat adanya ragu pada dirinya. Hal itu membuatku semakin merinding.
Ku rebahkan tubuhku di lantai tak beralas. Cahaya matahari sudah mulai menampakkan semburat oranye nya di langit timur, tetapi mataku sungguh ingin kupejamkan. Pening akibat pertarungan kemarin cukup membuatku tidak nyaman. Aku hanya ingin mengistirahatkan tubuhku sejenak.
Samar, aku dapat mendengar suara-suara aneh di sekitarku. Aku hendak membuka kedua mataku, tetapi tertahan. Semuanya menjadi sangat gelap seketika.
"T …." SIal, apa ini? Aku bahkan tidak mampu mengatakan apapun.
Ku goyang-goyangkan tubuhku teratur, tidak bias. Kembali ku goyang-goyangkan tubuhku dengan agak brutal, masih tidak bias. Seketika aku merasakan kalau tubuhku terikat oleh sesuatu yang tak dapat ku lihat dengan kedua mataku yang diikat erat.
Dimana Sing? Aku hanya mampu mendengar hembusan kasar napas seseorang di dekatku. Sing? Apa itu kamu? Dapatkah kamu mendengarku? Tolong! Lidahku sangat kelu dan tak mampu mengatakan apapun.
"S …."
Argh! Yang benar saja, aku masih belum dapat mengeluarkan sepatah kata pun untuk meminta tolong.
Siapapun yang ada didekatku, tolong aku!
Benar-benar tidak habis piker, kenapa mereka menyekapku dengan sangat cepat bahkan aku baru saja merebahkan tubuh untuk beritirahat.
Aku tidak yakin dengan pendengaranku, tetapi kali ini sangat jelas berasal dari sekitarku. Terdengar sedang membahas hal serius dengan sedikit berbisik, bahasa apa ini? Aku sama sekali tidak dapat memahami pembicaraan itu tetapi terdengar sangat menakutkan dengan sesekali terdengar gelak tawa dengan suara berat.
"No torgo, gkgkgkgk"
"Fo onoro."
Aku tidak yakin, tapi percakapan itu terdengar mengintimidasiku.
Tunggu, kurasa aku pernah mendengar suara ini. Bahasa ini pun … apa ini suara pohon-pohon itu? Ingatanku kembali mengarah ke saat hari pertama aku dating ke temat pelatihan ang terseat di padng rumput hijau yang sangat luas.
Benar, kurasa ini memang suara pohon-pohon itu. Tapi bagaimana bias? Bagaimana bias aku ditangkap dan di sekap oleh pohon?
Wush!
Angina yang sangat dingin berhembus disekitarku, membuat seluruh tubuhku menggidik ngeri. Ada langkah kaki, aku yakin dia tidak sendiri. Samar, langkah itu berhenti di salah satu sudut yang jauh lebih gelap, kurasa.
Berhenti? Apakah sudah?
Aku tidak lagi mendengarl angkah kaki itu sekarang.
"Kamu mau pergi kemana, Ami? Apa kamu sudah tidak lagi melakukannya? Kenapa?"
Suara pria itu tidak asing di telingaku. Seketika saja sosok tampan dengan deret gigi indahnya melintasi pikiranku. Dia, pria yang membantuku membawa keranjang buah ke rumah paman.
"bersabarlah sebentar lagi, hanya hingga gerhana bulan."
Hahh! Spontan ku tolehkan kepala kea rah lain. Itu suara bang Athan. Walau terdengar sama, tetapi aku merasakan ada yang berbeda dari dua suara yang baru saja ku dengar.
Kenapa kalian disini? Tolong aku!
Ku goyang-goyangkan tubuhku dengan semakin brutal berharap ada seseorang yang dapat menolong dan melepaskan semua ikatan pada tubuhku.
"Hei, bangunlah perempuan lemah!"
Jauh lebih nyaring. Aku dapat membayangkan dnegan jelas sorot mata Athan dengan senyum mencibirnya ke arahku. Pakaian rapi dengan sikapnya yang sedikit lebih santai, nampak mengerikan dengan paras dinginnya.
"Ami! Ami!"
Aku dapat mendengar suara ini dengan jelas. Sing? Tolong aku! Ku mohon!
"Ami!"
Hahhh … ku buka kedua mataku dengan sangat bersemangat. Napasku masih sangat tersengal hingga merasa nyeri pada bagian jantung.
"Kamu baik-baik saja?"
Segera kutoleh asal suara. Benar saja itu Sing, tetapi, kenapa aku masih di rumah singgah? Kristo bahkan masih tak sadarkan diri.
Segera aku bangun dan kusandarkan tubuh pada dinding. "Apa itu tadi hanya mimpi?" tanyaku masih dengan ketakutan.
Sing mengangguk, dia memberiku satu wadah air untuk ku minum. "Apa itu sangat buruk?" tanyanya, "Kamu bahkan sampai berpeluh."
"Huhh … Entahlah, semuanya terasa sangat nyata dan jelas bagiku," sahutku seraya mehala napas panjang.
Jantungku masih berdegup tidak normal. Hal-hal yang asuk ke dalam mimpiku benar-benar sangat menganggu. Kenapa? Kenapa tiba-tiba itu semua merasuki pikiranku.
"Pohon ajaib, pria keranjang buah, Athan …," gumamku lirih.
"Athan? Kamu juga memimpikan pria itu?" tanya Sing heran.
"Ku rasa aku pernah bertemu dengannya saat masih di Distrik. Tetapi dia tidak dingin dan kasar seperti yang ku kenal sekarang. Waktu itu, dia sangat ramah," kataku mulai mengingat hal lalu.
"Athan? Bersikap ramah? Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Satu-satunya sikap terbaiknya yang pernah ku lihat adalah saat kita makan kelinci bakar tempo hari."
"Tunggu, katamu kalian bertemu saat kamu masih di Distrik? Apakah itu saat masa kanak-kanak?" sambung Sing.
"Tidak. Sekitar sebulan sebelum aku dating ke tempat pelatihan," jawabku tenang sambil kembali meminum air.
"Tidak mungkin. Semua Anak Anggota dilarang keluar dari tempat ini kecuali dia sudah resmi menjadi elit negara. Bahkan bang Arlan tidak pernah keluar dari tempat pelatihan."
Jawaban Sing itu membuatku tertegun. Jawaban yang masuk akal untuk sebuah tempat dengan peraturan ketat, tetapi sangat tidak masuk bagiku yang bahkan sering bertemu dengan ketua Pasukan Hijau di perkebunan ayah.
***