Chereads / DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk / Chapter 2 - Awan Hitam di Siang Hari

Chapter 2 - Awan Hitam di Siang Hari

Aku akan mengubah negeraku, aku ingin semuanya kembali damai seperti semula !

Itu adalah teriakanku di dalam hati, walau tidak ada satu orang pun yang mendengar, aku yakin alam bisa merasakan aura ku.

Sering kali aku mendengus kesal, aku sangat bersemangat ingin mengubah semuanya kembali normal tetapi aku bahkan tidak melakukan apapun selain membantu orang tua di kebun dan mengurus rumah. Aku hanya menghayal ketika mulai merebahkan tubuhku saat jam istirahat. Aku merasa sangat kecil di dalam sebuah kotak besar yang tertutup rapat.

Setiap saat, para tentara dan polisi berpatroli secara bergantian mengelilingi seluruh distrik. Entah apa yang mereka takuti dari kami para warga tak berdaya yang hanya bisa mengiyakan semua perintah mereka. Mereka selalu mengawasi pergerakan kami ketika mulai menginjakkan kaki di luar rumah seolah kami adalah musuh yang sangat membahayakan. Pandangan mata tajam mereka sangat mengintimidasi membuatku tak nyaman dan ingin berlari.

Ada apa ini?

Mengapa mereka menjaga Negeri malah terasa sangat menyakiti kami?

Ayah dan ibu setiap malam selalu menceritakan tentang perkebunan, mereka senang sayur dan buah tumbuh dengan subur. Tawa mereka membuatku sedih, membuatku ingin segera mengakhiri sistem pemerintahan yang memperbudak masyarakat.

Ayah bilang, walau sikap mereka tidak menyenangkan dan harga jual murah tetapi setidaknya kita mendapatkan pupuk dan peralatan berkebun yang lengkap, itu adalah suatu hal yang sangat membantu bagi pekebun seperti kita.

Ibu juga bilang, selama mereka tidak melakukan kekerasan fisik atau melukai kita semua, kita akan baik-baik saja jika menuruti perintah mereka.

"Tapi mereka kasar, Bu. Mereka sering kali membentak dan memanggil kalian dengan tidak sopan padahal mereka masih sangat muda!"

"Tidak apa-apa, mereka lebih kuat dan bersenjata. Kita tidak dapat melawan karena kita tidak ingin mati sekarang, kan?" Perkataan ibu membuatku terdiam, miris sekali.

"Kita ini bukan dari golongan elit, Mi. Jadi kita tidak akan bisa melakukan apapun karena mereka tidak akan mendengarkan, malah nanti kita akan menjadi sasaran mereka. Ayah tidak ingin seperti pamanmu yang rumahnya di bakar lalu di jadikan tawanan. Ayah masih ingin bersama kalian, sampai akhir"

Ahh aku semakin membenci para elit negara!

Aku tidak dapat mengatakan apapun lagi setelah mendengar kalimat ayah dan ibu. Adikku yang biasanya hanya di kamar bahkan sampai keluar dan menghampiri kami di ruang tengah, dia ikut mendengarkan dan memandangiku yang mulai meneteskan air mata.

Apakah takdirku memang seperti ini? Hidup menjadi lemah dan selalu berada di bawah tekanan? Tidak bisa kah warga dari golongan bawah membawa perubahan besar untuk Negeri nya?

Kakakku mengirim sepucuk surat yang berisi tentang kabar dia bersama keluarga yang sangat bahagia dan baik-baik saja, dia juga mengatakan kalau bulan depan ada rencana untuk berkunjung ke distrik kami, menunggu jadwal libur suaminya yang sedang bertugas di Gedung Kuning.

Nurlevi Putri Mada, itu nama kakakku. Semenjak menikah dia memang sangat jarang pulang, sangat wajar jika kedatangannya adalah hal yang sangat ditunggu oleh kedua orang tuaku. Setelah jaringan internet di cabut, aku dan Levi tidak pernah lagi saling bertukar kabar karena kesibukan masing-masing.

Dia memang sibuk karena mengurus rumah dan keluarga, sementara aku? Aku hanya malas untuk menulis surat karena aku selalu berpikiran kalau dia pasti baik-baik saja sehingga aku tidak perlu repot-repot menulis surat hanya untuk sekedar menanyakan kabarnya.

Dia dan adikku adalah hal spesial di rumahku, karena mereka lah yang selalu ditanyakan oleh ayah atau ibu saat pertama mereka masuk ke rumah atau saat aku sedang memasak makanan yang enak.

"Wah ini menu kesukaan Levi, dia pasti sudah sangat lama tidak makan makanan ini karena di kota jarang ditemukan Lobak."

"Laya mana? Ajak dia makan sekalian, ini menu kesukaan dia jangan sampai dia kehabisan."

Yahh begitulah, walaupun aku yang selalu ada di dekat mereka tetapi Levi dan Laya lah yang selalu mereka sebut. Aku kadang iri dengan mereka, terutama Laya. Dia adalah anak bungsu yang hampir tidak pernah terkena cahaya matahari ataupun udara luar, hidupnya hanya dia habiskan di kamar dengan buku bacaan dan permainan di komputernya, bahkan keluar kamar hanya untuk mengambil air minum atau makan.

Ku rasa, dia adalah orang paling menyebalkan sekaligus paling membuatku tidak nyaman selain para elit negara.

Kamar kami terpisah, sehingga kami pun jarang berinteraksi walau hanya sekedar menyapa. Terkadang aku bahkan lupa kalau ada dia di kehidupanku, maksudku dia hanyalah orang yang muncul saat ku panggil untuk makan sehingga aku tidak merasa kalau aku mempunyai dia sebagai "adik".

Setelah cukup lama tidak merasakan terik matahari karena langit selalu gelap, hari ini terasa sedikit berbeda karena sejak pagi cahaya oranye sudah mulai menghangatkan udara. Aku bersiap untuk menyusul ayah dan ibu dengan membawa bekal. Ku hirup dalam-dalam udara yang menyegarkan itu sambil tersenyum lepas memandangi matahari yang mengintip.

Entah kapan terakhir kali aku merasa bahagia seperti ini, semangatku untuk menjalani hari semakin membara. Sambil melangkahkan kaki menuju kebun, aku terus menyapa setiap warga yang ku temui di jalan mereka semua membalasnya dan membuat suasana hatiku semakin nyaman.

Aku melihat dari kejauhan, di area perkebunan sayur milik ayah sedang berkumpul beberapa Tentara dan petani. Mereka semua tampak serius dan tegang.

"Ayah!" teriakku saat salah satu dari mereka mendorong tubuh ayah dengan sangat keras hingga terjatuh.

Aku berlari menuju mereka tetapi suara tembakkan berbunyi dengan sangat keras dan membuatku semakin mempercepat langkah. Aku melihat tubuh ayah terjatuh, tidak begitu jelas karena tertutup beberapa petani lainnya.

Aku menatap kesal ke arah tentara itu, aku sangat ingin menghajarnya tetapi mereka semua memiliki senjata yang lengkap. Si penembak yang aku yakin adalah kepala pasukannya, menoleh ke arahku yang masih memandanginya dengan tajam. Tanpa ada ekspresi apapun, dia langsung memberi aba-aba kepada pasukan untuk meninggalkan perkebunan.

Aku segera bergabung dengan kerumunan, terlihat ayahku terduduk sambil di dekap erat ibu. Sementara di samping beliau ada seorang petani yang lengannya berdarah karena tembakan dari tentara tadi. Aku segera meminta ibu dan ayah untuk beristirahat di pondok bersama petani lain sementara aku akan membantu pak Bano untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Aku bersyukur bukan ayah yang terluka tetapi hal ini juga tidak dapat di maafkan begitu saja karena mereka telah mengancam keselamatan nyawa orang lain.

Bersama dengan Ge yang merupakan anak pak Bano dan Sam yaitu sepupu Ge, aku membantu pak Bano dengan mengikatkan kain di lengan beliau lalu membawanya ke klinik distrik terdekat.

***