Aku sangat tidak habis pikir kenapa mereka melakukan hal itu hanya karena hal sepele.
Ge bilang, ayahnya menolak untuk memberikan pupuk tipe A untuk tanaman sayur mereka karena bagi ayahnya itu belum saatnya, nanti saat usia tanaman sudah sesuai maka akan di berikan pupuk itu sementara pakai pupuk tipe B.
Pihak pengawas kebun lalu membentak ayahnya dan terus memaksa tetapi memang takdir pak Bano untuk terluka, karena ternyata beliau belum mengambil pupuk A di pos pembagian sehingga beliau kehabisan stok saat Ge pergi untuk mengambilkannya.
Pengawas Kebun menjadi sangat marah dan terus berkata kasar kepada pak Bano, tak terima dengan hal itu Ge mulai ikut bicara tetapi ditahan oleh ayahku sehingga ayah juga mendapat dorongan dari Mereka hingga terjatuh.
"Aku bersyukur ayahmu baik-baik saja," kata Ge saat kami berada di dekat ayahnya yang masih belum sadar karena baru selesai operasi kecil.
Aku hanya mengangguk sambil sedikit menyunggingkan senyum. Sangat jelas terlihat amarah juga sedih di wajah pria itu, tatapan matanya sangat tajam dan sedikit berkaca-kaca. Kali ini rasanya aku ingin menghiburnya, tapi pasti dia akan sangat malu karena dia memang sangat gengsi jika harus mendapat perhatian dari orang lain terlebih dari seorang perempuan.
"Ku rasa mereka sedang ada masalah pribadi, sehingga sangat mudah marah dengan hal sepele," ujarnya lagi.
"Mereka memang selalu seperti itu, sepertinya mereka telah di atur untuk menjadi pemarah," jawabku yang langsung mendapat respon anggukan dari Ge.
Sam kembali ke klinik setelah tadi kembali ke rumah untuk menemui ibu Ge, dia membawa kabar kalau ayahku sudah baik-baik saja dan menyampaikan pesan dari ayah jika urusanku sudah selesai aku harus segera pulang dan membantu ibu memasak untuk ayah.
Aku segera berpamitan dengan Ge dan Sam, aku juga titip salam untuk pak Bano jika nanti beliau siuman.
"Ami, antingmu," kata Ge, aku segera mengecek kedua telingaku, ya memang yang sebelah kiri tidak ada benda yang tergantung.
"Ini," Ge menyerahkan antingku yang dia temukan di dekat tempat tidur ayahnya, "Tapi kamu bagus jika hanya mengenakan satu, hehe. Terlihat lebih tampan."
"Hah? Aku sekarang sudah sepenuhnya perempuan!" Ujarku sambil sedikit tertawa. Kami memang telah berteman sejak kecil, selalu satu kelompok bahkan aku tidak pernah mengaku perempuan agar teman-teman yang lain mau juga berteman denganku.
Aku belum berkeinginan untuk memanjangkan rambut, tapi aku sudah mulai mengenakan aksesoris agar sedikit terlihat kalau aku adalah perempuan. Orang tuaku tidak pernah mengomentari penampilanku, mereka hanya memintaku untuk berpenampilan senyamanku dan tetap sopan.
Ayah dan ibu sedang makan siang ketika aku pulang, mereka telah memutuskan untuk tidak kembali ke kebun hari ini. Mereka telah memberi kabar kepada para pria yang awalnya ku kira tentara tadi, karena jika tidak ada info para Pengawas Kebun itu akan menerapkan denda karena tidak mengurus kebun dengan maksimal.
Ibu membuatkan ayah minuman herbal untuk mengurangi rasa nyeri karena dorongan kuat dari Kepala pengawas, tubuhnya pun terhempas di tanah yang tidak rata sehingga menyebabkan pinggang beliau sakit.
Ayah dan ibu menanyakan keadaan Pak Bano, mereka juga sangat mengkhawatirkan kesehatan pria tua itu. Pak Bano memang memiliki usia jauh di atas ayah, beliau adalah pensiunan pegawai Gedung Kuning beberapa tahun lalu tapi kehidupannya tidak seperti pensiunan lainnya yang mendapat predikat elit, beliau kembali menjadi warga biasa yang berkebun dan mengurus ternak.
Beliau memang tidak ingin terlibat dalam urusan kenegaraan lagi, Ge pun sebagai anak bungsu dan satu-satunya pria tidak di perbolehkan untuk bergabung dengan para elit karena menurut beliau disana (Gedung Kuning) sangat sulit dan tidak akan baik untuk Ge, alasan yang kurang lebihnya sama dengan alasan ayah dan ibu tentangku.
Saat aku dan Ge baru lulus sekolah menengah atas, ayah memberi saran kepada Ge untuk gabung militer tetapi pak Bano tidak merestuinya. Rasa sayang yang berlebihan membuat beliau tidak tega untuk melepas putra bungsunya ke medan militer. Untungnya Ge adalah seorang pemegang sabuk hitam bela diri sehingga dia tidak tumbuh menjadi pria yang lemah karena terbiasa di manjakan di keluarganya.
Aku ingat dulu kami pernah berkelahi hingga berlumuran darah, dia yang tidak pernah menganggapku sebagai perempuan terus menghajarku seperti dia menghajar bocah laki-laki. Saat itu kami masih sekitar sepuluh tahun, aku belum terlalu menguasai ilmu bela diri dan perkelahian kami berakhir dengan Ge sebagai pemenangnya.
Walaupun dia pemenangnya, dia mendapat hukuman berat dari ayahnya karena telah membuatku terluka. Dia dihukum untuk mengisi lima drum air hingga penuh dengan mengambil air di sumur dekat kebun, setelah mendapat hukuman itu dia sempat sakit untuk beberapa hari dan tidak masuk sekolah.
Sementara aku, aku tetap turun sekolah walaupun banyak bekas luka dan plester di wajahku. Ibu telah merawatku dengan baik, beliau selalu membuatkan bubur untukku selama aku sakit karena kerasnya pukulan Ge rahangku sempat sakit dan kesulitan untuk mengunyah makanan.
Hal yang membuatku heran adalah ayah dan ibu tidak marah atau membenci Ge karena telah menghajarku, mereka hanya menganggap itu hal biasa karena dalam hidup pasti akan selalu ada perselisihan dan akibat dari semua hal yang kita katakana.
Memang, waktu itu aku lah yang memulai pertengkaran karena aku selalu mengejek dia sebagai anak manja.Sebelum-sebelumnya dia selalu menangis atau pulang, tetapi hari itu dia sangat marah lalu membabi buta dan sejak saat itu aku tidak lagi mengejeknya sebagai anak lemah. Pada kenyataannya aku lah yang lemah karena kalah darinya.
Ayah dan ibu sangat antusias ketika menceritakan tentang masa laluku yang sangat bar bar, seperti sebuah kenangan yang sangat menghibur hari-hari melelahkan mereka.
"Aku tidak akan berkelahi lagi dengan dia, sekarang aku bahkan hanya se-bahunya," ujarku sambil memotong bawang.
Ayah dan ibu hanya tertawa ringan, entah apa yang mereka sebenarnya rasakan karena memiliki anak sepertiku. Hanya aku anak yang sering bermasalah, mulai dari berkelahi hingga di rajia pihak kepolisian karena sempat ikut unjuk rasa saat masih kuliah. Aku berharap, kedepannya aku tidak lagi menyebabkan masalah dan akan membawakan kebahagiaan untuk hari tua mereka.
"Ami, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," Laya menghampiriku di dapur. Siapa? Mungkin itu adalah Ge atau Sam, pikirku karena kami baru bertemu siang tadi.
Aku segera menuju ruang tamu ternyata tamunya tidak masuk ke dalam rumah, terlihat di luar ada seseorang dengan pakaian berwarna hijau lengkap dengan topinya sedang berbiri menghadap belakang.
"Ada yang bisa dibantu?" tanyaku, pria itu langsung menoleh dan melapaskan topinya. Dia sedikit menyunggingkan senyum dan berjalan mendekatiku.
Hah… Dia adalah pria yang tadi mendorong ayah dan menembak pak Beno. Dari jarak yang cukup dekat aku dapat melihat tatapan matanya yang sangat tajam dan tulang wajah yang sangat kuat, dia sepertinya memiliki darah yang sangat dingin.
"Apa kamu bisa membantuku?" tanya nya membuatku tidak merespon.
"Aku ingin kamu bergabung dengan kami, kamu bersedia?"
"Hah?" Aku mencoba untuk membenarkan pendengaranku. Pria itu hanya memandangiku dengan mata coklatnya yang tajam, dia sedang menunggu jawabanku?
"Pertanyaan macam apa ini?"
"Ini kamu, kan?" Pria itu menunjukkan beberapa lembar foto saat aku ikut dalam beberapa demo dan perkelahian di masa kuliah.
"Bergabung dengan kami, itu tidak akan sulit untukmu," tambahnya lagi.
Aku sama sekali tidak mengerti dengan pria itu.
"Anda, setelah memperlakukan orang tuaku dengan tidak baik seperti siang tadi. Apa tidak malu mengajakku untuk bergabung? Atau mungkin sekarang anda sedang tidur? Sehingga belum mampu berfikir jernih?"
Pria itu tersenyum dengan sedikit menarik ujung bibirnya, "Pertanyaanmu itu mengenai dua hal yang tidak dapat ku jawab sekarang. Lagipula aku tidak menginginkan jawaban darimu segera, aku ingin kamu mempertimbangkannya dulu. Jika kamu mau bergabung, aku berjanji orang tuamu akan mendpatkan perlakuan baik dari kami"
"Bagaimana dengan warga yang lain?"
"Warga lain? Apa kamu juga mau kami memperlakukan mereka dengan baik?"
Aku tidak menjawab, hanya menatap matanya yang sejak tadi menatapku.
"Itu bisa ku wujudkan, jika kamu mau bergabung. Apa kamu sudah memberi keputusan?"
Aku menggeleng,..
"Aku akan kembali untuk meminta jawabanmu setelah tujuh hari jadi tolong pikirkan keputusanmu dengan baik," Pria itu memasang kembali topinya dan menatapku dengan tajam sebelum kembali tersenyum dan meninggalkan rumahku.
Dia benar-benar pria yang mengerikan bagiku, dari sekian banyak orang jahat yang pernah ku temui dia adalah yang paling jahat. Dia tersenyum tapi aku sama sekali tidak merasakan aura kebaikan dari dalam dirinya.
Aku mendapati adikku sedang berdiri di belakangku sambil membawa segelas minuman, "Kata ibu, kamu harus segera makan," katanya sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Hemm…" sahutku.
Aku tidak ingin bercerita kepada ayah dan ibu mengenai pria yang baru menemuiku, aku tidak ingin mereka menjadi ada beban. Mana bisa aku memikirkan hal semacam itu sementara ayah dan ibu adalah orang yang selama ini menderita karena perlakuan mereka. Aku hanya mengatakan kalau pengawas perkebunan mengatakan kalau kedepannya mungkin akan bersikap lebih baik lagi dengan warga.
"Kamu tidak terlibat masalah dengan mereka kan?" Tanya ibu yang spontan ku jawab "Tidak".
"Aku akan menuruti perkataan ayah untuk tidak bermasalah dengan para Elit bersenjata itu," sahutku sambil mengunyah makanan.
Jika aku bermasalah dengan mereka, tidak hanya aku yang akan celaka tetapi bisa saja ayah, ibu, Laya, Levi dan bahkan semua orang yang ku kenal pun akan mendapatkan masalah.
Mereka yang berperangai buruk, memiliki kekuasaan dan senjata lengkap, akankah bisa dipercaya? Awan gelap dan suara tangisan tak berwujud apakah dapat dinyatakan sebagai hal wajar bagi sebuah pemerintahan? Rasa takut yang selalu menghantui, kekhawatiran terhadap anak-anak yang akan dijadikan tumbal, apakah itu juga baik untuk warga?
Hahh… Aku mehela napas panjang dan sudah memutuskan dengan segera kalau aku tidak akan tertarik sama sekali dengan perkataan pria itu.
***