"Sebenarnya kita mau kemana sih?", tanyaku.
"Ikut sajalah." jawab Paman Marthin pendek.
"Kita sedang naik helikopter di tengah lapangan kosong terpencil, aku berasa seperti James Bond." komentar Andrew.
Sepanjang perjalanan, Paman Marthin sibuk terus dengan saluran radio melapor tiap beberapa menit sekali, hingga ia hampir tak memerhatikan kami sedikitpun. Aku dan Andrew sih jelas tak akan kebosanan, ini pertama kalinya kami naik helikopter. Aku tak tahu kami terbang ke arah mana,tapi kami telah meninggalkan kota tempat tinggal kami menuju pulau lain. Aku mengeluarkan hp, menelepon Ibu dan Ayah, tapi keduanya tak mengangkat telepon dariku.
Paman Marthin mulai menurunkan ketinggian kami, dan perlahan kami pun mendarat di sebuah pulau. Pulau ini berupa hutan tropis, dengan pepohonan nan eksotis yang belum tersentuh manusia. Tapi sebenarnya, jantungku berdegup kencang. Bagaimana kalau misalnya kami beneran diculik? Kenapa kami dibawa ke dalam hutan belantara? Kulirik Andrew, ia malah kelihatan bergairah setengah mati. Kami berada di tengah hamparan rumput luas, yang tidak ditumbuhi pepohonan. Tanpa basa-basi Paman Marthin membawa kami turun, masuk dan menyusuri hutan yang ada di depan. Andrew mengikuti dengan penuh semangat, sedangkan aku pastinya berjalan di urutan yang paling akhir. Sekeliling ditumbuhi pohon berukuran raksasa yang batangnya ditumbuhi lumut, ada sarang lebah di salah satu batang, dan setelah mesin helicopter dimatikan, terdengar suara kodok bergema-gema.
Aku berusaha menyusul langkah Andrew dan Marthin yang amat cepat. Kami berjalan dalam diam, Marthin entah sedang memikirkan apa dalam otaknya, Andrew sedang menikmati hutan dengan berlari kecil-kecil dan kadang melompati akar-akar raksasa yang terbentang. Kami berjalan hingga barisan pepohonan raksasa ini berakhir, dan aku tak percaya apa yang kulihat dibaliknya.
Sebuah pesawat jet canggih terparkir di ujung sebuah landasan, sedang menunggu kami. Wow, pesawat itu cakep sekali! Paman Marthin berjalan semakin cepat ke arah pesawat, dan masuk secepat kilat ke dalamnya. Aku dan Andrew berlari mengikutinya, hingga berhenti tepat di depan pintu.
Kulihat Andrew, dan terdengar suara dari dalam meneriaki kami: "Ayo masuk, anak-anak!" Tanpa ragu Andrew melangkah ke dalam, yang kemudian kuikuti langkahnya.
Pesawat ini tidak hanya keren di bagian luar, bagian dalamnya juga keren! Setengah bagian atas badan pesawat ini terbuat dari kaca, sehingga kau bisa melihat keluar pemandangan di luar. Wow! Aku tak pernah tahu ada pesawat semacam ini sebelumnya.
Paman Marthin duduk santai di depan, di tempat co-pilot. Sedangkan di sampingnya ada seorang pilot yang sedari tadi sibuk ngobrol dengan Paman Marthin, tak memerhatikanku dan Andrew sedikitpun. Aku dan Andrew duduk diam sambil mengagumi isi pesawat ini, sesekali melihat ke pemandangan diluar.
Pesawat perlahan mengambil ancang-ancang dan kemudian lepas landas. Kukira saat lepas landas akan menakutkan, tapi ternyata hampir tak terasa sedikitpun. Seketika pemandangan diluar pun berubah menjadi awan- awan diantara langit nan biru.
Andrew jelas tak bisa diam dalam pesawat ini. Ia sudah berjalan keliling pesawat, mengamat-amati setiap sudut, tombol atau apapun yang kelihatan canggih. Aku juga tak mau diam saja dalam pesawat, berkeliling melihat-lihat dan memutuskan untuk menghampiri Paman Marthin saja. Ia sedang ngobrol seru dengan sang pilot. Saat kuperhatikan, ternyata pesawat ini sedang dalam mode auto-pilot. Oh, pantas saja mereka santai sekali dari tadi.
"Hei Becky, kenalkan ini pilot kita. Panggil dia Paman Sam." Marthin memperkenalkanku.
"Salam kenal, Paman Sam." kataku kaku.
"Andrew, sini! Kenalkan, ini Paman Sam." panggil Marthin.
"Halo, salam kenal, Paman Sam", kata Andrew riang sambil berlari kesini. Gayanya berkebalikan sekali denganku.
Paman Sam sedari tadi terus-terusan tersenyum pada kami : "Halo, salam kenal juga. Anak-anaknya Michael ya."
Orang ini kenal dengan Ayah?
"Anda kok bisa tahu Ayahku", tanya Andrew.
"Dia ini teman lama", jelas Paman Marthin.
"Kami semua teman lama", tambah Paman Sam.
Mereka melancarkan pertanyaan ringan, diselingi lelucon, membuat suasana lebih nyaman. Meski aku sempat mengira aku dan Andrew sedang diculik, tapi aku memercayai mereka. Apa terlalu cepat? Tapi kurasa aku tak memercayai salah orang. Andrew apalagi, cepat sekali sudah akrab dengan mereka.
"Kita sampai", Paman Sam mengumumkan.
Seketika kami menghentikan percakapan, memerhatikan apa yang ada di depan. Kami berada di atas tanah kosong kering, yang lagi-lagi sepertinya tempat ini tak ada penduduknya. Tempat ini benar-benar hamparan tanah luas yang tak ada batasnya. Dari jauh kulihat ada benda putih di tengah, yang semakin dekat ternyata adalah gedung. Bukan, reruntuhan gedung.
Aku tak percaya saat Paman Sam menurunkan pesawat di depan puing-puing gedung. Kutatap Andrew lama-lama, dan ia Cuma bisa mengangkat bahu. Jadi, perjalanan super kami menaiki helicopter dan pesawat jet, untuk mendatangi tempat ini? Kukira kami akan mendatangi gedung besar dengan peralatan canggih.
Aku mengikuti langkah Paman Marthin dan Andrew turun dari pesawat.
"Paman Sam tak ikut turun?", tanya Andrew.
"Ia sibuk, masih punya kerjaan." Jawab Paman Marthin dengan singkat.
Kami melewati puing-puing raksasa,makin mendekati pusat gedung runtuh ini. Kurasa, kalau gedung ini utuh, pasti luar biasa. Meski telah hancur sebagian, tapi bagian kubahnya ini masih utuh.
Paman Marthin memimpin kami masuk ke dalam kubah, dan benar saja bagian dalamnya masih utuh. Tempat ini masih sekeren saat ia masih utuh, dengan peralatan canggihnya yang masih menyala.
"Oke, jadi ini tempat apa sebenarnya?" aku memulai.
"Ini dulunya markas UNS." jawab Paman Marthin. Sekarang, ia sudah mau menjawab pertanyaanku.
"UNS? Apa itu?" sambung Andrew.
"UNS itu salah satu cabang rahasia PBB." Jawab Paman Marthin.
"Oh, cabang rahasia? Tuh kan, para pemimpin dunia itu selalu menyimpan rahasia dari masyarakat awam. Sudah kuduga", komen Andrew padaku.
Sedari tadi kami sedang menyusuri lorong kubah ini, dan sekarang Marthin mendadak berhenti. "Kalau tak dirahasiakan, bakalan repot sekali." Jelas Paman Marthin.
"Emm, jadi UNS itu ngapain sih emangnya?", sambung Andrew.
"Singkatnya, UNS itu menjaga keamanan dunia"
"Hahh, polisi rahasia dunia",potong And.
"Yah, susah kujelaskan," keluh Paman Marthin, "Begini, kau tahu kejadian seperti gunung meletus? Atau tsunami?", Marthin makin serius saja.
"Iya, bencana alam. Kenapa memangnya?" jawab And tak tertarik.
"Nah, itulah salahnya masyarakat awam! Tidak semuanya itu benar-benar bencana alam!" seru Paman Marthin.
Aku dan Andrew melongo tak mengerti. Menurut pelajaran geografi di sekolah, itu adalah bencana alam. Paman Marthin melihat ekspresi bodoh kami dan jadi makin depresi.
"Jadi..maksud Anda, ada bencana alam palsu? Seperti penjahat yang membuat gunung meletus?", kataku.
Setelah diam mendengar percakapan mereka, akhirnya aku membuka mulut. Tapi kalau dipikir-pikir, apa mungkin ada kejahatan seperti yang baru kuungkapkan? Rasanya...tak terlalu mungkin. Tapi, kejadian hari ini juga sepertinya tak mungkin dalam hidupku dan Andrew.
"Anak pintar! Benar, betul begitu", jawab Marthin.
Oh ya ampun, dunia ini ada-ada saja.
"Hah? Ada yang begituan?", seru Andrew. Ia kelihatan shock sekali. "Sungguh rumit", tambahnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Paman Marthin senyum-senyum melihatnya, lalu mulai berjalan lagi. "Ayo, kita terus berjalan". Kami pun terus menyusuri lorong hingga akhirnya kami sampai di sebuah pintu besi berukuran besar, yang memungkinkan seekor beruang besar untuk masuk dengan mudah.
Paman Marthin memencet tombol-tombol password, lalu pintu ini terbuka. Di dalamnya, berupa ruang penuh komputer, TV berukuran besar, dan alat-alat elektronik yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ada beberapa orang yang sudah berumur di dalamnya sedang sibuk membahas sesuatu, dan sekarang mereka sedang memerhatikan kami bertiga.
"Becky, Andrew!",seru Ibu. Ibu keluar dari balik punggung orang-orang itu dan berjalan ke arah kami. Sedari tadi aku tak melihat Ibu, ternyata ia tertutup oleh orang lain yang badannya tinggi-tinggi.
"Ayah, anak-anak sudah sampai!", panggil Ibu. Kepala Ayah muncul dibalik salah satu komputer, dan segera berjalan ke arah kami, meski masih sambil berbicara tentang sesuatu dengan orang di sebelahnya.
"Ah, terima kasih Marthin. Maaf telah merepotkanmu", ucap Ibu ketika ia telah berdiri di depan Marthin.
"Bukan apa-apa, tidak perlu beterima kasih begitu", jawab Paman Marthin dengan lembut. Ibu segera menghampiri kami, sedangkan Ayah sedang menyalami Paman Marthin sambil mengucapkan terima kasih. Sedangkan Paman Marthin, jelas mengulang ucapannya lagi.
Ibu dan Ayah membawa kami keluar dari ruangan, berjalan menyusuri lorong lantai atas. Aduh, liftnya juga rusak sih? Susah loh, bawa koper naik tangga. Akhirnya Ayah yang bantu membawakan koperku.
"Bu, jadi sekarang kita disini ini sedang ngapain sih?", tanya Andrew membuka topik pembicaraan yang kutunggu-tunggu.
"Mm, sekarang kita ini ada di bekas markas UNS. UNS adalah satu-satunya cabang rahasia PBB. Organisasi ini fungsinya melindungi dunia", kata Ibu seolah sedang diwawancara, dengan gaya kaku.
"Melindungi dunia dari penjahat super?" tambah And.
"Ya, kejahatan luar biasa seperti gunung meletus, gempa bumi atau fenomena palsu lainnya." Kami terdiam sesaat, tak ada yang berbicara atau bergerak sedikitpun.
"Jadi Ibu dan Ayah adalah anggota UNS juga?", tanyaku.
"Iya", jawab Ibu singkat.
"Apa? Selama ini kami tak tahu!", kata Andrew sedikit histeris.
"Kami sudah tidak bekerja selama belasan tahun", jawab Ibu.
"Oh, pantes saja. Kenapa?", lanjut Andrew.
"Kenapa apa, Nak?" tanya Ibu tak mengerti kalimat singkatnya And.
"Kenapa Ayah dan Ibu berhenti jadi agen mata-mata?" ulangnya dengan bahasa yang ditata lebih rinci.
"Itu ceritanya rumit", kata Ibu sambil menghela nafas panjang.
"Nanti kami jelaskan, sekarang mari kita cari kamar untuk kalian dulu", sela Ayah. Kami pun berjalan menuruti perintah Ayah, menyusuri koridor yang penuh pintu.
Ibu dan Ayah berhenti di pintu kedua, dan Ayah memutar kenop pintunya.
"Ini dia, kamar untuk Becky", kata Ibu.
Kulihat sebuah ruangan kecil yang pengap, dengan jendela dan langit-langit yang penuh debu. Di pojok sebelah kiri, ada ranjang sederhana untuk seorang. Dan di dekat pintu, ada kamar mandi kecil. Aku sih, tak mau berkomentar apa-apa.
Ibu berpaling dan menuju pintu di depan kamarku, lalu membukanya dan memberi tanda pada Andrew. Kulihat kamar Andrew sama saja dengan kamarku. Sama pengapnya, sama berdebunya, dan sama sederhananya.