Kami sampai di sebuah daratan cekung yang menjorok ke bawah. Oase kering. Sebenarnya ada beberapa batang pohon palem yang tumbuh di sekitarnya, namun sekarang semuanya telah mati kekeringan. Kami semua turun, lalu kedua sopir menyerahkan kunci jeepnya. Salah satu menyerahkannya pada Paman Marthin, salah seorang lagi memberikannya pada Paman San.
Matahari baru saja muncul dari peraduannya saat kami sampai. Matahari disini begitu merah dan amat besar. Pemandangan yang sangat amat indah sekaligus langka. Aku tak pernah bermimpi bisa sampai di Sahara, melihat matahari terbit, sayangnya harus melihat bencana kekeringan di oase ini.
Sayang sekali.
Aku mengikuti langkah Paman San yang memimpin paling depan, lalu Yena, lalu Venessa, And, aku dan yang terakhir Paman Marthin. Paman San berjalan sambil menekan-nekan tanah di depannya dengan kaki. Seolah ia takut di langkah selanjutnya tanah akan ambruk sewaktu-waktu. Setelah sampai di tengah oase, Paman San yakin kalau tanah ini aman untuk kami jelajahi. Ia memberi tanda pada orang-orang kalau tanah ini aman.
"Hati-hati kalau ada binatang yang tersembunyi dalam pasir." Pesan Paman San.
Maka ia pun jongkok di tengah oase, mengambil segenggam pasir di tangannya, mengamatinya pelan-pelan. Kulihat Yena mengelilingi lingkaran oasis ini, seolah sedang menghafal geografis oasis ini dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan Venessa ikut mengamati bagian tepi oasis ini, demikian juga dengan Paman Marthin. Aku dan And berdiri kebingungan di tempat semula, tak tahu harus bagaimana. Akhirnya, aku mengikuti And yang berjalan ke tempat dimana Paman Marthin sedang mengamati sesuatu.
Tanpa sengaja sinar matahari menyilaukan mataku, sehingga focus ku pun terbuyarkan. Tapi kalau kuperhatikan, pemandangan di sekitar kami amat menawan. Terbitnya matahari di gurun sangat indah. Ketika aku sedang bengong terpana dengan sunrise, tiba-tiba Paman San memanggil kami agar ke sana. Paman Marthin dengan tergesa-gesa berlari ke tempatnya, membantunya menggali-gali lubang. Yang lainnya berlari tergesa-gesa ikut menggali. Aku dan And ikut-ikutan berlari kesana juga.
Paman San berlari ke arah mobil dan kembali membawa cangkul. Paman Marthin mengambil cangkulya dari tangan Paman San, lalu menggali lebih dalam.
"Venessa." Paman San memberi suatu isyarat pada Venessa.
"Oke." Jawab Venessa patuh.
Sementara Paman Marthin menggali lubang hampir sedalam kuburan, Venessa mengutak-atik laptopnya. Kami yang lainnya berdiri diam memerhatikan mereka saja.
"Eh aku melacak sesuatu. Kedalamannya kurang lebih masih dua meter. Teruskan, Marthin." Kata Venessa.
Andrew berlari ke mobil, lalu kembali membawa sebuah cangkul lagi. Ia melompat turun dan ikut menggali lubang. Setelah beberapa lama, akhirnya tampaklah sebuah dasar yang terbuat dari baja. Aku sungguh tak percaya, ada semacam lantai di bawah pasir yang bermeter-meter dalamnya.
"Ada lantai di bawah oasis?" tanyaku.
"Bukan lantai, tapi atap." Paman San menjawabku.
Aku makin terkaget-kaget mendengarnya, di dunia sungguh ada hal aneh semacam ini .
"Masalahnya", kata Paman Marthin, "Bagaimana cara kita masuk ke dalam."
"Pasti ada pintunya." Kata And.
"Ya, masalahnya pintunya entah ada dimana, disuatu tempat di tengah Sahara." Jawab Paman Marthin.
"Andrew, kau lihat di belakangmu ada batu", kata Paman San sambil menunjuk sebuah batu besar seukuran dua buah bola basket, "Keluarkan batunya."
"Untuk apa?" Tanya And tak mengerti.
"Keluarkan saja." Perintah Paman San.
Maka And dibantu Paman Marthin berusaha mengeluarkan batunya dengan susah payah. Sayangnya, batu itu tak bergeser sedikitpun. Sudah beberapa kali mereka mencoba, tapi hasilnya sama saja. And frustasi dan menghantamkan cangkulnya pada batu itu, tanpa sengaja menggeser batu itu sedikit. Sedikit, sangat sedikit. Mungkin hanya dua senti. Tapi, kami semua melihat sebuah harapan. Di bawah batu itu adalah sebuah lubang!
"Coba pakai ini," Paman San mengeluarkan suatu benda bulat yang tak pernah kulihat dari tasnya, "Ini peledak, tapi berskala kecil. Bisa untuk memecahkan batunya."
And dan Paman Marthin langsung naik ke atas sini, dan kami semua menjauh beberapa meter dari lubang galian. Aku sudah bersiap-siap menutup telingaku. Paman San pun melemparkan peledaknya ke dalam lubang. Ia berlari kecil menjauh dari lubang, dan terjadilah ledakan di bawah sana.
Batunya pecah, dan serpihannya terlempar kemana-mana. Paman Marthin, Yena, bahkan And langsung melompat turun ke bawah sana. Mereka berlutut mengamati lubang di bawah.
"Kelihatannya tak ada orang." And berkomentar.
"Aku turun dulu", kata Paman Marthin sambil menatap Paman San seolah meminta izin, "Mengecek keadaan bawah sana."
Paman San mengangguk memberi izin sambil berpesan : "Hati-hati." Kami yang lain memerhatikan Paman Marthin mengeluarkan tali panjang dari ranselnya, yang kemudian ujungnya yang berupa kait tajam. Ia mengaitkan talinya pada bebatuan besar lainnya. Ia meluncur dari tali dengan amat gesit. Sebentar saja, ia sudah di bawah sana.
Kami menunggu sekitar empat sampai lima menit, tapi belum ada suara apapun dari Paman Marthin. Menunggu ini sungguh kegiatan yang paling tidak enak.
"Paman San, Kok Anda bisa tahu di bawah batu besar tadi ada lubang?" tanyaku penasaran.
"Karena batu itu kelihatan janggal." Jawabnya.
"Iya kah? Kalau kulihat, batunya kelihatan biasa saja." Jawabku heran.
"Pengalaman, Becky. Aku sudah berpuluh-puluh tahun lamanya menggali tanah, mencari fosil, dan sebagainya. Aku sudah kenal sekali dengan tanah atau pasir. Kenapa aku bisa menyuruh Marthin menggali di tengah oasis ini? Karena tanahnya terasa janggal, tak alamiah. Rasanya seperti ada orang yang pernah menggalinya, lalu menguburnya lagi. Batu itu, pasti jalan pintas keluar masuk ke dalam sana." Jelasnya penuh kesabaran.
"Ah, pengalaman ya. Hebat sekali." Pujiku.
"Kau juga akan jadi orang hebat nantinya." Jawabnya sambil tertawa.
Paman San itu sungguh orang yang ramah sekali. Aku suka berbicara dengannya.
"Hei!" terdengar suara Paman Marthin dari bawah sana, "Aman! Kalian turunlah!"
Paman San memerintahkan agar kami bersiap-siap. Ia memberi urutan agar Yena turun duluan, lalu Venessa, lalu aku dan And, biar Paman San yang turun terakhir maksudnya. Tapi Venessa menolak, ia bersikeras agar Paman San duluan saja, biar ia yang terakhir. Aku bisa mengerti Venessa, ia pasti memikirkan kalau Paman San sudah berusia, tak terlalu baik kan kalau ia turun yang terakhir, kalau di atas ia kenapa-kenapa tak ada yang bisa bantu.
Kami semua pun mengambil ransel masing-masing, memakainya di punggung, lalu Yena turun duluan, disusul Paman San, lalu Venessa menyuruhku dan Andrew turun duluan, biar ia yang terakhir saja. Ia pasti tahu kami tak berpengalaman maka ia mau menjaga kami dari atas. Ah, mereka semua baik sekali menjagaku dan And. Aku agak-agak terharu.
And turun dengan mulus, meskipun agak kaku. Ia berhasil turun ke bawah sana, dan disambut pujian dari Paman Marthin. Ketika giliranku, aku baru sadar kalau jarak dari sini ke bawah amat tinggi. Seketika aku berkeringat dingin. Venessa sadar kalau aku gugup, maka ia pun menyemangatiku : "Jangan pikirkan tingginya."
Aku menuruti sarannya, menjepitkan kedua kakiku pada tali, berpegangan kuat-kuat pada tali, lalu sambil menutup mata, aku menjatuhkan diriku ke bawah.
"Eh!" Venessa berteriak ketika aku turun. Tapi ia terlambat, aku sudah meluncur turun dengan sangat berantakan. Telapak tanganku terasa panas sekaligus perih tergesek talinya, tanpa sadar pun aku melepaskan peganganku. Tahulah hasilnya, aku terjatuh ke bawah dengan kasar. Uh, untungnya aku jatuh saat aku hampir sampai. Belum lagi untungnya Yena dan Marthin sigap menangkapku. Jadi, saat jatuh aku tak benar-benar jatuh, ditahan oleh mereka.
"Tak apa-apa,Becky." Marthin menenangkanku saat mereka berhasil menangkapku.
Tanganku masih terasa panas dan makin perih, keringat dingin mengucur deras di tubuhku. Aku menghembuskan nafas kuat-kuat. Tak berapa lama, Venessa meluncur turun dengan cekatan. Seolah ia seringan bulu atau selicin belut. Gampang sekali buatnya.
"Becky tak apa-apa?" Tanya Venessa penuh perhatian padaku ketika ia mendarat.
"Aku tak apa kok. Tadi aku Cuma kaget." Kataku berusaha menutup-nutupi.
"Kau yakin tak ap-...." Venessa seolah tak percaya, namun kalimatnya terpotong.
"Tak apa, Becky. Kau bisa belajar pelan-pelan." Paman Marthin berusaha menghiburku.
"Oke." Jawabku sambil tertawa, menutup-nutupi kegugupanku. Kubuat seolah aku terlihat santai.
"Belajar pelan-pelan." Hibur Paman San sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku sungguh merasa nggak enakan. Mau tak mau aku terus berakting kalau aku santai saja.
"Tadi aku sempat keliling ke sekitar, tak ada orang. Kelihatannya tak dijaga." Paman Marthin melapor pada kami semua.
Akhirnya, mereka pindah topik.
"Tak mungkin tak dijaga." Kata Paman San.
"Yes, tak mungkin tak dijaga." Tambah Venessa.
"Kusarankan kita berhati-hati. Jangan buat keributan. Kita tak tahu ada apa saja di tempat ini." Paman San memperingatkan.
Semua orang mengangguk-angguk. Paman San dan Paman Marthin pun berjalan berdua di depan memimpin jalan, kami yang lainnya mengikuti dari belakang penuh was-was.
Tempat ini super luas dan gelap. Saking kurangnya penerangan disini, mataku tak bisa menjangkau titik penglihatan terjauhnya. Penerangan yang kami dapat hanya berasal dari lubang tempat kami turun tadi. Tapi seiring kami berjalan makin jauh, penerangannya makin sedikit. Sebelum cahayanya hilang tertinggal jauh di belakang, Paman Marthin mengeluarkan dua buah senter kecil dari ranselnya. Senternya kecil, tapi penerangannya sangat oke. Cukup buat kami untuk melihat ke sekitar. Sayangnya di sekitar kami sama saja, tempat super luas tak berujung yang kayaknya kosong.
"Aku dengar suara." Kata Yena was-was.
Serentak kami semua berhenti dan mendengarkan. Aku mendengar detak jantungku sedang berpacu.
"Aku juga dengar." Kata Venessa.
Yang lainnya juga setuju, orang-orang mengangguk-angguk. Aku coba berkonsentrasi lagi sambil memejamkan mata. Dan iya memang, selain suara detak jantungku masih ada suara lainnya di kejauhan.
"Di sebelah kiri?" Tanya Paman San pada Yena.
"Iya, menurutku juga di sebelah kiri." Jawab Yena sambil berpikir.
Maka kami semua pun berjalan ke arah yang mereka tunjuk. Sekarang, Yena yang memimpin di depan. Kami berjalan dalam bisu, mengikuti aba-aba dari Yena. Makin lama, suaranya terdengar makin nyata. Tapi kami masuk semakin dalam, aku sampai takut bagaimana kalau kami tak bisa kembali ke lubang tempat kami masuk?
"Air. Suara air." Kata Yena.
"Kalau begitu, ayo cepat." Perintah paman San.
Kami berjalan cepat mendekati sumber suara. Dan iya, itu adalah suara air. Seperti air yang sedang mengucur deras. Suara itu memberi semangat para anggota tim kami, membuat kami berjalan semakin cepat.
Setelah sekian lama berjalan di tengah kegelapan, suara airnya terdengar seperti pas berada di depan kami. Dan benar saja, cahaya senter Paman Marthin menunjukkan kami Cuma berada kurang lebih dua puluh meter dari sumber air itu.
"Hati-hati, jangan gegabah!" pesan Paman San saat Paman Marthin dan beberapa orang lainnya berlari ke depan.
Aku dan Paman San yang sampai terakhir di sumber air itu, dan barulah kulihat kalau sumber ini berupa sungai buatan. Dalamnya pasti sangat dalam sampai cahaya dari senter Paman Marthin tak bisa menembusnya sampai ke dasar. Aku tak bisa membayangkan kalau sempat jatuh ke dalamnya, sudah arusnya begitu besar, begitu dalam, gelap pula. Ih, bakal tragis sekali.
"Ini air yang mereka ambil dari oasis?" Tanya And.
"Pastinya begitu." Jawab Paman Marthin.
"Venessa, Yena, kalian tahu arah aliran ini ke mana?" Tanya Paman San.
Venessa mengutak-atik GPSnya, sedangkan Yena kelihatan berpikir keras. Aku bingung, memangnya sinyal bisa menembus sampai bawah sini kah?
Setelah beberapa lama, Yena membuka mulut : "Oasis ini letaknya di sebelah timur, dan aliran airnya mengalir dari barat ke timur juga. Sedangkan di sebelah timur gurun ini adalah...."
"Laut merah." Kata Venessa melengkapi.
"Mm, iya." Yena membenarkan.